Kamis, 22 November 2012

Mengajar Dengan Kecerdasan Spiritual

Pernah suatu waktu, di sebuah ruangan kelas yang amat sesak, panas menyengat. Maklum karena ruangan itu tidak dilengkapi dengan AC. Sehingga kondisi mahasiswa yang menumpuk di ruangan, harus mandi keringat untuk mengikuti beberapa mata kuliah. Termasuk dosen yang masuk mengajar, sudah pasti akan mandi keringat juga.

Namun kondisi kampus yang serba berkecukupan itu. Tempat saya mengajar. Masih ada beberapa mahasiswa yang antusias untuk belajar, mengikuti dengan serius mata kuliah yang selalu saya bawakan.

Supaya para pembaca, kita sama-sama dapat memetik hikmah. Makna dari  sebuah profesi yang biasa kita jalani. Maka kali ini saya akan mengangkat cerita dari sebuah pengalaman. pribadi saya. Dari keseharian saya mengajar di sebuah Fakultas Hukum, Universitas Ichsan Gorontalo, di Kabupaten Pohuwato.

Ceritanya begini: Sudah empat kali pertemuan dari mata kuliah yang saya bawakan. Mata kuliah pengantar ilmu Hukum, saya sendiri sebagai penanggung jawabnya. Konon mata kuliah ini adalah mata kuliah yang berat, sehingga banyak teman-teman Dosen “phobia” untuk memegang mata kuliah tersebut.

Pada pertemuan yang kelima. Saya ingin mengadakan evaluasi. Bukan dengan ujian tertulis. Hanya ujian lisan. Saya mengatakan kepada Mahasiswa di dalam ruangan. Pada pertemuan kali ini saya ingin menanyakan materi kuliah saya dari beberapa materi kuliah. Yang saya ajarkan pekan lalu.
Baru  saya mengatakan seperti itu, kemudian hampir semua mahasiswa dalam ruangan kelas. Tersontak kaget, seolah-olah saya dianggap orang yang menguji mereka. Agar lulus dalam melamar sebuah pekerjaan.

Singkat kata singkat cerita. Pada waktu tiba saatnya saya menanya setiap mahasiswa satu persatu. Hampir semua tidak dapat menjawab pertanyaan yang saya ajukan. Padahal sudah berapa kali. Tidak terhitung saya mengulang-ulang dalam setiap pertemuan materi kuliah itu.
Pertanyaan itu adalah materi dasar ilmu hukum, “Sebutkan empat asas hukum yang pernah saya jelaskan ? Dan jawabannya bagi saya sih, cukup muda. Yaitu lex superior derogate legi inferior, lex posterior derogate legi priori, lex specialist derogate legi generale, dan asas nonretroaktif. (ketentuan hukum yang tinggi mengalahkan yang rendah, ketentuan hukum yang baru menglahkan yang lama, ketentuan hukum yang khusus mengalahkan yang umum dan huku itu tidak dapat berlaku surut)

Kelas itu adalah kelas karyawan (reguler sore). Waktu saya menanya seorang mahasiswa. Dan ia tidak mampu menjawab. Saya menyuruh agar ia keluar ruangan dulu dan menghafal ke empat asas yang sudah saya sebutkan tadi di atas. Saya menganggap diri saya berlaku adil. Walaupun itu mungkin justifikasi pribadi saya. Entah keadilan yang sifatnya subjektif saja. Oleh karena semua mahasiswa saya perlakukan sama (equity). Yang tidak mampu menjawab saya mohon agar keluar ruangan dulu. “Silahkan menghafal di luar dulu. Kalau sudah hafal keempat asas tersebut. Baru  kalian masuk ruangan.”

Anehnya dari tindakan saya, bertanya kepada mahasiswa. Seorang mahasiswa yang umurnya saya yakin jauh melampaui umur beberapa dosen di kampus itu. Dia malah melempar, membanting sebuah buku catatan kuliah di hadapan saya. Kemudian dia berlalu, keluar ruangan. Karena memang semua yang tidak dapat menjawab pertanyaan. Maka saya akan memohon, “Tolong sdr/ bapak/ ibu bisa keluar dulu dari ruangan ini. Silahkan hafal di luar ruangan jwaban pertanyaan saya. kalau belum hafal jangan masuk dulu.”

Saya tahu bahwa metode menghafal adalah bukan kebiasaan ilmiah mahasiswa. Namun hal itu terjadi sebagai puncak/ klimaks dari harapan saya. Berharap agar mahasiswa tetap mengerti materi kuliah yang saya ajarkan. meski saya sudah mencoba untuk mengajar, materi kuliah dengan metode analisis, metode memahami kata perkata (verstehen). Namun  masih banyak mahasiswa yang terkesan “cuek” dengan materi kuliah. Yang saya bawakan itu.

Kembali pada peristiwa. Mahasiswa yang membanting bukunya. Respon saya pada waktu itu. Saya tidak menanggapi mahasiswa tadi dengan rasa marah. Walaupun saya mengaku adalah orang Bugis-Makassar. Mengabdi di kampung seberang, milik para tuan tanah di negeri Serambi Madinah itu, Provinsi Gorontalo.

Saya mengaku diriku adalah orang bugis. Yang sangat kental budaya atau adat kampung  dalam bahasa sipakatau, mapatabe (saling memanusiakan). Budaya siri (malu), sampai saya teringat dengan pesan orang tua saya “paentengi sirimu”.

Siri memang adalah siri. Namun dalam konteks ini, budaya akademisi bukanlah budaya kekerasan. Saya tidak perlu memakai filosofi malu karena seorang mahasiswa yang seolah menantang saya berkelahi. Siri dalam arti melawan seseorang karena persoalan mempertahankan ‘harga diri”, justru menghilangkan sisi kemanusiaan kita. Bukankah semua persolan dapat diselesaikan dengan kepala dingin, lalu mengapa kita menempuh dengan adu jotos.

Satu persatu akhirnya mahasiswa antri di depan pintu ruangan. Harus dapat menghafal materi tersebut. Kemudian seterusnya…, Hingga semua mahasiswa satu persatu sudah pada duduk di dalam ruangan.

Kemudian, setelah mereka semua masuk ruangan. Saya tidak jadi melanjutkan materi kuliah. Saya  malah menasehati mereka semua dengan kata-kata kira-kira begini: “Saya tahu bahwa banyak diantara kalian lebih tua umurnya. Ketimbang saya. Namun sekali lagi saya minta maaf, jika terasa menggurui kalian. Tahukah kalian teman-teman, bahwa siapa yang berdosa jika kalian sama sekali tidak mengerti materi kuiah yang saya ajarkan. Jelas jawabannya sayalah yang menanggung dosa itu. Dosa gara-gara saya memakan gaji buta. Bukankah  mengajar adalah tanggung jawab, amanah. Dan kalau kalian tetap tidak mau tahu materi kuliah saya. Maka sama saja teman-teman menjebloskan saya masuk neraka, bahkan bebas tes mungkin masuk di neraka. Karena gaji yang saya terima adalah gaji yang haram alias gaji buta. Dan jika saya memakan makanan dari hasil gaji tersebut. Bukankah akan menjadi segumpal dara, seonggok daging dalam tubuh saya. Jadi konklusinya kalau kalian tidak tegah, saya masuk neraka. Penghuni neraka abadi. Hanya kalian yang dapat menolong saya.”

Dari kisah singkat di atas, setidaknya kita semua penting untuk memahami. Bahwa kemarahan jangan di lawan dengan kemarahan. Katanya para tetua “bahwa api yang panas jangan semakin ditambah perapiannya. Tetapi siramlah dengan air, agar api tersebut padam.”

Menjadi seorang pengajar, pendidik, dosen, guru memang adalah sebuah tugas mulia. Tetapi lebih muliahlah pekerjaan kita jika ditunaikan dalam rasa tanggung jawab, dalam oase keihkhlasan untuk saling berbagi.

Inilah kecerdasan spiritual yang sering digemborkan oleh dunia Barat maupun Timur. Sebuah Kecerdasan ala Danah Zohar dan Ian Marshall dalam titik Tuhan (God spoot) yang dapat menyemai kita pada keberhasilan atau kesuksesan.

Penulis tidak bisa mengklaim berada dalam konteks itu. Pastinya  kita semua bisa berusaha dan saya hanya bisa menulis serta mengajak para pembaca. Mari kita mengajar dengan kecerdasan spiritual. Yaitu sebuah kecerdasan dimana kita sadar akan tanggung jawab pada posisi kita dan menempatkan diri sejajar dengan siapa saja. Karena ilmu yang diajarkan dan diamalkan tidak akan pernah habis. Meski seribu orangpun yang mengetahui apa yang pernah kita ajarkan. Berbeda halnya jika uang yang kita bagi-bagi. Setumpuk gunungpun uang jelas akan habis terbagi. Dan tiada tersisa mungkin di tangan kita.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar