Hari masih pagi ketika teman Amiruddin PR menelepon saya 17 Juni 2012. Dia mengatakan bahwa di twitter
beredar informasi duka, Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H. berpulang ke
rakhmatullah. Amir – begitu yunior yang satu ini akrab saya sapa –
menanyakan kebenaran informasi melalui jejaring sosial tersebut. Saya
katakan, akan mengecek dulu informasi tersebut melalui teman-teman di
Unhas.
Sejenak termenung, mungkin informasi itu benar adanya. Beberapa hari sebelumnya saya dapat informasi bahwa maha guru Sosiologi Hukum kelahiran Makassar 9 November 1952 itu dirawat di Rumah Sakit Unhas. Prof.Dr.dr.Idrus A Paturusi sempat membesuknya beberapa hari yang lalu.
Saya mengontak adinda Prof.Dr.Farida P., S.H., M.H., salah seorang kerabat dan yuniornya, setelah ponsel Prof.Dr.Musakir, S.H., M.H. yang dikontak sedang off. Prof. Ida – nama yang biasa saya sapa padanya – membenarkan informasi tersebut.
Setelah memperoleh informasi tersebut, saya pun meneruskan SMS dari salah seorang teman ke sepupu saya yang juga mahasiswanya yang selalu almarhum banggakan, Dr.Hamdan Zoelva, S.H., M.H, Kebetulan juga, saat berita duka tersebut, saya sedang berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta mengantar KH Muhammad Hasan, B,.A,, ayah Hamdan, yang juga ipar dari ayah saya.
Pikiran saya kemudian ter-rewind ke 37 tahun silam, ketika saya dengan almarhum sama-sama mengikuti Pendidikan Jurnalistik Universitas Hasanuddin November 1975. Pendidikan tersebut diikuti sejumlah mahasiswa yang berbaur dengan beberapa orang staf administrasi beberapa fakultas. Dua di antara staf administrasi yang menjadi peserta yang masih saya ingat adalah Andi Kartini, almarhumah, adik Kak Andi Syahrir Makkuradde yang ketika itu menjadi pegawai di Fakultas Hukum dan Pak Syamsuri staf Fakultas Kedokteran.
Pendidikan yang dimentori oleh antara lain S.Sinansari ecip (Dr.) dan Anwar Arifin (Prof.Dr.) tersebut juga menjadi ajang menjaring tenaga reporter yang kelak akan memperkuat jajaran redaksi Penerbitan Khusus identitas Universitas Hasanuddin yang baru berusia setahun. Masalahnya, tenaga reporter koran kampus yang jika diibaratkan bayi masih ‘merah’ itu, mengandalkan para mahasiswa Ilmu Publisistik Fisipol Unhas yang kebetulan juga mahasiswa Pak Anwar Arifin. Mereka yang ditarik memperkuat Identitas pada awalnya adalah Zohra Andi Baso, Nursyam Ibrahim, Amiruddin Bachtiar, dan Marwah Daud.
Setelah pendidikan jurnalistik tersebut, almarhum Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H.,(selanjutnya saya singkat AA) saya, Marwah Daud, dan Musbini Musa, terdaftar sebagai reporter di dalam boks ‘reporter’ Identitas. Hanya saja, dua dari empat orang ini – Marwah Daud dan saya – dalam praktik di lapangan menjadi reporter koran kampus itu. Sedangkan almarhum AA lebih konsentrasi menulis artikel berbagai masalah yang menjadi minatnya. Sementara Musbini (Ninik) Musa, praktis tidak menulis berita sama sekali.
Puncak ‘karier’ almarhum sebagai pengelola Identitas adalah ketika pada tahun 1987-1988 (jika tidak salah) dipercayakan sebagai Kepala Humas Unhas ex officio Pemimpin Redaksi Identitas.Ketika itu, Identitas masih ‘nyantol’ di Humas Unhas. Setelah saya menjabat Kepala Humas beberapa tahun, Pemimpin Redaksi (Ketua Penyunting) tidak lagi dipegang secara ex officio oleh Kepala Humas Unhas. Dua sosok yang bukan Kepala Humas Unhas yang menjabat Pemred Identitas itu adalah Aidir Amin Daud (Dr., S.H., M.H.) dan SM Noor (Prof.Dr., S.H., M.H.). Tetapi Kepala Humas Unhas tampak ex officio lagi sebagai Ketua Penyunting Identitas setelah saya menjabat pasca SM Noor.
Meskipun almarhum AA secara praktik di lapangan tidak melaksanakan tugas sebagai wartawan, tetapi keterampilan jurnalistiknya, seperti membuat berita, selalu dipraktikkan setelah menjadi dosen dan hingga menjabat maha guru. Beliau kerap mengirim berita press klaar (berita jadi) kepada saya di Harian Pedoman Rakyat, yang berkaitan dengan informasi tentang aktivitas olahraga beladiri Gojukai yang dipimpinnya. Waktu itu, AA yang masuk Unhas tahun 1974, menjabat Ketua Komisaris Daerah (Komda) Gojukai Sulsel. Setelah tidak lagi menjabat Ketua Komda Gojukai, AA yang menyandang DAN 7 International Karate-Do Gojukai Association (IKGA) yang berpusat di Jepang, menjadi salah seorang sensei dan Ketua Dewan Guru Sabuk Hitam Gojukai.
Ketika masih mahasiswa, hubungan saya dengan AA sangat dekat, meski berbeda fakultas. Koran Identitas merekatkan silaturrahmi kami. Kerap almarhum minta saya jalan-jalan ke kamarnya, di bagian belakang (lewat lorong kecil) Toko Buku Hidayat di Jl.G.Lompobattang (di sebelah selatan Bioskop Artis dulu). Di kamar itulah, kami bercanda dan membahas isi buku-buku baru. Setiap meninggalkan kamarnya, selalu saya dibekali satu buku. Gara-gara almarhumlah saya menjadi ‘rakus’ buku hingga sekarang. Beliau pernah mengirim belasan buku sekaligus kepada saya ketika aktivitasnya lebih banyak di ibu kota negara.
Setelah sangat aktif sebagai wartawan media umum, pernah sekali saya diajak AA mengikuti perjalanannya ke Maros. Ternyata, hari itu almarhum akan menyampaikan pembelaan (pledoi) terhadap salah satu kliennya selaku pengacara. Saya yang awam hukum (meski pernah berniat juga masuk di Fakultas Hukum) terpesona oleh alasan-alasan sosiologis hukum yang dikemukakan AA dalam membela si pesakitan. Apa yang beliau kemukakan – menurut saya setelah menyesuaikan kondisi sekarang – merupakan salah bentuk sumbangsih kajian Sosiologi Hukum yang jadi kepakaran AA dalam mendukung hak asasi manusia. Ada alasan-alasan sosiologis yang selama ini kurang, bahkan mungkin tidak dikemukakan, dalam wacana membela seorang tersangka. Sayang, ternyata sidang yang saya hadiri itu merupakan ujung jalan bagi almarhum menalak predikatnya sebagai penasihat hukum atau pengacara. Usai itu beliau melanjutkan pendidikan Pascasarjana di UGM dan kembali ke Unhas untuk menyelesaikan pendidikan doktornya pada tahun 1998.
Jejak kemahasiswaan AA tercatat dengan tinta emas dalam kehidupannya. Baru tiga tahun menjadi mahasiswa, 1977, bertepatan dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum, AA langsung masuk penjara dalam rombongan massal aktivis mahasiswa Unhas yang dikerangkeng di balik sel mesin politik Orde Baru yang bernama Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) yang merupakan kepanjangan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kompkamtib) dengan ‘tolok’-nya Laksamana Sudomo, almarhum. Gara-garanya, kritikan mahasiswa terhadap kasus Malari 1974 yang terus bersambung hingga beberapa tahun kemudian. Tahun 1979, AA meraih sarjana.
Setelah menjadi maha guru, AA selalu ngotot dan konsisten dengan penegakan keadilan dan supermasi hukum. Kalimat yang selalu dia pahatkan dalam berbagai kesempatan berkaitan dengan penegakan hukum ini adalah ‘’jangan menyapu dengan menggunakan sapu kotor’. Harus dengan sapu bersih. Maksudnya, jika menegakkan hukum harus menggunakan sosok yang bersih dari berbagai kasus hukum.
Saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid almarhum, nama AA pernah mencuat dan hampir-hampir dilantik sebagai Jaksa Agung. Menurut informasi yang disampaikannya kepada saya, pelantikan gagal, karena malam hari sebelum dilantik, AA bergeming dengan salah satu keinginan pihak penguasa dalam satu bargaining dalam satu sesi lobi di sebuah hotel di Jakarta. AA tidak mau kompromi. Almarhum kemudian dipercaya sebagai salah seorang staf ahli Jaksa Agung Prof.Dr.Baharuddin Lopa, S.H. Jabatan itu, juga dipangkunya hingga akhir hayatnya dari pejabat Jaksa Agung yang lain.
Selamat jalan sahabat, jasamu akan menjadi ‘nisan’ kedua bagi kami yang akan menyusulimu.
Jakarta, 17 Juni 2012
Oleh M.Dahlan Abubakar - Dosen Fak.Sastra Unhas
lihat jg: http://www.unhas.ac.id/content/memoriam-profdrachmad-ali-sh-mh-maha-guru-yang-reporter
Sejenak termenung, mungkin informasi itu benar adanya. Beberapa hari sebelumnya saya dapat informasi bahwa maha guru Sosiologi Hukum kelahiran Makassar 9 November 1952 itu dirawat di Rumah Sakit Unhas. Prof.Dr.dr.Idrus A Paturusi sempat membesuknya beberapa hari yang lalu.
Saya mengontak adinda Prof.Dr.Farida P., S.H., M.H., salah seorang kerabat dan yuniornya, setelah ponsel Prof.Dr.Musakir, S.H., M.H. yang dikontak sedang off. Prof. Ida – nama yang biasa saya sapa padanya – membenarkan informasi tersebut.
Setelah memperoleh informasi tersebut, saya pun meneruskan SMS dari salah seorang teman ke sepupu saya yang juga mahasiswanya yang selalu almarhum banggakan, Dr.Hamdan Zoelva, S.H., M.H, Kebetulan juga, saat berita duka tersebut, saya sedang berada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta mengantar KH Muhammad Hasan, B,.A,, ayah Hamdan, yang juga ipar dari ayah saya.
Pikiran saya kemudian ter-rewind ke 37 tahun silam, ketika saya dengan almarhum sama-sama mengikuti Pendidikan Jurnalistik Universitas Hasanuddin November 1975. Pendidikan tersebut diikuti sejumlah mahasiswa yang berbaur dengan beberapa orang staf administrasi beberapa fakultas. Dua di antara staf administrasi yang menjadi peserta yang masih saya ingat adalah Andi Kartini, almarhumah, adik Kak Andi Syahrir Makkuradde yang ketika itu menjadi pegawai di Fakultas Hukum dan Pak Syamsuri staf Fakultas Kedokteran.
Pendidikan yang dimentori oleh antara lain S.Sinansari ecip (Dr.) dan Anwar Arifin (Prof.Dr.) tersebut juga menjadi ajang menjaring tenaga reporter yang kelak akan memperkuat jajaran redaksi Penerbitan Khusus identitas Universitas Hasanuddin yang baru berusia setahun. Masalahnya, tenaga reporter koran kampus yang jika diibaratkan bayi masih ‘merah’ itu, mengandalkan para mahasiswa Ilmu Publisistik Fisipol Unhas yang kebetulan juga mahasiswa Pak Anwar Arifin. Mereka yang ditarik memperkuat Identitas pada awalnya adalah Zohra Andi Baso, Nursyam Ibrahim, Amiruddin Bachtiar, dan Marwah Daud.
Setelah pendidikan jurnalistik tersebut, almarhum Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H.,(selanjutnya saya singkat AA) saya, Marwah Daud, dan Musbini Musa, terdaftar sebagai reporter di dalam boks ‘reporter’ Identitas. Hanya saja, dua dari empat orang ini – Marwah Daud dan saya – dalam praktik di lapangan menjadi reporter koran kampus itu. Sedangkan almarhum AA lebih konsentrasi menulis artikel berbagai masalah yang menjadi minatnya. Sementara Musbini (Ninik) Musa, praktis tidak menulis berita sama sekali.
Puncak ‘karier’ almarhum sebagai pengelola Identitas adalah ketika pada tahun 1987-1988 (jika tidak salah) dipercayakan sebagai Kepala Humas Unhas ex officio Pemimpin Redaksi Identitas.Ketika itu, Identitas masih ‘nyantol’ di Humas Unhas. Setelah saya menjabat Kepala Humas beberapa tahun, Pemimpin Redaksi (Ketua Penyunting) tidak lagi dipegang secara ex officio oleh Kepala Humas Unhas. Dua sosok yang bukan Kepala Humas Unhas yang menjabat Pemred Identitas itu adalah Aidir Amin Daud (Dr., S.H., M.H.) dan SM Noor (Prof.Dr., S.H., M.H.). Tetapi Kepala Humas Unhas tampak ex officio lagi sebagai Ketua Penyunting Identitas setelah saya menjabat pasca SM Noor.
Meskipun almarhum AA secara praktik di lapangan tidak melaksanakan tugas sebagai wartawan, tetapi keterampilan jurnalistiknya, seperti membuat berita, selalu dipraktikkan setelah menjadi dosen dan hingga menjabat maha guru. Beliau kerap mengirim berita press klaar (berita jadi) kepada saya di Harian Pedoman Rakyat, yang berkaitan dengan informasi tentang aktivitas olahraga beladiri Gojukai yang dipimpinnya. Waktu itu, AA yang masuk Unhas tahun 1974, menjabat Ketua Komisaris Daerah (Komda) Gojukai Sulsel. Setelah tidak lagi menjabat Ketua Komda Gojukai, AA yang menyandang DAN 7 International Karate-Do Gojukai Association (IKGA) yang berpusat di Jepang, menjadi salah seorang sensei dan Ketua Dewan Guru Sabuk Hitam Gojukai.
Ketika masih mahasiswa, hubungan saya dengan AA sangat dekat, meski berbeda fakultas. Koran Identitas merekatkan silaturrahmi kami. Kerap almarhum minta saya jalan-jalan ke kamarnya, di bagian belakang (lewat lorong kecil) Toko Buku Hidayat di Jl.G.Lompobattang (di sebelah selatan Bioskop Artis dulu). Di kamar itulah, kami bercanda dan membahas isi buku-buku baru. Setiap meninggalkan kamarnya, selalu saya dibekali satu buku. Gara-gara almarhumlah saya menjadi ‘rakus’ buku hingga sekarang. Beliau pernah mengirim belasan buku sekaligus kepada saya ketika aktivitasnya lebih banyak di ibu kota negara.
Setelah sangat aktif sebagai wartawan media umum, pernah sekali saya diajak AA mengikuti perjalanannya ke Maros. Ternyata, hari itu almarhum akan menyampaikan pembelaan (pledoi) terhadap salah satu kliennya selaku pengacara. Saya yang awam hukum (meski pernah berniat juga masuk di Fakultas Hukum) terpesona oleh alasan-alasan sosiologis hukum yang dikemukakan AA dalam membela si pesakitan. Apa yang beliau kemukakan – menurut saya setelah menyesuaikan kondisi sekarang – merupakan salah bentuk sumbangsih kajian Sosiologi Hukum yang jadi kepakaran AA dalam mendukung hak asasi manusia. Ada alasan-alasan sosiologis yang selama ini kurang, bahkan mungkin tidak dikemukakan, dalam wacana membela seorang tersangka. Sayang, ternyata sidang yang saya hadiri itu merupakan ujung jalan bagi almarhum menalak predikatnya sebagai penasihat hukum atau pengacara. Usai itu beliau melanjutkan pendidikan Pascasarjana di UGM dan kembali ke Unhas untuk menyelesaikan pendidikan doktornya pada tahun 1998.
Jejak kemahasiswaan AA tercatat dengan tinta emas dalam kehidupannya. Baru tiga tahun menjadi mahasiswa, 1977, bertepatan dengan jabatannya sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Hukum, AA langsung masuk penjara dalam rombongan massal aktivis mahasiswa Unhas yang dikerangkeng di balik sel mesin politik Orde Baru yang bernama Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) yang merupakan kepanjangan Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kompkamtib) dengan ‘tolok’-nya Laksamana Sudomo, almarhum. Gara-garanya, kritikan mahasiswa terhadap kasus Malari 1974 yang terus bersambung hingga beberapa tahun kemudian. Tahun 1979, AA meraih sarjana.
Setelah menjadi maha guru, AA selalu ngotot dan konsisten dengan penegakan keadilan dan supermasi hukum. Kalimat yang selalu dia pahatkan dalam berbagai kesempatan berkaitan dengan penegakan hukum ini adalah ‘’jangan menyapu dengan menggunakan sapu kotor’. Harus dengan sapu bersih. Maksudnya, jika menegakkan hukum harus menggunakan sosok yang bersih dari berbagai kasus hukum.
Saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI menggantikan Abdurrahman Wahid almarhum, nama AA pernah mencuat dan hampir-hampir dilantik sebagai Jaksa Agung. Menurut informasi yang disampaikannya kepada saya, pelantikan gagal, karena malam hari sebelum dilantik, AA bergeming dengan salah satu keinginan pihak penguasa dalam satu bargaining dalam satu sesi lobi di sebuah hotel di Jakarta. AA tidak mau kompromi. Almarhum kemudian dipercaya sebagai salah seorang staf ahli Jaksa Agung Prof.Dr.Baharuddin Lopa, S.H. Jabatan itu, juga dipangkunya hingga akhir hayatnya dari pejabat Jaksa Agung yang lain.
Selamat jalan sahabat, jasamu akan menjadi ‘nisan’ kedua bagi kami yang akan menyusulimu.
Jakarta, 17 Juni 2012
Oleh M.Dahlan Abubakar - Dosen Fak.Sastra Unhas
lihat jg: http://www.unhas.ac.id/content/memoriam-profdrachmad-ali-sh-mh-maha-guru-yang-reporter
Responses
1 Respones to "In Memoriam Prof.Dr.Achmad Ali, S.H., M.H. - Maha Guru yang Reporter"
Senang baca tulisan beliau di Harian Fajar .Al Fatihah untuk beliau...
14 Februari 2022 pukul 21.59
Posting Komentar