Sudah hampir sebulan. Selama saya menulis di Harian Gorontalo Post.
Saya tidak pernah lagi melakukan pencerahan politik terhadap wajah
perpolitikan kita. Baik dalam skala nasional maupun skala lokal. Wajah
politik yang kian hari carut marut dan mengalami degradasi. Degradasi
politik itu disebabkan karena diserang oleh deviasi politik. Gara-gara
banyak politisi di parlemen berhianat dengan rakyat yang pernah
memilihnya. Termasuk partai Golkar. Yang kadernya juga tidak bersih dari
perbuatan korupsi. Kita bisa melihat kasus yang menimpa ZD kemarin
dalam korupsi pengadaan Al-qur’an. Belum lagi ZD, videonya muncul di
Youtube bersama rekan komisi delapan. Berlagak bodoh saat berplisir ke
Australia.
Melihat kasus-demi kasus yang tidak jauh berbeda, partai Golkar dengan
partai lainnya. Saya sebagai akademisi sekaligus peneliti. Saya tidak
punya kepentingan sama sekali. Dengan partai dan warna-warnanya. Mau
warna kuning, merah, biru, hijau atau simbol kotak-kotak. Sebagai
akademisi dan semata untuk membuka titik terang dan pencerahan politik
kepada warga masyarakat. Maka tanpa mengurangi rasa hormat saya. Kita
harus mendiskusikan betulkah partai Golkar memihak rakyat ?
Untuk mengcounter analisis Daeng Irfan, ketika mengatakan bahwa salah
satu bukti keberpihakan politisi Golkar adalah pada saat isu Century.
Meski katanya partai koalisi. Namun tetap memihak pada suara rakyat.
Tanggapan balik saya, malah sebaliknya. Suatu hal yang aneh ketika
partai berada dalam lingkaran koalisi. Kemudian menentang lingkaran
koalisinya. Meminjam istilah Hanta Yudha. Gejala inkonsistensi yang
demikian sebenarnya akan semakin membuat berjalannya sistem
presidensialisme dalam setengah hati. Bukan presidensialisme yang ideal.
Partai Golkar yang hidup di dua tempat, seolah hidup di air kemudian
kembali di darat. Atau lebih tepatnya mungkin tak salah kalau dikatakan
sebagai partai Bunglon. Justeru akan membuat konstituennya semakin
bingung dalam menatap perpolitikan nasional ke depan. Dalam konteks ini
saudara Daeng Irfan perlu tahu bahwa sikap partai Golkar yang selalu
bermanufer, berakrobat. Adalah gejala “anomie” politik. Yang pada
akhirnya akan menggiring masyarakat pada gejala apa yang disebut
deparpolisiasi. Bahkan deparlemanisasi.
Kemudian yang kedua, Daeng Irfan juga mengatakan bahwa partai Golkar
yang paling berperan, kemarin dalam menyikapi, sikap pemerintah untuk
menaikkan BBM. Sekali lagi saya pernah mengulas masalah ini. Sikap
partai Golkar yang konon mengatakan dirinya menolak kenaikan BBM. Dalam
sebuah artikel saya, juga di harian Gorontalo Post “Akrobat Parpol Vs
Politik Zigzag.” Dalam artikel itu saya berkali-kali mengatakan bahwa
Golkar melakukan manuver, berakrobat, memakai jebakan batman, dengan
memecundangi partai- PKS dan Demokrat.
Ingat, Golkar pada waktu itu dalam sidang paripurna bukan menolak tetapi
melakukan pemerkosaan terhadap UU. Secara kasat mata langsung mengubah
pasal-pasal tanpa melalui rapat paripurna untuk pembahasan sekaligus
perubahan UU.
Golkar sejak itu malah memilih untuk tidak ikut pada opsi pemerintah
tapi juga tidak ikut pada opsi rakyat. Dia mengatakan melalui suara
“sengau”, suara cempreng, suara ingusan Idrus Marhan mengatakan untuk
saat ini, partai kami (baca: Golkar) memilih untuk tidak menaikkan BBM.
Dalam bahasa politik ada bahasa yang penuh “pembiasan” alias bahasa
bersayap sebagaimana Witgenstein menyebutnya language game atau oleh
Derrida itulah yang disebut pembongkaran (dekonstruksi) terhadap teks
untuk kepentingan kuasa dan bahasa.
Pudarnya Pesona Golkar
Setelah konfrensi Golkar dan pada akhirnya menobatkan ARB sebagai calon
Presiden 2014, bagi saya justeru dari hasil pencalonan ARB. Adalah akhir
dari segala harapan Golkar untuk menjadi pemenang 2014 nanti.
Saya menantang, pernahkan saudara Daeng Irfan melihat, memperhatikan
baik-baik hasil surfei dari berbagi penelitian (seperti lembaga survey
maupun lingkar survey), malah pasca penobatan AVB, langsung kredibiltas
dan elekatabilitas Golkar kian merosot ke bawah. Justeru Prabowo
meskipun sebagai pelanggar HAM dan dituduh terlibat dalam penculikan
aktivis di era 1997 berada di atas popularitas ARB. Mungkin masyarakat
yang menjadi responden dari tangan para peneliti, masyarakat itu
melupakan atau amnesia terhadap kesalahan Prabowo di masa lalu. Atau
boleh jadi karena sejak tahun 1999 hingga tahun 2000-an, media belum
terlalu getol menelanjangi aktor-kator politik di zaman itu.
Berbanding terbalik dengan ARB. Justeru masyarakat, hampir semua
mengetahui kalau ARB terlibat dalam kasus lumpur Lapindo yang
mengorbankan puluhan rumah penduduk di tempat itu. Belum lagi kasus
pajak yang menyeret nama dan perusahaannya.
Melihat beberapa hasil survey dan strategi politik saat ini. Bagi partai
golkar bagi saya, saatnya untuk mengatakan golkar semakin memudar
pesonanya. Bahkan fenomena lompat pagar yang disinyalir oleh Daeng irfan
dalam tulisannya “Partai Golkar dan Politisi Lompat pagar” lagi yang
demikian itu bahagian dari kelamahan partai Golkar merangkul
konstituennya. Kemudian banyak kader yang melompat ke partai lain atau
partai baru.
Dalam analisis politik modern, fenomena yang demikian dikatakan sebagai
gejala deviasi politik. Atau fungsi partai politik yang diharapkan untuk
memperkuat kaderisasi dalam kesamaan haluan (counterpaat), ideologi,
dan platform partai, gagal total.
Kalau kita mau berharap kepada partai Golkar yang setidaknya dapat
memegang tongkat estafet. Menyederhanakan partai dalam rangka
pembentukan sistem presidensial yang murni. Bukan presidensial yang
tersandera oleh parlemen. Malah partai golkar tidak memikirkan sistem
ini. Agar ke depannya pemerintahan benar-benar memihak rakyatnya sebagai
pemegang kedaulatan.
Kira-kira masihkah kita mengatakan partai Golkar sebagai suara rakyat
jika dari partainya kian hari ada partai-partai semakin tumbuh di luar
lingkunganya yang mekar bagai cendawan ? Padahal kita tahu bahwa sistem
multi partai amat tidak cocok dengan sistem pemerintahan
presidensialisme sebagai yang sering diluas oleh Giovanni Sartory dan
Scott Mainwaring.
Terakhir, bagi saya melihat partai Gokkar sebagai partai lama. Partai
Golkar akan mendapatkan suara dari kelompok-kelompok tradisional yang
masih tersandera dengan ideologi Soeharto. Yang selalu mengatakan bahwa
jika Golkar menang negara aman.
Golkar hanya bisa mendulang suara dari pemilih tradisional, yang tidak
berpendidikan alias yang menengah ke bawah. Dan kita tahu juga bahwa
pemilih dalam kelas ini lebih gampang dijanji, disogok, dibohongi dengan
isu pendidikan dan kesehatan gratis. Sementara kalau hendak mendulang
suara dari kelas elit atau menengah ke atas sepertinya Golkar harus
bersabar dulu. Karena pasti ceruk pemilih akan memepertanyakan apa yang
pernah dikerjakan oleh partai ini, partai itu.
Lebih-lebih calon presiden pasti akan ditelanjangi rekam jejaknya. Cara
menghukum kelompok pemilih ini adalah dengan tidak memilih partai dan
calon presidennya, calon DPRnya, calon DPRDnya. Karena dinggap telah
menyimpan dosa-dosa politik.
Saatnya sekarang partai Golkar berijtihad, melakukan pertobatan politik.
Dan mengakui kesalahan-kesalahannya, terutama kader-kadernya yang telah
masuk dalam perangkap korupsi. Termasuk Capresnya harus berani
bertanggung jawab terhadap korban lumpur lapindo. Kalau ARB benar-benar
serius ingin dipilih oleh rakyat nantinya.
Tak lupa kepada calon-calon legislatif dari partai Golkar yang saat ini
sudah menggadang kursi-kursi rakyat. Harus berani mendorong figur-figur
mudanya. Yang rekam jejaknya dipercaya oleh rakyat. Karena kemarin,
PILGUB di DKI Jakarta yang mengusung Alex-Nono dengan menunggangi kader
Golkar adalah pelajaran berharga bagi partai Golkar. Bahwa saat ini
ceruk pemilih lebih banyak dihipnotis dengan figur dari pada janji-janji
partai. Anda yang akan mencalonkan harus mengenal simbol ini (D3);
Dikenal, Disuka dan Dipilih.
Artikel ini juga dimuat di Harian Gorontalo Post 13 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar