Hari idul Adha 10 Zulhidjah 1433 Hijriah, baru saja berlalu satu atau dua hari kemarin. Seorang pemuda yang kemudian dibaiat, Nabiullah Ismail as menunjukan perjuangan sang pemuda melawan syahwat kuasa duniawi. Di saat yang sama kita juga menggores kenangan, kembali memperingati hari Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), dimana para kaum muda di zaman itu mengumandangkan “khutbah” pemersatu bangsa.
Ironis nan memilukan
kondisi akhir-akhir ini. Ketika harapan itu digadaikan pada kaum muda, oleh
karena justru berbanding terbalik dengan kondisi anak muda saat ini Ada
peristiwa tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, bahkan merembes tawuran antar
polisi dan mahasiswa.
Tidak sampai disitu,
derita yang menimpah kaum muda kita, sebagai pemakai narkotik, pengedar obat
terlarang, kebiasaan seks bebas. Tat kala runyamnya, memutus satu persatu benih
dan harapan tunas muda kita. Pertanyaannya kemudian, gagalkah kita menjiwai
sumpah pemuda di negeri ini ?
Pidato Soekarno, rupanya
hanya polesan kata pemanis bibir, tinggal kenangan ketika beliau pernah mengatakan
” beri aku 1.000 orang tua, niscaya
akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan
dunia.”
Memang dunia telah terguncang
dengan aksi kaum muda, tetapi guncangan itu semakin membuat nusantara dalam
jurang tubing kegagalan. Dan tidak mungkin kita berharap sejajar dengan Negara
maju, apalagi memimpikan Negara super power bak Negara Amerika
Serikat.
Memperingati hari sumpah pemuda,
tidak berarti kita harus melupakan yang tua atau yang senior. Karena kepada
merekalah para kaum muda itu belajar, meneladani dan mencontoh. Stigma negeri gagal
sebenarnya bukan dosa kaum muda, tetapi itu semua dicontohkan oleh kaum-kaum
tua, politisi senior dan pejabat pejabat senior.
Tidak mungkin ada tawuran kalau
tidak ada bibit yang melakukan propaganda, dan hal itu berawal dari provokasi
senior-senior kampus. Bahwa fakultasnyalah yang terbaik, bahwa sekolahnyalah
yang terbaik.
Tidak mungkin ada koruptor baru
dari kalangan muda seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh, Gayus Tambunan dan
Waode Nurhayati. Kalau mereka ini tidak belajar dan diajari oleh kaum tua,
terik menilap dan menggarong uang milik rakyat.
Tidak mungkin ada penyalahgunaan
narkotika Apriani Susanti dan Novie Amilia dari kalangan muda, kalau tidak ada
gembong narkotik pemilik pabrik ekstasi sekelas Henky Gunawan yang diampuni
dosanya melalui PK. Dari pidana mati, kemudian berubah
menjadi lima belas tahun penjara.
Ada lagi, bagaimana mungkin
calon-calon penegak hukum muda di negeri ini memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela kalau ada hakim sekelas Puji Wijayanto kedapatan
mengonsumsi narkoba. Lebih ironis lagi kalau ini yang terjadi, ketika
calon-calon Presiden muda selanjutnya, memberikan grasi kepada gembong narkotik
karena sudah ada preseden buruk di masa lalu.
Belum selesai masalah tawuran
pelajar dan korupsi. Lagi-lagi hati kita menjadi pilu, kian amat miris
mengamati data statistik
lima tahun ke belakang. Ketika jumlah remaja yang terlibat kasus Napza sekitar
78% dari 3,2 juta penduduk (SKRRI 2007), di tahun 2009 jumlah remaja yang
terlibat narkoba adalah sekitar 1,1 juta pelajar dan mahasiswa (Badan Narkotika
Nasional, 2012). Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) juga tercatat,
hingga saat ini sudah empat juta menjadi pengguna atau pencandu narkoba, 150.000
di antaranya adalah remaja. Kemudian ditambah dengan hasil riset Universitas
Indonesia dan Australian National University pada 2010 mengatakan bahwa
sebanyak 20,9% remaja putri di Indonesia, telah hamil di luar nikah karena
berhubungan seks dan 38,7% telah mengalami pernikahan usia dini.
Masihkah kita bisa berharap kira-kira dengan tonggak
anak-anak muda. Ketika diharapkan menjadi penerus bangsa melihat kondisi yang
menimpahnya ? Seandainya bisa berteriak dan mengurai air mata para founding father kita di liang lahat, setelah
bersusah payah, memperjuangkan persatuan menuju berbangsa satu, dan berbahasa
satu yaitu bahasa Indonesia.
Mereka pasti akan meneteskan bulir air matanya melihat
pemandang sebuah kehidupan, dimana negeri ini berada di ambang kehancuran.
Terlebih melihat anak-anak muda yang menghabiskan hidupnya hanya dengan
kekerasan, kehidupan glamour, dan seks bebas.
Ironi dan ironi, di saat negeri ini kian tak jelas arahnya. Malah
ditambah runyam dengan bencana degradasi moral. Pemuda kita seolah mengalami
amnesia dari apa yang diamanatkan oleh para pendahulunya.
COMMON ENEMY
Berangkat dari
fakta-fakta di atas, merupakan persoalan besar yang harus kita hadapi bersama.
Kaum tua dapat mengajari yang junior persoalan kearifan, sikap bajik, sikap
bertanggung jawab, kejujuran, dan keterbukaan.
Janganlah kaum tua
mengajarkan perilaku destruktif, tindakan saling membunuh, barabarian, dan memangsa satu sama lain.
Sebagai politisi dan
pejabat senior kaaum tua juga mesti menjadi panutan, bersih dari perbuatan
curang, tidak menilap uang rakyat. Tak
terkecuali para penegak hukum kita, harus member contoh putusan yang adil, fair (nonimparcial) terhadap pelaku-pelaku tindak pidana narkotika. Agar anak-anak
kita yang menjadi tumpuan bangsa tidak lagi digeregoti oleh zat madat yang
demikian.
Kaum tua dan kaum muda
di hari sumpah pemuda ini. Harus saling bahu-membahu dalam melawan musuh
bersama (common enemy). Kaum tua harus mensuport
kaum muda untuk memusuhi bersama, yang namanya kemiskinan, kemelaratan,
kesenjangan, kebodohan dan kejahatan ekstra (seperti korupsi, teroris, &
narkotika).
Jangan kita biarkan
hari sumpah pemuda berlalu, bagai nostalgia belaka. Menjiwai sumpah pemuda berarti
senior-senior atau kaum tua patut menjadi panutan.
Dengan jiwa muda dan
semangat pemuda Indonesia kita
berharap tidak akan ada lagi tawuran dan bentrokan antar sesama anak bangsa,
korupsi
dan penyalahgunaan narkotika.
Responses
3 Respones to "Menjiwai Sumpah Pemuda, Jangan Melupakan Kaum Tua"
http://www.damang.web.id/feeds/5322149792389861782/comments/default
6 Oktober 2018 pukul 09.38
saya pernah ikuti jejak ratu dunia yaitu perna belajar menulis berita dan sekarang itdak cukup berpengalan yang lebih maka sya ingin berkarir di media berita koran sindao
6 Oktober 2018 pukul 09.41
korupsi itu sudah menjadi budaya,tapi sayang jangan menjadikan budaya membunh rakyat dengan korupsi.
6 Oktober 2018 pukul 09.42
Posting Komentar