Merunut perkembangan sejarah ketatanegaraan kata pemisahan kekuasaan. Pertama kali dicetuskan oleh John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government”
(1689), yang membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda
isinya. Menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara meliputi: fungsi
legislative, fungsi Eksekutif, dan fungsi federatif.
Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke
dikembangkan lebih lanjut setengah abad kemudian dalam abad ke XVIII
oleh Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (1668-1748)
dalam karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws).
Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu
kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk
menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan
di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili
terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Tegasnya Montesquieu
mengeatakan, kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai
tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya. Konsepsi ini lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica
Oleh karena Jonhn Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan
Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga
legislatif, yaitu House of Lord. Maka sangat kental pendapatnya
memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Sementara
Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin
memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada
masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon
Hanya dalam bidang federatif dan judikatif kedua pendapat antara Lock
dan Montesquieu sebenarnya nampak perbedaan yang mencolok. Dalam bidang
legislative kedua pendapat sarjana tersebut mirip. John Lock
mengutamakan fungsi legislative sedangkan Montesquie lebih menguatamakan
fungsi kekuasaan kehakiman atau judicial.
Oleh sebab itu yang dianggap penting oleh Locke adalah funsi
federative karena penjelamaan funsi defencie baru timbul apabila fungsi
terbukti gagal. Dan untuk fungsi judicial bagi Locke cukup dimasukkan
saja dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu yang terkait dengan
pelaksanaan hukum.
Namun bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence)
dan hubungan luar negerilah (diplomasi) merupakan funsi eksekutif
sehingga fungsi federative tidak perlu lagi berdiri sendiri. Lalu yang
dianggap penting bagi Montesquieu adalah fungsi judicial atau kekuasaan
kehakiman. Kalau dilihat sejarah atau awal perkembangan teori John Locke
sebenarnya juga sangat mengakui Hak asasi manusia. Hal itu dapat
dilacak dari teori perjanjiannya puctum iunionis yang menyatakan ada hak
dasar manusia yang tidak dapat diserhak secara total kepada kehendak
yang berkuasa. Malah pendapat John Locke disempurnakan bahwa keberadaan
lembaga kehakimanlah yang dapat menjamin realisasi dari pada hak asasi
manusia tersebut yang diperoleh secara adikodrati.
Van Vollenhoven juga melakukan pembagian kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan politie. Pembagian keempat kekuasaan negara Volenhoven dikenal dengan teori “Catur Praja”.
Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan
cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. perbedaan
dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara.
Dalam studi ilmu hukum administrasi Negara dikenal pula adanya
pembagian kekuasaan yang dibagi dalam dua fungsi yaitu fungsi pembuatan
kebijakan (policy making function) dan fungsi pelaksanaan kebijakan
(policy executing function). Semua pembagian kekuasaan ini tidak lain
bertujuan sebagai telah dikemukakan dalam awal tulisan ini yaitu untuk
menghindari terjadinya kesewenang-wenangan oleh penguasa. Maka dalam
istilah hukum itu pula sehingga kata kekuasaan kemudian direduksi
menjadi kewenangan. Sebagaimana dikenalnya asas dalam hukum tata Negara:
tidak ada kekuasaan tanpa kewenangan, dan tidak ada kewenangan tanpa
undang-undang yang memberikannya.
Ide yang dikemukakan oleh Montesquieu yang hendak memisahkan
kekuasaan Negara berdasarkan fungsinya tanpa adanya intervensi kekuasaan
yang lain. Banyak mendapat kritikan, sangggahan, kecaman sebagai
gagasan yang tidak sesuai dengan kondisi pemerintahan Inggris. Bukankah
katanya pada waktu itu (1732) malah terdapat banyak kebebasan
dibandingkan dengan negara lainnya.
Sir Ivor Jennings dalam The Law and Constitution mengecam habis pendapat Montesquieu dengan memperbaharui gagasan Separation Of Power,
yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan dalam arti materil.
Sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formil diartikan sebagai
pembagian kekuasaan, atau yang lazim dikenal sebagai Division Of Power.
Dalam praktik ketatanegaraan dunia, tidak ada Negara yang murni melaksanakan Separation of Power dengan tiga serangkai (trias politica). Bahkan Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya Negara yang ingin menjalankan teori trias politica. Dalam kenyataannya memeraktikan sistem saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan Negara.
Penggunaaan istilah divison of power jika dicermati cikal
bakal pembentukannya. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan doktrin
pemisahan kekuasaan. Yakni untuk melakukan pembatasan kekuasaan terhadap
lembaga- lembaga Negara yang sedang menjalankan fungsi kekuasaannya.
Bahkan ada beberapa sarjan hukum tata Negara mengatakan bahwa separation of power merupakan genus, sedangkan distribution of power adalah spesiesnya.
Dari segi istilah saja penggunaan kata division of power, separation
of power, distribution of power, dan allocation of power memiliki
nuansa yang sebanding dengan pembagian kekuasaan, pemisahan kekuasaan,
pemilhan kekuasaan, dan distribusi kekuasaan.
Doktrin pembagian kekuasaan ini setidaknya dapat juga dilacak dari
UUD 1945 sebelum amandemen yang menganut division of power. Sebagaimana
yang diakui oleh Soepomo yang mengatakan bahwa prinsip yang dianut dalam
undang-undang dasar yang sedang disusun tidaklah didasrkan ajaran Trias
politca Montesquieu yang memisahkan secara tegas antara-antara cabang
kekuasaan legislative, eksekutif dan judikatif. Hal ini dapat dilihat
dari Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen yang menegaskan “Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR” ini
berarti bahwa pemegang kekuasaan legislative itu pada pokoknya adalah
Presiden, asalkan rancangannya dibahas bersama untuk mendapat
persetujuan bersama dengan DPR.
Kasus yang lain juga dapat diamati pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang
menegaskan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh
MPR sebagai lembaga tinggi Negara. MPR yang merupakan jelmaan rakyat di
sini mendudukan Presiden tunduk dan bertanggung jawab terhadap Negara
sebagai cirri dari pada pembagian kekuasaan yang berlaku masa itu.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsep separation of
power dari trias politica sebelumnya sulit terlaksana dalam perkembangan
ketatanegaraan modern saat ini. Oleh karena sulit memeraktikan hingga
ketiga lembaga Negara itu benar-benar terpisah satu sama lainnya. Tidak
dapat dipraktikan secara murni maka menyandingkan keduanya adalah lebih
tepat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Jimli Asshiddiqie bahwa
“konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieau
jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi
mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara
eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.
Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan
itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan
prinsip checks and balances”.
Teori separation of power dan distribution of power atau division of power
digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik kemudian
juga dilatari oleh perkembangan praktik ketatanegaraan. Bahwa tidak
mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari
cabang kekuasaan yang lain.
Bahkan dalam pandangan John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan “separation of functions”.
Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam Teori Trias Politica
tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara.
Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas
fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat
seperti tidak punya hubungan sama sekali.
Disamping itu sarjana lain yang mengidentikan separation of power
dengan distribution of power juga diperkuat oleh O. Hood Phillips dan
kawan-kawan yang mengatakan, the question whether the separtion of
power (i.e. the distribution of power of the various powers of
government among different organs). Oleh karena itu, kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.
Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan checks and balances. Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch” Strauss menjelaskan: “Unlike
the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose
a radical division of government into three parts, with particular
functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on
relationship and interconnections, on maintaining the conditions in
which the intended struggle at the apex may continue.”
Pendapat yang menengahi juga hadir dari Artur Mass yang membedakan pengertian kekuasaan ke dalam dua pengertian yaitu; capital division of power dan territorial division of power. Pengertian pertama bersifat fungsional, sedangkan yang kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.
Sebagai llustrasi kasus bahwa tidak dapatnya separation of power
dianut secara murni yakni apa yang terjadi di Amerika Serikat. Istilah
separation of power yang digunakan dalam pembagian kekuasaan di tingkat
pemerintahan federal yaitu antara legislature, the executive, dan
judiciary. Sedenagkan untuk system division of power digunakan dalam
system pembagain Negara federal dengan Negara bagian.
Di Negara Indonesia pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945. Meskipun
Jimli Asshiddiqie mengatakan bahwa saat ini kita menganut system
separation power yang menganut prinsip check and balance. Juga pada
kenyataannya kita tetap menganut antara separation of power dengan distribution of power.
Dengan berpatokan pada pembagian pembagian kekuasaan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Arthur Mass Di tingkat horizontal hubungan antara
eksekutif, legislative dan judikatif tetap terjadi pemisahan dari segi
kewenangan masing-masing. Sedangkan istilah pembagian kekuasaan berlaku
dalam hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
merupakan konteks pengertian yang bersifat vertical sebagimana yang
ditegaskan dalam pasal 18 UUD NRI tahun 1945.
Dengan tetap dianutnya pemisahan kekuasaan serta pembagian kekuasaan.
Yang mengikuti perkembangan ketatanegaraan. Dimana terbentuknya
lembaga-lembaga Negara yang baru, bukan hanya lembaga sebagaimana yang
pernah disebutkan oleh Montesquieu maupun John Locke. Untuk
mengefektifkan kekuasaan itu dalam ranah tetap efektif dalam pembatasan
kekuasaan. G Marshal kemudian membdedakan ciri-ciri doktrin pemisahan
kekuasaan (separation of power) itu kedalam lima aspek:. Differentiation; Legal incompatibilty of office holdin;
Isolation, immunity, independence; Checks and balances; Co-ordinate state and lack of accountability.
Dari kelima krakteristik pemisahan kekuasaan yang diutarakan
oleh G. Marshal yang penting untuk digarisbawahi adalah ciri keempat
prinsip check and balance. Yakni setiap cabang mengendalikan dan
mengimbangi kekuatan kekuatan cabang-cabang kekuasan yang lain. Hemat
penulis dari krakteristik inilah sebenarnya hingga Jimli Asshiddiqie
mengakui kalau pasca amandemen UUD NRI Tahun 1945 menganut sistem
pemisahan kekuasaan dengan prinsip check and balace.
Link: http://www.negarahukum.com/hukum/pemisahan-kekuasan-vs-pembagian-kekuasaan.html