Sebagian kalangan oleh sarjana hukum administrasi Negara berargumen bahwa freies ermessen itu harus dibingkai dalam hukum yang tertulis. Hemat penulis kita tidak perlu memaksakan sifat freies ermessen yang demikian oleh karena memang freies ermessen itu bersumber dari hukum yang tidak tertulis. Sifat hukumnya yang bebas, tidak terikat seperti hukum yang tertulis (peraturan perundang-undangan).
Sebenarnya
freies ermessen terinspirasi dari asas diskresi yang berarti kebebasan
seorang pejabat untuk bertindak berdasarkan pikirannya demi kepentingan umum. Selalu
kita mendapati di jalan umum misalnya ketika terjadi macet, maka meski lampu
merah menyala polisi lalu lintas membiarkan kendaraan lewat di jalur lampu
merah tersebut. Inilah sebenarnya contoh kecil dari penggunaan asas diskresi
oleh polisi lalu lintas.
Diskresi diperlukan
sebagai pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap
tindak atau perbuatan administrasi negara harus berdasarkan ketentuan
undang-undang, akan tetapi tidak mungkin bagi undang-undang untuk mengatur
segala macam hal dalam praktek kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu diperlukan
adanya kebebasan atau diskresi pada pejabat publik dalam melaksanakan tugas,
fungsi dan kewajiban yang dibebankan kepadanya
Freies
ermessen sendiri berasal dari bahasa Jerman.
Secara eteimologi berasal dari dua kata freies
dan ermessen. Pengertian Freies Ermessen berasal dari kata frei
dan freie yang berarti bebas,
merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Ermessen yang berarti mempertimbangkan, menilai, menduga,
penilaian, pertimbangan dan keputusan. Sedang secara etimologis, Freies Ermessen artinya orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai,
bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan (Pouvoir Discretionare: Perancis, Discretionary Power: Inggris)
Oleh
Marbun dan Ridwan HR mengemukakan bahwa freies
ermessen merupakan kebebasan yang
melekat bagi pemerintah atau administrasi Negara. Sebenarnya jika ditilik lebih
jauh pengguanan asas freies ermessen oleh pejabat publik bertentangan
dengan asas legalitas, namun hal itu tidak berarti tidak bisa kita mengatakan
bahwa pejabat kemudian dilarang bertindak padahal itu atas nama demi
kepentingan umum.
Meski
salah satu dari tujuan Negara adalah Negara
hukum, tetapi arah atau sasaran utamanya adalah Negara kesejahteraan (welfare state). Oleh karena itu pejabat eksekutif yang lebih banyak
bersentuhan dnegan pelaksanaan undang-undang tidak dapat dibatasi untuk tidak
bertindak, ketika terjadi kekosongan hukum (wetvacuum)
dan adanya peraturan pelaksanaan undang-undang yang perlu ditafsirkan (interpertate). Namun tetap kembali bahwa
meski itu adalah tindakan diskresi pejabat tetap harus dipertanggungjawabkan
secara hukum dan moral
SF
Marbun mengemukakan bahwa dengan diberikannya kebebasan bertindak (freies ermessen) kepada administrasi negara dalam melaksanakan tugasnya
mewujudkan welfare state atau social rechtstaat di
Belanda sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa akibat dari freies ermessen akan
menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh karena itu untuk meningkatkan
perlindungan hukum bagi warga masyarakat, tahun 1950 Panitia de Monchy di
Netherland membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik Atau Algemene Beginselen Van Behoorlijk
Bestuur. Pada mulanya timbul keberatan dari pejabat-pejabat dan
pegawai-pegawai pemerintah di Netherland karena ada kekhawatiran bahwa Hakim
atau Pengadilan Administrasi kelak akan mempergunakan istilah itu untuk
memberikan penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil
pemerintah, namun keberatan demikian sekarang ini telah lenyap ditelan masa
karena telah hilang relevansinya.
Kemudian,
kita juga tidak dapat menghilangkan penggunaan freies ermessen dalam hukum
administrasi Negara, karena hal itu juga sudah dinyatakan secara tegas dalam Undang-undang
Peradilan TUN (UU No. 5 Tahun 1986 jo UU
No. 9 Tahun 2004), bahwa individu atau badan hukum perdata jika dirugikan
dengan keluarnya KTUN, salah satu alasan dapat mengajukan gugatan ke PTUN
adalah karena keputusan itu bertentang dengan Asas-Asas Uum Pemerintahan Yang
Baik (AAUPB), jadi selain keputusan pejabat TUN dapat diuji karena bertentang
dnegan peraturan perudang-undangan yang berlaku juga dapat diuji melalui AAUPB.
Bahkan dalam perkembangan di bidang hukum
administrasi Negara freies ermessen dapat kemudian berwujud dalam hukum
yang tertulis, yang biasa disebut dengan peraturan kebijakan (beleidsregel).
Terkait
dengan AAUPB, sebagai anak kandung dari freies
ermessen, oleh Wiarda membagi AAUPB
itu dalam lima bagian:
1. Perlakukan
yang adil (fair play), menurut asas ini pemerintah diharapkan untuk terbuka dan
jujur. Pemerintah harus memberikan kesempatan kepada warga Negara untuk
mengemukakan pandangan dan pembelaan mereka.
2. Ketelitian,
asas ini menuntut ketelitan dan perhatian tentang pertimbangan yang layak
terhadap berabagai kepentingan.
3. Kemurnian
tujuan, tindakan pemerintah harus ditujukan kepada tujuan yang diberikan oleh
pembentuk undang-undang pada saat wewenang tersebut.
4. Keseimbangan
artinya semua kepentingan yang terlibat dalam suatu keputusan harus dipertimbangkan
dengan seimbang termasuk dalam pengertian ini adalah kesewenang-wenangan, yaitu
tidak dipertimbangkannya berbagai kepentingan atau kurang teliti terhadap
perkara yang sama. Penyelesaiannnya berbeda, berarti terjadi ketidakseimbangan
dalm mengambil keputusan.
5. Kepastian
hukum, asas ini mengharapkan administrasi Negara berpedoman pada peraturan yang
dibuatnya, toleransi terhadap penyimpangan dilakukan berdasarkan keadilan
khusus.
Dengan
demikian segala keputusan TUN tidak hanya lagi dapat diuji melalu peraturan
perundang-undangan yang berlaku, jikalau misalnya terjadi penyalahgunaan
kewenangan (abuse of the power/ detornment of the pouvoir),
terjadi pencaplokan kekuasaan (succession
of the power) atau terjadi kesewenang-wenangan oleh pejabat tersebut ketika
mengeluarkan keputusan (willekeur). Artinya
saat ini, semakin luas alat atau instrument yang dapat digunakan sebagai alasan
mengajukan gugatan ke peradilan administrasi (PTUN) dengan hadirnya AAUPB
sebagai penerapan lebih lanjut dari asas freies
ermessen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar