Rabu, 24 Oktober 2012

Idul Adha dalam Kumuh Sosial Politik

Wahai anakku, aku bermimpi hingga berkali-kali, dan di dalam mimpi itu aku mendapat perintah dari Allah SWT agar aku menyembelihmu, cetus Nabi Ibrahim as (bapak monotheis) itu kepada anak yang amat disayangi dan dicintainya. Dalam nada yang sama Ibrahim as masih meminta pendapat anaknya, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!”.

Sang anak  (Nabi Ismail as) dengan lugas menjawab “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS, Al-Shaaffat (37) : 102).
Telaah historis di atas kalau dikaitkan dengan konteks kekinian tentu sangat jauh berbeda. Betapa tidak, meskipun sudah berada di era reformasi, anehnya, doktrin spiritual Idul Adha belum melekat secara substansi dalam diri setiap Muslim.
Kita masih dirundung banyak kekumuhan sosial politik. Mulai dari kalangan eksekutif beradu jotos berebut tahta, citra dan branding politik menumpuk tabungan ceruk pemilih menuju pemilu 2014 kelak. Tidak juga terlepas dari sikap culas para pemimpin negeri ini berebut jatah kekayaan melalui korupsi di segala aspek. Ada korupsi dalam kasus bank century yag tidak jelas juntrungnya, korupsi proyek wisma Atlet Hambalang, korupsi pengadaan Al-Qur’an, korupsi pengadaan barang dan jasa simulator SIM di Kapolri. Hingga akhirnya menyeret para penegak hukum berebut citra dari publik, bukan bekerja semata dalam kejujuran demi meraih puncak keikhlasan “Ibrahim as” di depan Allah SWT.
Tidak sampai di situ,  adu jotos di kalangan rakyat bawahanpun mencederai awal kita akan menyambut hari raya idul adha. Ada peristiwa tawuran terhadap tunas-tunas muda hingga menelan pil pahit korban jiwa. Kemudian merembes pada deretan konflik bernuansa kebinatangan di kalangan calon-calon intelektual kita. Ada peristiwa naas disinyalir aksi teror, menelan korban terhadap dua orang polisi di Poso. Inilah kematian banal yang jauh menyimpang dari nilai historis perintah Allah SWT terhadap Ibrahim as agar menyembeli anak yang dicintainya.
Tuhan telah menunjukan kemurahan-Nya membarter tubuh Ismail  dengan seekor domba sebagai barang sembelihan. Dengan maksud agar kita (manusia) tidak barbarian seperti kumpulan binatang yang memangsa satu sama lain (homo humuni lupus). Namun kita malah berlaku culas, kejam dan barbarian terhadap sesama.
Tindakan ironis demikian, Tuhan amat murka dengan aksi saling membunuh macam ini dengan motif egoisme belaka. Betapa tidak terbayang dalam pikiran kita, anak-anak dari peristiwa tawuran pelajar dan mahasiswa yang menjadi korban, menyayat hati pilu terhadap orang tua dari korban ganas para pelajar dan mahasiswa itu.
Di saat yang sama peristiwa teror terhadap dua orang polisi di Poso, menimbulkan luka pilu yang mendalam karena isteri dari korban harus menjanda dan anak-anaknya harus rela menjadi yatim karena peristiwa barbarian masih meyeruak di hati para kaum barbar ini.
Allah SWT saja tidak rela seorang manusia lugu seperti Nabi Ismail  as disembelih oleh ayahnya sendiri, lalu segelintir diantara hamba ini melampaui sifat adikodrati manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, malah rela saling membunuh hanya karena persoalan sepele untuk mempertahankan altar ego kebinatangannya.
Sesungguhnya kita telah teralienasi, terasing dalam momentum spiritual idul adha. The power of idul adha tidaklah berarti apa-apa, ketika setiap tahun dirayakan malah berlalu dengan sia-sia tanpa  dapat mengukuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama, memetik buah ikhlas dalam segala tindak laku beramal tanpa mengharapkan imbalan kursi kekuasaan.
Ketidakjelasan kasus Bank Century, Korupsi dalam proyek wisma atlet Hambalang kini memasuki episode terbaru sangat menggelikan bak sebuah dagelan politik, ditambah kisruh polri dan KPK yang kian memanas. Padahal di balik kasus tersebut berpotensi mencederai rasa keadilan publik.
Ironinya, tidak satu pun di antara mereka yang memberanikan diri untuk tegas, terbuka serta berterus-terang terhadap apa yang kini sedang terjadi. Semua cenderung ingin menjadikan orang lain sebagai tumbal guna menyelamatkan muka dan kekuasaan yang sedang di genggaman. Lantas, dimanakah makna ibadah dan kurban mereka selama ini ?
SPIRIT IDUL ADHA
Idul Adha sebagai hari yang sangat dinanti oleh segenap ummat Muslim di seantero jagat. Hari yang bertepatan dengan pelaksanaan wuquf, berkumpulnya jamaah haji di Padang Arafah untuk kemudian melakukan ritual melontar jumrah sebagai simbol kemenangan kebaikan atas keburukan. Adalah momentum mengembalik spirit idul adha pada makna yang sesungguhnya.
Momentum idul adha kali ini penting untuk dimaknai sebagai mampu mengembalikan diri kepada fitrahnya manusia semula. Lewat internalisasi ketika spirit Tuhan berwasiat, bukan daging dan darah hewan kurban yang lebih berarti, tetapi ketakwaan sebagai kepekaan kemanusiaan dalam tiap langkah dan ritual manusia.
Tuhan mengajarkan, hanya manusia yang bisa mengasihi sesama yang berhak atas kasih-Nya dan kebaikan manusia terletak pada kemanfaatan perbuatannya bagi semua orang.  Penanda iman dan kesalehan ialah kesediaan seseorang membuat orang lain sebahagia dan setenteram dirinya sendiri. Maka peristiwa tawuran, teror antar sesama agama dan pemeluk yang berbeda tidak terulang lagi pasca perayaan idul adha. Lebih-lebih jika kita memakani Nabi Ibrahim as sebagai kakek buyut monoteisme (Yahudi, Nasrani, Muslim) maka tidak ada lagi ruang untuk saling membunuh hanya atas nama agama.
Terakhir, untuk Seorang penguasa ketika memimpin rakyat, sejatinya harus rela mengorbankan segala kepentingan dan ambisi pribadi maupun kelompok demi kepentingan rakyat yang lebih besar. Bukankah rakyat merupakan modal awal yang menopangi penguasa menuju kursi kekuasaannya ? Ketika hak-hak rakyat seperti keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman terusik, sang pemimpinlah yang paling pertama berdiri di garda terdepan menghalau rintangan itu.
Sifat berkorban seperti inilah yang sangat diharapkan oleh publik kita. Berkorban dalam arti bersedia menggadaikan citra dan pamor demi rakyat yang dipimpin.
Sebuah harapan besar spirit Idul Adha mampu menyadarkan semua dari alienasi spiritual. Dengan kesadaran itu setiap pribadi tak rela membutakan mata dan menulikan telinga atas sebuah fenomena yang menggalaukan hati nurani.
Kita tentu tak rela memiliki badan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kepolisian yang tunamalu, yang mempertontonkan dagelan politik di panggung publik dibumbui dengan retorika manipulatif dan menyesatkan. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian, dan selamat hari raya Idul Adha 1433 H. Semoga amal ibadah qurban kita diterima di sisi-Nya. Amin.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar