Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap
anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut
meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya
atas kejahatan ringan, sperti pencurian Pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan
demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya
dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang
tahun 2000 tercatat dalam statistik criminal kepolisian terdapat lebih
dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan
Januari hingga Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum
termasuk anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda,
mabes). Kemudian pada tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang
berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar
di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem
peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan
bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan.
Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses
penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut
diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk
menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa
diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu
pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang
dilakukan oleh anak.
Konsep Diversi
Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative
Justice, ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak dalam
perspektif HAM internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan Pidana
Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan
pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak.
Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali
bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah
anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan
lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak,
tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan
dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system
memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak
pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai
kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem
peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama
(resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun
upaya h lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan
dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative
Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang
diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau
tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian
kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum.
Adapun yang menjadi
tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya
demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan
terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada
perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and
fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun
1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk
anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati
perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya
hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik,
mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan
kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat
dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General
Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan
19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip
kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan
orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini,
pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi
penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak.
Pada prinsipnya
pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :
• Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
• Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5
(lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku
pelanggaran hukum usia anak, yaitu :
• Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
• Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
• Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan
pidana semata
• Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
• Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan
terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat
melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh
bertanggung jawab atas tindakannya.34 Dengan demikian, pendekatan yang
dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum
berdasarkan praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai,
prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni
mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan
pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39,
dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model
penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice
saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia
anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara
pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
keadilan. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due
process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak
untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis
pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan
hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.
Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun
yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok
Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan
restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan
masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan
dating. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan)
dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar
proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian
melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan
hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan
perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan
tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan
menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya
jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara,
menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal
sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai
mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang
terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala
sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah
adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku
beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui
muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses
peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat
memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak
huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan
telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan
sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan
konvensi tentang Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang
perlindungan anak.
Apabila anak terpaksa harus ditahan ,penahanan tersebut harus di
Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus
ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus
tetap bersekolah dan mendapatkan hakhak asasinya sesuai dengan The
Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena
pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa
depan bangsa dan Negara. Model restorative justice juga berlandaskan
dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang
sangast menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk
diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika
pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak
untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah
dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak
mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses
peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh
diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak
sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus
dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan
kepada penjahat dewasa.
Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis
bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/
pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan
model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak
sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan
The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan
anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk
menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak
yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya
sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan
polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus
seperti apa atau dalam kasus seperti apa jaksa dapat menggunakan
kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan
aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya
perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum
sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan
anak dapat dibatasi.
Peran pekerja sosial juga harus diberdayakan, termasuk pendampingan
bagi anak yang baru menyelesaikan pembinaan di dalam lembaga. Karena
dalam pasal 33-35 UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak
dijelaskan tentang ketentuan pekerja sosial dari Departemen Sosial yang
berugas membimbing, membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan
putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, dan
pidana denda, diserahkan kepada Negara dan harus mengikuti latihan kerja
atau anak yang memperoleh pembebasan bersyarat dari Lapas. Pekerja
sosial juga bertugas membantu dan mengawasi anak yang berkonflik dengan
hukum yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Departemen
Soosial untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja.
Kesimpulan
Kasus anak yang berkonflik dengan hukum yang dibawa dalam proses
peradilan adalah kasus kasus yang serius saja, itupun harus selalu
mengutamakan prinsip kepentingan terbaik bagi anak, serta proses
penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak hak
anak. Diluar itu kasus kasus anak dapat diselesaikan melalui mekanisme
non formal yang didasarkan pada pedoman yang baku. Bentuk penanganan non
formal dapat dilakukan dengan diversi atau restorative justice yang
dapat diselesaikan dengan mewajibkan anak yang berhadapan dengan hukum
untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan pada lembaga tertentu, ataupun
jika terpaksa terjadi penghukuman hak hak anak tidak boleh diabaikan.
Sehingga pada akhirnya penanganan nonformal dapat terlaksana dengan
baik jika diimbangi dengan upaya menciptakan sistem peradilan yang
kondusif.
Satu hal yang juga penting adalah belum terdeapat mekanisme evaluasi
terhadap sistem peradilan anak oleh lembaga independen di Indonesia.
Sehingga potensi hancurnya masa depan anak sangat besar akibat sistem
peradilan yang kurang tepat baLatar Belakang
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap
anak yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut
meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention
on the Rights of the Child )yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya
atas kejahatan ringan, sperti pencurian Pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan
demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anaknnya
dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang
tahun 2000 tercatat dalam statistik criminal kepolisian terdapat lebih
dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan
Januari hingga Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan
dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum
termasuk anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda,
mabes). Kemudian pada tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang
berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar
di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem
peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan
bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan.
Melihat prinsip prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip
mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak maka diperlukan proses
penyelesaian perkara anak diluar mekanisme pidana atau biasa disebut
diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk
menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam LP rawan terjadi
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Oleh karena itulah mengapa
diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu
pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang
dilakukan oleh anak.
Konsep Diversi
Sebelum membahas jauh tentang konsep diversi dan Restorative Justice,
ada baiknya dipahami sistem peradilan pidana anak dalam perspektif HAM
internasional sebagai komparasi. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile
Justice System) adalah segala unsure sistem peradilan pidana yang
terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi
sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan
dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga
pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan
dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak,
tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari
dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Sehubungan
dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system
memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak
pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai
kesejahteraan sosial. Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem
peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama
(resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Namun
upaya h lain diluar mekanisme pidana atau peradilan dapat dilakukan
dengan beberapa metode diantaranya metode Diversi dan Restorative
Justice. Diversi adalah pengalihan penanganan kasus kasus anak yang
diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal dengan atau
tanpa syarat. Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian
kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi
tujuan upaya diversi adalah :
• untuk menghindari anak dari penahanan;
• untuk menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
• untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang yang dilakukan oleh anak;
• agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
• untuk melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa harus melalui proses formal;
• menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
• menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Program diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice jika :
• mendorong anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban;
• memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
• memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
• memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana.
Pelaksanaan metode sebagaimana telah dipaparkan diatas ditegakkannya
demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan
terbaik bagi anak. Dengan kata lain, diversi tersebut berdasarkan pada
perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and
fullfilment child rights based approuch). Deklarasi Hak-Hak Anak tahun
1959 dapat dirujuk untuk memaknai prinsip kepentingan terbaik untuk
anak. Prinsip kedua menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati
perlindungan khusus dan diberikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya
hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik,
mental, moral, spiritual dan sosialnya dalam mewujudkan kebebasan dan
kehormatan anak. Dalan kerangka hak sipil dan politik, prinsip ini dapat
dijumpai dalam 2 (dua) Komentar Umum Komisi Hak Asasi Manusia (General
Comments Human Rights Committee) khsususnya Komentar Umum Nomor 17 dan
19) sebagai upaya Komisi melakukan interpretasi hukum atas prinsip
kepentingan terbaik anak dalam kasus terpisahnya anak dari lingkungan
orang tua (parental separation or divorce).Dalam kerangka ini,
pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi
penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak. Pada prinsipnya
pendekatan ini didasari 2 (dua) faktor sebagai berikut :
• Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta
pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa
• Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan
Terkait permasalahan tersebut , di negara-negara Eropa terdapat 5
(lima) macam pendekatan yang biasanya digunakan untuk menangani pelaku
pelanggaran hukum usia anak, yaitu :
• Pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak
• Pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum
• Pendekatan dengan menggunakan/berpatokan pada sistem peradilan
pidana semata
• Pendekatan edukatif dalam pemberian hukuman
• Pendekatan hukuman yang murni bersifat retributive
Berdasarkan pemikiran di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan
terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan
kepentingan terbaik anak. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat
melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh
bertanggung jawab atas tindakannya.34 Dengan demikian, pendekatan yang
dapat digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum
berdasarkan praktek-praktek negara Eropa yang sesuai dengan nilai-nilai,
prinsip-prinsip, dan norma KHA adalah pendekatan yang murni
mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan
pendekatan kesejahteraan dengan intervnesi hukum (Pasal 37, Pasal 39,
dan Pasal 40). Berangkat dari konsep ini, pendekatan dengan model
penghukuman yang bersifat restoratif atau disebut restorative justice
saat ini lebih layak diterapkan dalam menangani pelanggar hukum usia
anak. Prinsip ini merupakan hasil eksplorasi dan perbandingan antara
pendekatan kesejahteraan dan pendekatan
keadilan. Restorative justice berlandaskan pada prinsip-prinsip due
process yang sangat menghormati hak-hak hukum tersangka, seperti hak
untuk diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga vonis
pengadilan menetapkan demikian, hak untuk membela diri, dan mendapatkan
hukuman yang proposional dengan kejahatan yang dilakukannya.
Konsep Restorative Justice
Konsep Restorative Justice telah muncul lebih dari dua puluh tahun
yang lalu sebagai alternative penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok
Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan
restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan
masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan
dating. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan)
dan diversi, yaitu pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar
proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian
melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan
hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan
perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan
tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan. Dengan
menggunakan metode restorative, hasil yang diharapkan ialah berkurangnya
jumlah anak anak yang ditangkap, ditahan dan divonis penjara,
menghapuskan stigma dan mengembalikan anak menjadi manusia normal
sehingga diharapkan dapat berguna kelak di kemudian hari. Adapun sebagai
mediator dalam musyawarah dapat diambil dari tokoh masyarakat yang
terpercaya dan jika kejadiannya di sekolah, dapat dilakukan oleh kepala
sekolah atau guru. Syarat utama dari penyelesaian melalui musyawarah
adalah adanya pengakuan dari pelaku serta adanya persetujuan dari pelaku
beserta keluarganya dan korban untuk menyelesaikan perkara melalui
muyawarah pemulihan, proses peradilan baru berjalan. Dalam proses
peradilan harus berjalan proses yang diharapkan adalah proses yang dapat
memulihkan, artinya perkara betul betul ditangani oleh aparat penegak
huku yang mempunyaai niat, minat, dedikasi, memahami masalah anak dan
telah mengikuti pelatihan restorative justice serta penahanan dilakukan
sebagai pilihan terakhir dengan mengindahkan prinsip-prinsip dasar dan
konvensi tentang Hak-HAk Anak yang telah diadopsi kedalam undang-undang
perlindungan anak.
Apabila anak terpaksa harus ditahan ,penahanan tersebut harus di
Rutan khusus anak, dan apabila terpaksa harus dipenjara maka harus
ditempatkan di Lapas anak. Baik di Rutan maupun di Lapas, anak harus
tetap bersekolah dan mendapatkan hakhak asasinya sesuai dengan The
Beijing Rules agar mereka dapat menyongsong masa depan yang cerah karena
pengabaian terhadap hak-hak anak adalah juga pengabaian terhadap masa
depan bangsa dan Negara. Model restorative justice juga berlandaskan
dengan due process model bekerjanya sistem peradilan pidana, yang
sangast menghormati hak hak hukum setiap tersangka seperti, hak untuk
diduga dan diperlakukannnya sebagai orang yang tidak bersalah jika
pengadilan belum memvonisnya bersalah, hak untuk membela diri dan hak
untuk mendapatkan hukuman yang proposional dengan pelanggaran yang telah
dilakukan. Dalam kasus anak pelaku pelanggaran hukum, mereka berhak
mendapatkan pendampingan dari pengacaranya selama menjalani proses
peradilan. Disamping itu adanya kepentingan korban yang juga tidak boleh
diaabaikan, namun demikian tetap harus memperhatikan hak hak asasi anak
sebagai tersangka. Oleh karena itu, anak anak ini sebisa mungkin harus
dijauhkan dari tindakan penghukuman sebagaimana yang biasa dilakukan
kepada penjahat dewasa.
Tindakan-tindakan yang dapat diambil anak anak yang telah divonis
bersalah ini misalnya, pemberian hukuman bersyarat seperti kerja sosial/
pelayanan sosial serta pembebasan bersyarat. Dengan demikian dengan
model restorative justice, proposionalitas penghukuman terhadap anak
sangat diutamakan. Model ini sangat terlihat dalam ketentuan ketentuan
The Beijing Rules dan dalam peraturan peraturan PBB bagi perlindungan
anak yang sebelumnya harus telah dilakukan dengan serius untuk
menghindarkan anak anak dari proses hukum gagal dilakukan, anak anak
yang berhadapan dengan proses peradilan harus dilindungi hak haknya
sebagai tersangka, dan hak haknya sebagai anak. Misalnya kewenangan
polisi untuk memberikan diskresi dapat diberikan untuk kasus kasus
seperti apa atau dalam kasus seperti apa jaksa dapat menggunakan
kewenangannya untuk mengeluarkan anak. Oleh karena itu, diperlukan
aturan yang baku tentang syarat dan pelaksanaan bagi diberikannya
perlakuan non formal bagi kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum
sehingga praktik praktik negatif dalam sistem peradilan yang merugikan
anak dapat dibatasi.
http://anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justice/