Wahai anakku, aku bermimpi hingga berkali-kali, dan di dalam mimpi itu aku mendapat perintah dari Allah SWT agar aku menyembelihmu, cetus Nabi Ibrahim as (bapak monotheis) itu kepada anak yang amat disayangi dan dicintainya. Dalam
nada yang sama Ibrahim as masih meminta pendapat anaknya, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu!”.
Sang
anak (Nabi Ismail as) dengan lugas
menjawab “Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS, Al-Shaaffat (37) : 102).
Telaah historis di atas kalau
dikaitkan dengan konteks kekinian tentu sangat jauh berbeda. Betapa tidak,
meskipun sudah berada di era reformasi, anehnya, doktrin spiritual Idul Adha
belum melekat secara substansi dalam diri setiap Muslim.
Kita masih dirundung banyak
kekumuhan sosial politik. Mulai dari kalangan eksekutif beradu jotos berebut
tahta, citra dan branding politik menumpuk tabungan ceruk pemilih menuju pemilu
2014 kelak. Tidak juga terlepas dari sikap culas para pemimpin negeri ini
berebut jatah kekayaan melalui korupsi di segala aspek. Ada korupsi dalam kasus
bank century yag tidak jelas juntrungnya, korupsi proyek wisma Atlet Hambalang,
korupsi pengadaan Al-Qur’an, korupsi pengadaan barang dan jasa simulator SIM di
Kapolri. Hingga akhirnya menyeret para penegak hukum berebut citra dari publik,
bukan bekerja semata dalam kejujuran demi meraih puncak keikhlasan “Ibrahim as”
di depan Allah SWT.
Tidak sampai di situ, adu jotos di kalangan rakyat bawahanpun
mencederai awal kita akan menyambut hari raya idul adha. Ada peristiwa tawuran
terhadap tunas-tunas muda hingga menelan pil pahit korban jiwa. Kemudian
merembes pada deretan konflik bernuansa kebinatangan di kalangan calon-calon
intelektual kita. Ada peristiwa naas
disinyalir aksi teror, menelan korban terhadap dua orang polisi di Poso. Inilah
kematian banal yang jauh menyimpang dari nilai historis perintah Allah SWT
terhadap Ibrahim as agar menyembeli anak yang dicintainya.
Tuhan telah menunjukan kemurahan-Nya
membarter tubuh Ismail dengan seekor
domba sebagai barang sembelihan. Dengan maksud agar kita (manusia) tidak
barbarian seperti kumpulan binatang yang memangsa satu sama lain (homo humuni lupus). Namun kita malah
berlaku culas, kejam dan barbarian terhadap sesama.
Tindakan ironis demikian, Tuhan amat
murka dengan aksi saling membunuh macam ini dengan motif egoisme belaka. Betapa
tidak terbayang dalam pikiran kita, anak-anak dari peristiwa tawuran pelajar
dan mahasiswa yang menjadi korban, menyayat hati pilu terhadap orang tua dari
korban ganas para pelajar dan mahasiswa itu.
Di saat yang sama peristiwa teror
terhadap dua orang polisi di Poso, menimbulkan luka pilu yang mendalam karena
isteri dari korban harus menjanda dan anak-anaknya harus rela menjadi yatim
karena peristiwa barbarian masih meyeruak di hati para kaum barbar ini.
Allah SWT saja tidak rela seorang
manusia lugu seperti Nabi Ismail as disembelih
oleh ayahnya sendiri, lalu segelintir diantara hamba ini melampaui sifat
adikodrati manusia sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna, malah rela saling
membunuh hanya karena persoalan sepele untuk mempertahankan altar ego
kebinatangannya.
Sesungguhnya kita telah teralienasi,
terasing dalam momentum spiritual idul adha. The power of idul adha tidaklah berarti apa-apa,
ketika setiap tahun dirayakan malah berlalu dengan sia-sia tanpa dapat mengukuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama,
memetik buah ikhlas dalam segala tindak laku beramal tanpa mengharapkan imbalan
kursi kekuasaan.
Ketidakjelasan kasus Bank Century, Korupsi
dalam proyek wisma atlet Hambalang kini memasuki episode terbaru sangat
menggelikan bak sebuah dagelan politik, ditambah kisruh polri dan KPK yang kian
memanas. Padahal di balik kasus tersebut berpotensi mencederai rasa keadilan
publik.
Ironinya, tidak satu pun di antara
mereka yang memberanikan diri untuk tegas, terbuka serta berterus-terang
terhadap apa yang kini sedang terjadi. Semua cenderung ingin menjadikan orang
lain sebagai tumbal guna menyelamatkan muka dan kekuasaan yang sedang di
genggaman. Lantas, dimanakah makna ibadah dan kurban mereka selama ini ?
SPIRIT IDUL ADHA
Idul Adha sebagai hari yang sangat
dinanti oleh segenap ummat Muslim di seantero jagat. Hari yang bertepatan
dengan pelaksanaan wuquf, berkumpulnya jamaah haji di Padang Arafah untuk kemudian
melakukan ritual melontar jumrah sebagai simbol kemenangan kebaikan atas
keburukan. Adalah momentum mengembalik spirit idul adha pada makna yang
sesungguhnya.
Momentum idul adha kali ini penting
untuk dimaknai sebagai mampu mengembalikan diri kepada fitrahnya manusia semula.
Lewat internalisasi ketika spirit Tuhan berwasiat, bukan
daging dan darah hewan kurban yang lebih berarti, tetapi ketakwaan sebagai
kepekaan kemanusiaan dalam tiap langkah dan ritual manusia.
Tuhan
mengajarkan, hanya manusia yang bisa mengasihi sesama yang berhak atas
kasih-Nya dan kebaikan manusia terletak pada kemanfaatan perbuatannya bagi
semua orang. Penanda iman dan kesalehan
ialah kesediaan seseorang membuat orang lain sebahagia dan setenteram dirinya
sendiri. Maka peristiwa tawuran, teror antar sesama agama dan pemeluk yang
berbeda tidak terulang lagi pasca perayaan idul adha. Lebih-lebih jika kita memakani
Nabi Ibrahim as sebagai kakek buyut monoteisme (Yahudi, Nasrani, Muslim) maka
tidak ada lagi ruang untuk saling membunuh hanya atas nama agama.
Terakhir,
untuk Seorang penguasa ketika memimpin
rakyat, sejatinya harus rela mengorbankan segala kepentingan dan ambisi pribadi
maupun kelompok demi kepentingan rakyat yang lebih besar. Bukankah rakyat
merupakan modal awal yang menopangi penguasa menuju kursi kekuasaannya ? Ketika
hak-hak rakyat seperti keadilan, kesejahteraan, dan ketenteraman terusik, sang
pemimpinlah yang paling pertama berdiri di garda terdepan menghalau rintangan
itu.
Sifat berkorban seperti inilah yang
sangat diharapkan oleh publik kita. Berkorban dalam arti bersedia menggadaikan
citra dan pamor demi rakyat yang dipimpin.
Sebuah harapan besar spirit Idul
Adha mampu menyadarkan semua dari alienasi spiritual. Dengan kesadaran itu
setiap pribadi tak rela membutakan mata dan menulikan telinga atas sebuah
fenomena yang menggalaukan hati nurani.
Kita tentu tak rela memiliki badan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kepolisian yang tunamalu, yang
mempertontonkan dagelan politik di panggung publik dibumbui dengan retorika
manipulatif dan menyesatkan. Semoga bermanfaat bagi kita sekalian, dan selamat
hari raya Idul Adha 1433 H. Semoga amal ibadah qurban kita diterima di
sisi-Nya. Amin.***
Responses
0 Respones to "Idul Adha dalam Kumuh Sosial Politik "
Posting Komentar