Kamis, 15 November 2012

Pudarnya Pesona Partai Golkar (Tanggapan Balik Atas Tulisan Daeng Irfan)

Sudah hampir sebulan. Selama saya menulis di Harian Gorontalo Post. Saya tidak pernah lagi melakukan pencerahan politik terhadap wajah perpolitikan kita. Baik dalam skala nasional maupun skala lokal. Wajah politik yang kian hari carut marut dan mengalami degradasi. Degradasi politik itu disebabkan karena diserang oleh deviasi politik. Gara-gara banyak politisi di parlemen berhianat dengan rakyat yang pernah memilihnya. Termasuk partai Golkar. Yang kadernya juga tidak bersih dari perbuatan korupsi. Kita bisa melihat kasus yang menimpa ZD kemarin dalam korupsi pengadaan Al-qur’an. Belum lagi ZD, videonya muncul di Youtube bersama rekan komisi delapan. Berlagak bodoh saat berplisir ke Australia.

Melihat kasus-demi kasus yang tidak jauh berbeda, partai Golkar dengan partai lainnya. Saya sebagai akademisi sekaligus peneliti. Saya tidak punya kepentingan sama sekali. Dengan partai dan warna-warnanya. Mau warna kuning, merah, biru, hijau atau simbol kotak-kotak. Sebagai akademisi dan semata untuk membuka titik terang dan pencerahan politik kepada warga masyarakat. Maka tanpa mengurangi rasa hormat saya. Kita harus mendiskusikan betulkah partai Golkar memihak rakyat ?
Untuk mengcounter analisis Daeng Irfan, ketika mengatakan bahwa salah satu bukti keberpihakan politisi Golkar adalah pada saat isu Century. Meski katanya partai koalisi. Namun tetap memihak pada suara rakyat. Tanggapan balik saya, malah sebaliknya. Suatu hal yang aneh ketika partai berada dalam lingkaran koalisi. Kemudian menentang lingkaran koalisinya. Meminjam istilah Hanta Yudha. Gejala inkonsistensi yang demikian sebenarnya akan semakin membuat berjalannya sistem presidensialisme dalam setengah hati. Bukan presidensialisme yang ideal.

Partai Golkar yang hidup di dua tempat, seolah hidup di air kemudian kembali di darat. Atau lebih tepatnya mungkin tak salah kalau dikatakan sebagai partai Bunglon. Justeru akan membuat konstituennya semakin bingung dalam menatap perpolitikan nasional ke depan. Dalam konteks ini saudara Daeng Irfan perlu tahu bahwa sikap partai Golkar yang selalu bermanufer, berakrobat. Adalah gejala “anomie” politik. Yang pada akhirnya akan menggiring masyarakat pada gejala apa yang disebut deparpolisiasi. Bahkan deparlemanisasi.

Kemudian yang kedua, Daeng Irfan juga mengatakan bahwa partai Golkar yang paling berperan, kemarin dalam menyikapi, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM. Sekali lagi saya pernah mengulas masalah ini. Sikap partai Golkar yang konon mengatakan dirinya menolak kenaikan BBM. Dalam sebuah artikel saya, juga di harian Gorontalo Post “Akrobat Parpol Vs Politik Zigzag.” Dalam artikel itu saya berkali-kali mengatakan bahwa Golkar melakukan manuver, berakrobat, memakai jebakan batman, dengan memecundangi partai- PKS dan Demokrat.

Ingat, Golkar pada waktu itu dalam sidang paripurna bukan menolak tetapi melakukan pemerkosaan terhadap UU. Secara kasat mata langsung mengubah pasal-pasal tanpa melalui rapat paripurna untuk pembahasan sekaligus perubahan UU.

Golkar sejak itu malah memilih untuk tidak ikut pada opsi pemerintah tapi juga tidak ikut pada opsi rakyat. Dia mengatakan melalui suara “sengau”, suara cempreng, suara ingusan Idrus Marhan mengatakan untuk saat ini, partai kami (baca: Golkar) memilih untuk tidak menaikkan BBM. Dalam bahasa politik ada bahasa yang penuh “pembiasan” alias bahasa bersayap sebagaimana Witgenstein menyebutnya language game atau oleh Derrida itulah yang disebut pembongkaran (dekonstruksi) terhadap teks untuk kepentingan kuasa dan bahasa.

Pudarnya Pesona Golkar

Setelah konfrensi Golkar dan pada akhirnya menobatkan ARB sebagai calon Presiden 2014, bagi saya justeru dari hasil pencalonan ARB. Adalah akhir dari segala harapan Golkar untuk menjadi pemenang 2014 nanti.

Saya menantang, pernahkan saudara Daeng Irfan melihat, memperhatikan baik-baik hasil surfei dari berbagi penelitian (seperti lembaga survey maupun lingkar survey), malah pasca penobatan AVB, langsung kredibiltas dan elekatabilitas Golkar kian merosot ke bawah. Justeru Prabowo meskipun sebagai pelanggar HAM dan dituduh terlibat dalam penculikan aktivis di era 1997 berada di atas popularitas ARB. Mungkin masyarakat yang menjadi responden dari tangan para peneliti, masyarakat itu melupakan atau amnesia terhadap kesalahan Prabowo di masa lalu. Atau boleh jadi karena sejak tahun 1999 hingga tahun 2000-an, media belum terlalu getol menelanjangi aktor-kator politik di zaman itu.

Berbanding terbalik dengan ARB. Justeru masyarakat, hampir semua mengetahui kalau ARB terlibat dalam kasus lumpur Lapindo yang mengorbankan puluhan rumah penduduk di tempat itu. Belum lagi kasus pajak yang menyeret nama dan perusahaannya.

Melihat beberapa hasil survey dan strategi politik saat ini. Bagi partai golkar bagi saya, saatnya untuk mengatakan golkar semakin memudar pesonanya. Bahkan fenomena lompat pagar yang disinyalir oleh Daeng irfan dalam tulisannya “Partai Golkar dan Politisi Lompat pagar” lagi yang demikian itu bahagian dari kelamahan partai Golkar merangkul konstituennya. Kemudian banyak kader yang melompat ke partai lain atau partai baru.

Dalam analisis politik modern, fenomena yang demikian dikatakan sebagai gejala deviasi politik. Atau fungsi partai politik yang diharapkan untuk memperkuat kaderisasi dalam kesamaan haluan (counterpaat), ideologi, dan platform partai, gagal total.

Kalau kita mau berharap kepada partai Golkar yang setidaknya dapat memegang tongkat estafet. Menyederhanakan partai dalam rangka pembentukan sistem presidensial yang murni. Bukan presidensial yang tersandera oleh parlemen. Malah partai golkar tidak memikirkan sistem ini. Agar ke depannya pemerintahan benar-benar memihak rakyatnya sebagai pemegang kedaulatan.
Kira-kira masihkah kita mengatakan partai Golkar sebagai suara rakyat jika dari partainya kian hari ada partai-partai semakin tumbuh di luar lingkunganya yang mekar bagai cendawan ? Padahal kita tahu bahwa sistem multi partai amat tidak cocok dengan sistem pemerintahan presidensialisme sebagai yang sering diluas oleh Giovanni Sartory dan Scott Mainwaring.

Terakhir, bagi saya melihat partai Gokkar sebagai partai lama. Partai Golkar akan mendapatkan suara dari kelompok-kelompok tradisional yang masih tersandera dengan ideologi Soeharto. Yang selalu mengatakan bahwa jika Golkar menang negara aman.

Golkar hanya bisa mendulang suara dari pemilih tradisional, yang tidak berpendidikan alias yang menengah ke bawah. Dan kita tahu juga bahwa pemilih dalam kelas ini lebih gampang dijanji, disogok, dibohongi dengan isu pendidikan dan kesehatan gratis. Sementara kalau hendak mendulang suara dari kelas elit atau menengah ke atas sepertinya Golkar harus bersabar dulu. Karena pasti ceruk pemilih akan memepertanyakan apa yang pernah dikerjakan oleh partai ini, partai itu.

Lebih-lebih calon presiden pasti akan ditelanjangi rekam jejaknya. Cara menghukum kelompok pemilih ini adalah dengan tidak memilih partai dan calon presidennya, calon DPRnya, calon DPRDnya. Karena dinggap telah menyimpan dosa-dosa politik.

Saatnya sekarang partai Golkar berijtihad, melakukan pertobatan politik. Dan mengakui kesalahan-kesalahannya, terutama kader-kadernya yang telah masuk dalam perangkap korupsi. Termasuk Capresnya harus berani bertanggung jawab terhadap korban lumpur lapindo. Kalau ARB benar-benar serius ingin dipilih oleh rakyat nantinya.

Tak lupa kepada calon-calon legislatif dari partai Golkar yang saat ini sudah menggadang kursi-kursi rakyat. Harus berani mendorong figur-figur mudanya. Yang rekam jejaknya dipercaya oleh rakyat. Karena kemarin, PILGUB di DKI Jakarta yang mengusung Alex-Nono dengan menunggangi kader Golkar adalah pelajaran berharga bagi partai Golkar. Bahwa saat ini ceruk pemilih lebih banyak dihipnotis dengan figur dari pada janji-janji partai. Anda yang akan mencalonkan harus mengenal simbol ini (D3); Dikenal, Disuka dan Dipilih.


Artikel ini juga dimuat di Harian Gorontalo Post 13 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar