Pernah suatu waktu, di sebuah ruangan kelas yang amat sesak, panas
menyengat. Maklum karena ruangan itu tidak dilengkapi dengan AC.
Sehingga kondisi mahasiswa yang menumpuk di ruangan, harus mandi
keringat untuk mengikuti beberapa mata kuliah. Termasuk dosen yang masuk
mengajar, sudah pasti akan mandi keringat juga.
Namun kondisi kampus yang serba berkecukupan itu. Tempat saya mengajar.
Masih ada beberapa mahasiswa yang antusias untuk belajar, mengikuti
dengan serius mata kuliah yang selalu saya bawakan.
Supaya para pembaca, kita sama-sama dapat memetik hikmah. Makna dari
sebuah profesi yang biasa kita jalani. Maka kali ini saya akan
mengangkat cerita dari sebuah pengalaman. pribadi saya. Dari keseharian
saya mengajar di sebuah Fakultas Hukum, Universitas Ichsan Gorontalo, di
Kabupaten Pohuwato.
Ceritanya begini: Sudah empat kali pertemuan dari mata kuliah yang saya
bawakan. Mata kuliah pengantar ilmu Hukum, saya sendiri sebagai
penanggung jawabnya. Konon mata kuliah ini adalah mata kuliah yang
berat, sehingga banyak teman-teman Dosen “phobia” untuk memegang mata kuliah tersebut.
Pada pertemuan yang kelima. Saya ingin mengadakan evaluasi. Bukan dengan
ujian tertulis. Hanya ujian lisan. Saya mengatakan kepada Mahasiswa di
dalam ruangan. Pada pertemuan kali ini saya ingin menanyakan materi
kuliah saya dari beberapa materi kuliah. Yang saya ajarkan pekan lalu.
Baru saya mengatakan seperti itu, kemudian hampir semua mahasiswa dalam
ruangan kelas. Tersontak kaget, seolah-olah saya dianggap orang yang
menguji mereka. Agar lulus dalam melamar sebuah pekerjaan.
Singkat kata singkat cerita. Pada waktu tiba saatnya saya menanya setiap
mahasiswa satu persatu. Hampir semua tidak dapat menjawab pertanyaan
yang saya ajukan. Padahal sudah berapa kali. Tidak terhitung saya
mengulang-ulang dalam setiap pertemuan materi kuliah itu.
Pertanyaan itu adalah materi dasar ilmu hukum, “Sebutkan empat asas
hukum yang pernah saya jelaskan ? Dan jawabannya bagi saya sih, cukup
muda. Yaitu lex superior derogate legi inferior, lex posterior
derogate legi priori, lex specialist derogate legi generale, dan asas
nonretroaktif. (ketentuan hukum yang tinggi mengalahkan yang rendah,
ketentuan hukum yang baru menglahkan yang lama, ketentuan hukum yang
khusus mengalahkan yang umum dan huku itu tidak dapat berlaku surut)
Kelas itu adalah kelas karyawan (reguler sore). Waktu saya menanya
seorang mahasiswa. Dan ia tidak mampu menjawab. Saya menyuruh agar ia
keluar ruangan dulu dan menghafal ke empat asas yang sudah saya sebutkan
tadi di atas. Saya menganggap diri saya berlaku adil. Walaupun itu
mungkin justifikasi pribadi saya. Entah keadilan yang sifatnya subjektif
saja. Oleh karena semua mahasiswa saya perlakukan sama (equity). Yang tidak mampu menjawab saya mohon agar keluar ruangan dulu. “Silahkan menghafal di luar dulu. Kalau sudah hafal keempat asas tersebut. Baru kalian masuk ruangan.”
Anehnya dari tindakan saya, bertanya kepada mahasiswa. Seorang mahasiswa
yang umurnya saya yakin jauh melampaui umur beberapa dosen di kampus
itu. Dia malah melempar, membanting sebuah buku catatan kuliah di
hadapan saya. Kemudian dia berlalu, keluar ruangan. Karena memang semua
yang tidak dapat menjawab pertanyaan. Maka saya akan memohon, “Tolong
sdr/ bapak/ ibu bisa keluar dulu dari ruangan ini. Silahkan hafal di
luar ruangan jwaban pertanyaan saya. kalau belum hafal jangan masuk
dulu.”
Saya tahu bahwa metode menghafal adalah bukan kebiasaan ilmiah
mahasiswa. Namun hal itu terjadi sebagai puncak/ klimaks dari harapan
saya. Berharap agar mahasiswa tetap mengerti materi kuliah yang saya
ajarkan. meski saya sudah mencoba untuk mengajar, materi kuliah dengan
metode analisis, metode memahami kata perkata (verstehen). Namun masih banyak mahasiswa yang terkesan “cuek” dengan materi kuliah. Yang saya bawakan itu.
Kembali pada peristiwa. Mahasiswa yang membanting bukunya. Respon saya
pada waktu itu. Saya tidak menanggapi mahasiswa tadi dengan rasa marah.
Walaupun saya mengaku adalah orang Bugis-Makassar. Mengabdi di kampung
seberang, milik para tuan tanah di negeri Serambi Madinah itu, Provinsi
Gorontalo.
Saya mengaku diriku adalah orang bugis. Yang sangat kental budaya atau adat kampung dalam bahasa sipakatau, mapatabe (saling memanusiakan). Budaya siri (malu), sampai saya teringat dengan pesan orang tua saya “paentengi sirimu”.
Siri memang adalah siri. Namun dalam konteks ini,
budaya akademisi bukanlah budaya kekerasan. Saya tidak perlu memakai
filosofi malu karena seorang mahasiswa yang seolah menantang saya
berkelahi. Siri dalam arti melawan seseorang karena persoalan
mempertahankan ‘harga diri”, justru menghilangkan sisi kemanusiaan kita.
Bukankah semua persolan dapat diselesaikan dengan kepala dingin, lalu
mengapa kita menempuh dengan adu jotos.
Satu persatu akhirnya mahasiswa antri di depan pintu ruangan. Harus
dapat menghafal materi tersebut. Kemudian seterusnya…, Hingga semua
mahasiswa satu persatu sudah pada duduk di dalam ruangan.
Kemudian, setelah mereka semua masuk ruangan. Saya tidak jadi
melanjutkan materi kuliah. Saya malah menasehati mereka semua dengan
kata-kata kira-kira begini: “Saya tahu bahwa banyak diantara kalian
lebih tua umurnya. Ketimbang saya. Namun sekali lagi saya minta maaf,
jika terasa menggurui kalian. Tahukah kalian teman-teman, bahwa siapa
yang berdosa jika kalian sama sekali tidak mengerti materi kuiah yang
saya ajarkan. Jelas jawabannya sayalah yang menanggung dosa
itu. Dosa gara-gara saya memakan gaji buta. Bukankah mengajar adalah
tanggung jawab, amanah. Dan kalau kalian tetap tidak mau tahu materi
kuliah saya. Maka sama saja teman-teman menjebloskan saya masuk neraka,
bahkan bebas tes mungkin masuk di neraka. Karena gaji yang saya terima
adalah gaji yang haram alias gaji buta. Dan jika saya memakan makanan
dari hasil gaji tersebut. Bukankah akan menjadi segumpal dara, seonggok
daging dalam tubuh saya. Jadi konklusinya kalau kalian tidak tegah, saya
masuk neraka. Penghuni neraka abadi. Hanya kalian yang dapat menolong
saya.”
Dari kisah singkat di atas, setidaknya kita semua penting untuk
memahami. Bahwa kemarahan jangan di lawan dengan kemarahan. Katanya para
tetua “bahwa api yang panas jangan semakin ditambah perapiannya. Tetapi siramlah dengan air, agar api tersebut padam.”
Menjadi seorang pengajar, pendidik, dosen, guru memang adalah sebuah
tugas mulia. Tetapi lebih muliahlah pekerjaan kita jika ditunaikan dalam
rasa tanggung jawab, dalam oase keihkhlasan untuk saling berbagi.
Inilah kecerdasan spiritual yang sering digemborkan oleh dunia Barat
maupun Timur. Sebuah Kecerdasan ala Danah Zohar dan Ian Marshall dalam
titik Tuhan (God spoot) yang dapat menyemai kita pada keberhasilan atau kesuksesan.
Penulis tidak bisa mengklaim berada dalam konteks itu. Pastinya kita
semua bisa berusaha dan saya hanya bisa menulis serta mengajak para
pembaca. Mari kita mengajar dengan kecerdasan spiritual. Yaitu sebuah
kecerdasan dimana kita sadar akan tanggung jawab pada posisi kita dan
menempatkan diri sejajar dengan siapa saja. Karena ilmu yang diajarkan
dan diamalkan tidak akan pernah habis. Meski seribu orangpun yang
mengetahui apa yang pernah kita ajarkan. Berbeda halnya jika uang yang
kita bagi-bagi. Setumpuk gunungpun uang jelas akan habis terbagi. Dan
tiada tersisa mungkin di tangan kita.*
Responses
0 Respones to "Mengajar Dengan Kecerdasan Spiritual"
Posting Komentar