Dalam hukum laut internasional selain
menentukan jarak laut yang dapat diklaim oleh suatu Negara. Juga
diperlukan dari mana atau metode apa yang dapat digunakan untuk
melakukan penarikan garis pangkal. Untuk mengetahui awal munculnya
metode penarikan itu, maka perlu diuraikan sengketa perikanan antara
Norwegia dan Inggris yang dikenal dengan Anglo Norwegian
Fisheries Case.
Perkara antara Inggris dan Norwegia
mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat
sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia
dalam firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum
internasional. Yang digugat oleh Inggris bukan lebar jaur wilayah
Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi cara penarikan garis pangkal yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang menghubungkan
pada pantai Norwegia.
Dalam cara penarikan garis pangkal lurus
yang dilakukan Norwegia ini deretan pulau di muka pantai (skjaergaard)
dianggap sebagai bagaian dari pantai Norwegia.
Akibat ketidaksepakatan Negara Inggris
terhadap penarikan garis pangkal lurus tersebut sebagaimana Firman raja
Royal tahun 1935, maka dibawalah perkara ini ke Mahkamah Internasional
(ICJ). Mahkamah internasional dalam keputusannya menyatakan tidak
sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh
Norwegia hanya dapat dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara
penarikan garis pangkal lurus oleh Norwgia tidak lain daripada suatu
penetrapan dari pada (suatu kaidah) hukum internasional yang berlaku
umum pada suatu keadaan khusus.
Berdasarkan kasus tersebut di atas maka
dapat diurai tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan
atas azas pasang surut yakni: (1) cara “trace paralle” di mana
garis batas luar mengikuti segala liku dari pada garis pasang surut; (2)
cara “arcs of circles” dimana langsung ditetapkan batas luar
tanpa adanya garis pangkal terlebih dahulu. Dan (3) cara “straight
base line”, dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis
pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik garis-garis lurus
yang menghubungkan titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang
surut.
Bagaimana halnya dengan garis pangkal
yang berlaku di Indonesia ? Indonesia juga menggunakan penarika garis
pangkal lurus. Melalui deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957: “Bahwa
segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkn pulau-pulau
atau bagian-bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI dengan
tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari pada
wilayah daratan Negara RI dan demikian merupakan bagian dari pada
perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari Negara RI
Salah satu alasan/ pertimbangan yang
mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan dekalarsi tersebut bahwa
penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah
kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territorialle Zee on Maritime
Kringen Ordonantie 1939 Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan
kepentingan dan keselamatan dan keamanan Negara RI
Dalam perkembangannya kemudian deklarasi
tersebut dituangkan dalam bentuk PERPU, kemudian pada tahun1960
ditingkatkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 4/ Prp/1960. Secara tegas
dalam Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa Laut Wilayah
Indonsia adalah lajur laut selebar dua belas mil laut (12
mil), yang garis luarnya diukur dari tegak lurus atas garis dasar atau
titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang
menghubungkan titik terluar pada garis air rendah dari pulau-pulau
terluar dalam wilayah Indonesia. Sedangkan perairan pedalaman ditegaskan
dalam Pasal 1 ayat 1, bahwa perairan pedalaman sebagai perairan
territorial yang berada pada sisi darat territorial dan perairan yang
terletak di bagian dalam garis yang menghubungkan titik-titik terluar
pada pulau-pulau bagian pulau-pulau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar