(Artikel Ini Juga Dimuat DiHarian Gorontalo Post , 20 Desember 2013)
Kisah penyelamatan anak mungil oleh Sofyan Hadi seolah memutar ulang
sejarah, aksi heroik, jiwa kesatria Ali Bin Abi Thalib yang rela
tersayat pedang demi melindungi Nabiullah Muhammad SAW di medan perang.
Tak terkecuali ummat nasrani, Kristen, bahwa kerelaan Yesus memanggul
dosa ummatnya, melalui cara penyaliban.
Sumber Gambar: metro.news.viva.co.id |
Ketika semua orang di dunia pada berseloroh, mengenang, berduka, dan bersuka cita atas kepergian tokoh perdamaian Nelson Mandela. Diakhir hayatnya 5 Desember 2013, tiba-tiba selang empat hari dijemputnya tokoh penghapus apartheid itu, di republik ini kemudian kita gagap pula menyaksikan peristiwa naas tabrakan kereta api commuter line jurusan Serpong Jakarta dengan mobil tangki bermuatan bahan bakar premium.
Persitiwa itupun kemudian menimbulkan korban berjatuhan, ada yang luka berat, luka ringan, rawat inap, rawat jalan. Hingga yang paling memilukan, menyayat hati, dan menderai air mata yakni adanya kematian terhadap sejumlah penumpang dan pegawai di dalam kereta api itu.
Satu dan lain hal dari kecelakaan yang menerjang maut dari kecelakaan 9 Desember kemarin. Ada sebuah hikmah patut menjadi catatan, renungan kita bersama, adalah kematian Sofyan Hadi yang berprofesi sebagai tekhnisi kereta bersama rekan sejawatnya Darman Prasetyo (masinis), dan Agus Subroto (asisten masinis).
Tanpa bermaksud mengingkari adapula kesan yang ditinggalkan oleh dua rekan sejawatnya itu, Sofyan Hadilah meninggalkan pesan dan ruang yang penuh makna, tidak kosong untuk kita tafsir bersama. Mari kita simak, beberapa pemberitaan mulai dari media elektronik hingga media cetak mengulas, menceritakan ulang kronologis detik-detik kematian Sofayan Hadi. Saat dilihatnya, di hadapan kereta api itu, sebuah mobil tangki sedang melintas dari kereta yang sedang ditumpanginya. Hanya dalam hitungan detik, waktu yang tersisa, Sofyan Hadi keluar dari kabin Masinis dan memerintahkan penumpang mundur, sambil berpegangan pada tiang atau kursi penumpang.
Di tengah geliat detik-detik kecelakaan demikian, siapa yang tidak takut? siapapun pasti akan menjemput mautnya kalau tidak mencari waktu untuk menyelamatkan diri. Panik, kata yang paling tepat, dipastikan sedang menghinggapi semua penumpang pada waktu itu. Namun Sofyan Hadi bukan pegawai yang pengecut, penghianat, yang sengaja mencari aman. Di lihatnya ada seorang anak menangis mencari-cari ibunya di gerbong depan. Dia langsung membawa anak itu, digendongnya, sampai menggeser anak tersebut ke gerbong belakang. Bahkan sempat bergeser sampai ke gerbong ke tiga demi menyelamatkan anak yang sedikitpun tak dikenalnya.
Ironisnya, Sofyan Hadi masih kembali ke kabin untuk membantu rekan-rekannya memperlambat laju kereta itu. Toh semua atas kuasa Tuhan, sekuat apapun manusia berusaha membentengi diri dari yang namanya maut. Tidak ada yang dapat melawat tabir rahasia Tuhan di alam semesta ini. Tabrakan tak dapat terhindarkan kereta “adu banteng” dengan truk tangki milik pertamina akhirnya ledakan dahsyat terdengar. Penumpang semua pada berlari menyelamatkan diri, berhamburan, berteriak, sampai menyebut nama Tuhan.
Akhirnya Sofyan Hadi bersama dua rekannya, terjebak di tengah kobaran api. Jasadnya ditemukan tim penyelamat, di kabin masinis telah hangus dilalap api. Sungguh memilukan dan mengiris-iris hati, seandainya kita semua, saudara pembaca tat kala hadir melihat kejadian itu.
Tuhan Bersama Sofyan Hadi
Serupa dengan kejadian lainnya, baik yang terjadi dengan diri kita pribadi maupun orang lain. Banyak kali dan berulang-ulang kita mendegarnya, bahwa setiap ada orang yang dijemput oleh yang Maha kuasa. Walau Tuhan lebih mencintai dan menyayanginya, rasa sayang manusia terhadap sesamanya tidak bisa dipungkari. Banyak kisah, pasti akan menjadi sejarah yang berbicara guna mengenang, bernostalgia terhadap orang yang telah meninggalkan kita selamanya. Demikian pula yang terjadi dari tragedy kematian Sofyan Hadi. Seluruh sanak keluarganya bercerita siapa sesungguhnya sosok Sofyan Hadi itu ?
Dideskripsikan dalam suasana berduka, isak tangis yang mendalam oleh ayah tercintanya, mrelalui siaran TV swasta, Ade rukhim mengakui anaknya itu sebagai pribadi yang ulet, rajin, patuh pada orang tua, bahkan dikenal supel, dan muda bergaul dengan semua kalangan. Diketahui pula dari pengakuan keluarga Sofayan Hadi, bahwa cita-cita untuk menjadi masinis kereta api merupakan pekerjaan yang sudah lama di dambakannya, walau belum mejadi masinis hingga maut dini menjemputnya, hanya seorang tekhnisi tapi hidupnya sudah diabadikan sepenuhnya di kereta.
Pertanyaan yang mengganjal, serta menyisakan asa buat kita semua. Apakah Sofyan Hadi lebih mencintai hidup orang lain dari pada dirinya pribadi ? Mengapa dengan begitu mulia menyelematkan hidup seorang anak kecil, padahal dia belum melakoni hidup bak seorang ayah, Sofyan Hadi keburuh meninggal sebelum meminang kekasih yang dicintainya sejak SMP itu.
Namun yang pasti, tanpa ditanya kepada mereka, siapapun itu, tanpa menanyakan identitasnya (ras, agama, suku, bahkan bangsa) semua dipastikan akan menjawab kematian Sofyan Hadi adalah kematian bersama dengan Tuhan. Semua orang pada mendoakannya selamat di akhirat.
Jihad di Kereta
Hemat saya mencermati peristiwa kecelakaan tersebut, atas keterbatasan saya pula sebagai penulis jalanan. Ada sebuah pembeda lakon jihad yang dilakukan oleh Sofyan Hadi dengan klaim jihad oleh para teroris melalui aksi bom bunuh diri.
Sofyan Hadi memang mengorbankan jiwanya tapi bukan untuk membunuh. Tetapi untuk menyelamatkan segelintir umat manusia yaitu penumpang. Inilah jihad di kreta yang penting ditangkap dan ditelaah bersama oleh para mujahidin, bahwa jihad tidak selamanya harus turun di medan perang mempertahankan agama, harta, dan hak milik yang diakuinya. Jihad, yang dimaknai berjuang di jalan Allah bisa dilakukan dimana saja tanpa mengenal ruang dan waktu. Aksi jihad bisa dilakukan di kampus, di jalan, di kantor kerja, di parlemen dan seterusnya, kalau semua itu dilakukan semata-semata dengan niat ikhlas untuk meraih keridhoan Allah SWT.
Tragedi kematian Sofyan Hadi menjadi pelajaran khusus ummat Islam, mengorbankan raga dan nyawa, Tuhan akan mengganjarnya dengan sebuah kemewahan, yang penting itu untuk keselamatan sesama, keselamatan umat manusia tanpa melihat warna kulit, agama dan latar belakang mereka.
Kisah penyelamatan anak mungil oleh Sofyan Hadi seolah memutar ulang sejarah, aksi heroik, jiwa kesatria Ali Bin Abi Thalib yang rela tersayat pedang demi melindungi Nabiullah Muhammad SAW di medan perang. Tak terkecuali ummat nasrani, Kristen, bahwa kerelaan Yesus memanggul dosa ummatnya, melalui cara penyaliban. Serupa pula dengan perilaku yang telah diperankan oleh Sofyan Hadi akhirnya hangus terbakar api demi menyerukan kepada para penumpang agar cepat gegas menyelamatkan diri.
Bulan Desember, banyak orang menyebutnya sebagai Desember kelabu, sebuah judul lagu yang pernah dipopulerkan oleh Maharani Kahar di era 1980-an ada benarnya untuk konteks hari ini, bahkan untuk waktu yang akan datang. Begitu banyak peristiwa yang menyebabkan bulan itu menjadi kelabu. Tetapi kelabu dan berdukanya umat manusia di bulan itu, masih ada ruang yang tersisa bagi kita untuk membaca kuasa dan maha penyayangnya Tuhan atas seluruh ummatnya. Tinggal kita memaksimalkan saja potensi yang telah dikaruniakan oleh Allah, semenjak kita dilahirkan di muka bumi ini. Wallahu wa’lam bissowab. (*)
Persitiwa itupun kemudian menimbulkan korban berjatuhan, ada yang luka berat, luka ringan, rawat inap, rawat jalan. Hingga yang paling memilukan, menyayat hati, dan menderai air mata yakni adanya kematian terhadap sejumlah penumpang dan pegawai di dalam kereta api itu.
Satu dan lain hal dari kecelakaan yang menerjang maut dari kecelakaan 9 Desember kemarin. Ada sebuah hikmah patut menjadi catatan, renungan kita bersama, adalah kematian Sofyan Hadi yang berprofesi sebagai tekhnisi kereta bersama rekan sejawatnya Darman Prasetyo (masinis), dan Agus Subroto (asisten masinis).
Tanpa bermaksud mengingkari adapula kesan yang ditinggalkan oleh dua rekan sejawatnya itu, Sofyan Hadilah meninggalkan pesan dan ruang yang penuh makna, tidak kosong untuk kita tafsir bersama. Mari kita simak, beberapa pemberitaan mulai dari media elektronik hingga media cetak mengulas, menceritakan ulang kronologis detik-detik kematian Sofayan Hadi. Saat dilihatnya, di hadapan kereta api itu, sebuah mobil tangki sedang melintas dari kereta yang sedang ditumpanginya. Hanya dalam hitungan detik, waktu yang tersisa, Sofyan Hadi keluar dari kabin Masinis dan memerintahkan penumpang mundur, sambil berpegangan pada tiang atau kursi penumpang.
Di tengah geliat detik-detik kecelakaan demikian, siapa yang tidak takut? siapapun pasti akan menjemput mautnya kalau tidak mencari waktu untuk menyelamatkan diri. Panik, kata yang paling tepat, dipastikan sedang menghinggapi semua penumpang pada waktu itu. Namun Sofyan Hadi bukan pegawai yang pengecut, penghianat, yang sengaja mencari aman. Di lihatnya ada seorang anak menangis mencari-cari ibunya di gerbong depan. Dia langsung membawa anak itu, digendongnya, sampai menggeser anak tersebut ke gerbong belakang. Bahkan sempat bergeser sampai ke gerbong ke tiga demi menyelamatkan anak yang sedikitpun tak dikenalnya.
Ironisnya, Sofyan Hadi masih kembali ke kabin untuk membantu rekan-rekannya memperlambat laju kereta itu. Toh semua atas kuasa Tuhan, sekuat apapun manusia berusaha membentengi diri dari yang namanya maut. Tidak ada yang dapat melawat tabir rahasia Tuhan di alam semesta ini. Tabrakan tak dapat terhindarkan kereta “adu banteng” dengan truk tangki milik pertamina akhirnya ledakan dahsyat terdengar. Penumpang semua pada berlari menyelamatkan diri, berhamburan, berteriak, sampai menyebut nama Tuhan.
Akhirnya Sofyan Hadi bersama dua rekannya, terjebak di tengah kobaran api. Jasadnya ditemukan tim penyelamat, di kabin masinis telah hangus dilalap api. Sungguh memilukan dan mengiris-iris hati, seandainya kita semua, saudara pembaca tat kala hadir melihat kejadian itu.
Tuhan Bersama Sofyan Hadi
Serupa dengan kejadian lainnya, baik yang terjadi dengan diri kita pribadi maupun orang lain. Banyak kali dan berulang-ulang kita mendegarnya, bahwa setiap ada orang yang dijemput oleh yang Maha kuasa. Walau Tuhan lebih mencintai dan menyayanginya, rasa sayang manusia terhadap sesamanya tidak bisa dipungkari. Banyak kisah, pasti akan menjadi sejarah yang berbicara guna mengenang, bernostalgia terhadap orang yang telah meninggalkan kita selamanya. Demikian pula yang terjadi dari tragedy kematian Sofyan Hadi. Seluruh sanak keluarganya bercerita siapa sesungguhnya sosok Sofyan Hadi itu ?
Dideskripsikan dalam suasana berduka, isak tangis yang mendalam oleh ayah tercintanya, mrelalui siaran TV swasta, Ade rukhim mengakui anaknya itu sebagai pribadi yang ulet, rajin, patuh pada orang tua, bahkan dikenal supel, dan muda bergaul dengan semua kalangan. Diketahui pula dari pengakuan keluarga Sofayan Hadi, bahwa cita-cita untuk menjadi masinis kereta api merupakan pekerjaan yang sudah lama di dambakannya, walau belum mejadi masinis hingga maut dini menjemputnya, hanya seorang tekhnisi tapi hidupnya sudah diabadikan sepenuhnya di kereta.
Pertanyaan yang mengganjal, serta menyisakan asa buat kita semua. Apakah Sofyan Hadi lebih mencintai hidup orang lain dari pada dirinya pribadi ? Mengapa dengan begitu mulia menyelematkan hidup seorang anak kecil, padahal dia belum melakoni hidup bak seorang ayah, Sofyan Hadi keburuh meninggal sebelum meminang kekasih yang dicintainya sejak SMP itu.
Namun yang pasti, tanpa ditanya kepada mereka, siapapun itu, tanpa menanyakan identitasnya (ras, agama, suku, bahkan bangsa) semua dipastikan akan menjawab kematian Sofyan Hadi adalah kematian bersama dengan Tuhan. Semua orang pada mendoakannya selamat di akhirat.
Jihad di Kereta
Hemat saya mencermati peristiwa kecelakaan tersebut, atas keterbatasan saya pula sebagai penulis jalanan. Ada sebuah pembeda lakon jihad yang dilakukan oleh Sofyan Hadi dengan klaim jihad oleh para teroris melalui aksi bom bunuh diri.
Sofyan Hadi memang mengorbankan jiwanya tapi bukan untuk membunuh. Tetapi untuk menyelamatkan segelintir umat manusia yaitu penumpang. Inilah jihad di kreta yang penting ditangkap dan ditelaah bersama oleh para mujahidin, bahwa jihad tidak selamanya harus turun di medan perang mempertahankan agama, harta, dan hak milik yang diakuinya. Jihad, yang dimaknai berjuang di jalan Allah bisa dilakukan dimana saja tanpa mengenal ruang dan waktu. Aksi jihad bisa dilakukan di kampus, di jalan, di kantor kerja, di parlemen dan seterusnya, kalau semua itu dilakukan semata-semata dengan niat ikhlas untuk meraih keridhoan Allah SWT.
Tragedi kematian Sofyan Hadi menjadi pelajaran khusus ummat Islam, mengorbankan raga dan nyawa, Tuhan akan mengganjarnya dengan sebuah kemewahan, yang penting itu untuk keselamatan sesama, keselamatan umat manusia tanpa melihat warna kulit, agama dan latar belakang mereka.
Kisah penyelamatan anak mungil oleh Sofyan Hadi seolah memutar ulang sejarah, aksi heroik, jiwa kesatria Ali Bin Abi Thalib yang rela tersayat pedang demi melindungi Nabiullah Muhammad SAW di medan perang. Tak terkecuali ummat nasrani, Kristen, bahwa kerelaan Yesus memanggul dosa ummatnya, melalui cara penyaliban. Serupa pula dengan perilaku yang telah diperankan oleh Sofyan Hadi akhirnya hangus terbakar api demi menyerukan kepada para penumpang agar cepat gegas menyelamatkan diri.
Bulan Desember, banyak orang menyebutnya sebagai Desember kelabu, sebuah judul lagu yang pernah dipopulerkan oleh Maharani Kahar di era 1980-an ada benarnya untuk konteks hari ini, bahkan untuk waktu yang akan datang. Begitu banyak peristiwa yang menyebabkan bulan itu menjadi kelabu. Tetapi kelabu dan berdukanya umat manusia di bulan itu, masih ada ruang yang tersisa bagi kita untuk membaca kuasa dan maha penyayangnya Tuhan atas seluruh ummatnya. Tinggal kita memaksimalkan saja potensi yang telah dikaruniakan oleh Allah, semenjak kita dilahirkan di muka bumi ini. Wallahu wa’lam bissowab. (*)