Dalam mata kuliah dasar-dasar ilmu hukum atau yang lebih tepat disebut mata kuliah pengantar ilmu hukum (inleeding toot de retenschaaft). Subjek hukum merupakan ruang lingkup sebagai ilmu tentang pengertian-pengertian pokok, dan dasar-dasar hukum. Hampir semua literatur bahan kajian dasar ilmu hukum (jurisprudence) meletakkan bahwa subjek hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban
Namun dalam hemat penulis pendapat
tersebut belum terlalu jelas, karena ternyata subjek hukum itu, jika ditelaah
asal katanya dari bahasa Belanda maupun bahasa Inggris diartikan seebagai orang
yang berada di bawah kekuasaan orang lain (subordinasi),
makanya recht subject itu dalam arti terminology
yakni subjectus, jika diidentifikasi
maksudnya adalah hanya lebih mengutamakan kewajiban dari pada hak.
Oleh karena itu dalam bahasa Inggris
istilah untuk subjek hukum itu lebih senang para sarjana hukum memakai istilah person, persona (Latin), prosophon
(Yunani). Istilah prosophon diberikan
arti atau dengan kata lain asalnya, pertama kali berawal dari topeng yang
digunakan oleh pemain untuk menggambarkan dewa atau pahlawan dalam suatu drama.
Pada abad ke VI baru kemudian
muncul seorang yang bernama Boethius memberi arti dari person itu sebagai sosok makhluk yang rasional.
Sebenarnya bukan hanya orang
kemudian yang dapat dikatakan sebagai subjek hukum, bukan manusiapun jika
dimungkinkan oleh hukum dapat dijadikan sbagai subjek hukum, bahkan dahulu kala
banyak orang yang dijadikan budak malah dianggap bukan sebagai subjek hukum.’
Kondisi sekarang telah menempatkan
manusia mulai dari saat dilahirkan sampai meninggal dunia dapat dikatakan
sebagai subjek hukum. Bahkan ketika kita berpegang pada asas (maxim) dari “Nasciturus Pro Iam Nato Habiturus” yang kira-kira artinya adalah “Bahwa Anak Belum Dilahirkan Masih Dalam
Kandungan Dianggap Telah Dilahirkan Jika Kepentingan Menghendaki/ Memerlukan.
Berangkat dari pengertian sederhana
“subjek hukum” sebagai suatu bentukan hukum atau keberadaannya diciptkan oleh hukum
jika dimungkinkan. Maka selain manusia (natural
person/ naturalijke person) badan
hukumpun juga adalah subjek hukum ------legal
person/ recht person. Ciri dari pada badan hukum yakni didirikan oleh
orang, memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri dan
pengurusnya, mempunyai hak dan kewajiban yang terlepas dari hak dan kewajiban
pendiri dan pengurusnya.
Badan hukum kemudian masih dibagi
menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat. Badan hukum publik
didirkan untuk tujuan kepentingan politik atau bernegara (misalnya: daerah,
kota, Negara dan lain-lain), sedangkan badan hukum privat didirikan untuk
tujuan mencari profit dan tujuan sosial.
PT dan koperasi misalnya didirikan
untuk tujuan mencari profit,
sedangkan yayasan didirikan untuk tujuan sosial. Maka jika ada yayasan
didirikan untuk tujuan profit maka
hal itu bertentangan dengan ketentuan yayasan.
Pada dasarnya semua orang mempunyai
hak, itulah yang dimaksud subjek hukum (L.J. van Apeldoorn) tapi tidak semua orang dapat
melakukan perbuatan hukum. Jadi untuk melakukan perbuatan hukum, hukumlah yang
memberikannya. Atau dengan kata lain yang menentukan cakap tidaknya subjek hukum
itu adalah hukum, bukan keadaan nyata subjek hukum itu. Makanya orang yang
berada di bawah pengampuan itu dan mereka yang masih belum cukup umur[2] (mirderjarigen/ minors) tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.
Bahkan jika ditilik dalam KUHPdt (BW)
seorang perempuan yang sudah menikah (bersuami) tunduk pada kekuasaan suaminya
(vide: Pasal 110 dan Pasal 108 BW). Perkembangan
dalam reposisi gender kemudian menempatkan kedudukan istri sama dengan
kedudukan suaminya.
Sehingga keluarlah SEMA Nomor 3 Tahun
1963 yang mencabut pasal itu menyatakan isteri tidak lagi mesti harus tunduk di
bawah kekuasaan suaminya. Hemat penulis sebenarnya kalau hanya memakai SEMA
sebagai dasar hukum untuk mencabut peraturan perundang-undang tidak memiliki ratio legis yang jelas, karena SEMA bukanlah lex specialis dari
undang-undang.
[1] Tulisan ini
terinspirasi dari buku Prof. Peter Mahmud Marzuki “Pengantar ilmu Hukum”
[2] KUHpdt
menentukan batas dewasa seseorang yaitu sampai batas umur 21 tahun, namun dalm
UU Kenotariatan, umur dewasa kemudian berubah menjadi 18 tahun. Berbicara tentang
batas umur dewasa sebenarnya erat dengan peristiwa hukum yang lahir karena
keadaan fisik seperti peristiwa kelahiran dan kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar