Sabtu, 22 September 2012

Metode Penarikan Garis Pangkal (Pertemuan III; PIP Hukum Laut)

Dalam hukum laut internasional selain menentukan jarak laut yang dapat diklaim oleh suatu Negara. Juga diperlukan dari mana atau metode apa yang dapat digunakan untuk melakukan penarikan garis pangkal. Untuk mengetahui awal munculnya metode penarikan itu, maka perlu diuraikan sengketa perikanan antara Norwegia dan Inggris yang dikenal dengan Anglo Norwegian Fisheries Case.
Perkara antara Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sahnya penetapan batas perikanan eksklusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam firman Raja (Royal Decree) tahun 1935 menurut hukum internasional. Yang digugat oleh Inggris bukan lebar jaur wilayah Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi cara penarikan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang menghubungkan pada pantai Norwegia.
Dalam cara penarikan garis pangkal lurus yang dilakukan Norwegia ini deretan pulau di muka pantai (skjaergaard) dianggap sebagai bagaian dari pantai Norwegia.
Akibat ketidaksepakatan Negara Inggris terhadap penarikan garis pangkal lurus tersebut sebagaimana Firman raja Royal tahun 1935, maka dibawalah perkara ini ke Mahkamah Internasional (ICJ). Mahkamah internasional dalam keputusannya menyatakan tidak sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh Norwegia hanya dapat dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara penarikan garis pangkal lurus oleh Norwgia tidak lain daripada suatu penetrapan dari pada (suatu kaidah) hukum internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan khusus.
Berdasarkan kasus tersebut di atas maka dapat diurai tiga macam cara penarikan garis pangkal yang didasarkan atas azas pasang surut yakni: (1) cara “trace paralle” di mana garis batas luar mengikuti segala liku dari pada garis pasang surut; (2) cara “arcs of circles” dimana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal terlebih dahulu. Dan (3) cara “straight base line”, dimana garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya, melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik tertentu yang berada pada garis pasang surut.
Bagaimana halnya dengan garis pangkal yang berlaku di Indonesia ?  Indonesia juga menggunakan penarika garis pangkal lurus. Melalui deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957: “Bahwa segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkn pulau-pulau atau bagian-bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari pada wilayah daratan Negara RI dan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak dari Negara RI
Salah satu alasan/ pertimbangan yang mendorong pemerintah Indonesia mengeluarkan dekalarsi tersebut bahwa penetapan batas-batas laut territorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial sebagaimana termaktub dalam “Territorialle Zee on Maritime Kringen Ordonantie 1939 Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan dan keselamatan dan keamanan Negara RI
Dalam perkembangannya kemudian deklarasi tersebut dituangkan dalam bentuk PERPU, kemudian pada tahun1960 ditingkatkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 4/ Prp/1960. Secara tegas dalam Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa Laut Wilayah Indonsia adalah lajur laut selebar dua belas mil laut (12 mil), yang garis luarnya diukur dari tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri dari garis-garis lurus yang menghubungkan titik terluar pada garis air rendah dari pulau-pulau terluar dalam wilayah Indonesia. Sedangkan perairan pedalaman ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 1, bahwa perairan pedalaman sebagai perairan territorial yang berada pada sisi darat territorial dan perairan yang terletak di bagian dalam garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada  pulau-pulau bagian pulau-pulau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar