Minggu, 09 September 2012

Malam Laitul Qadar, Misi Kemanusiaan KPK


Ada apa lagi gebrakan KPK, seolah-olah menghantam jantung koruptur di bulan suci ini? Yakni koruptor yang bersemayam dalam lingkar kekuasaan. Mulai dari eksekutif, legislatif hingga judikatif. Terjadi korupsi dalam lingkup politik dan judicial yang disebut political corruption, judicial corruption; meminjam terminologi Giovanni Sartory.
Di lingkungan eksekutif misalnya menyeret nama “DK” serta sederet nama petinggi Negara (sudah dikantongi KPK) juga terancam dinazaruddinkan dalam kasus Wisma Atlet dan mega-proyek Hambalang. Di lingkungan legislatif ada nama “ZD” dalam korupsi pengadaan Al-Qur’an. Tak terkecuali di lingkungan kehakiman (baca: judikatif). Sudah menjadi rahasia umum, banyak sekali mafia kasus, makelar kasus yang memporak-porandakan kemandirian peradilan kita, ditunjukan banyak hakim yang dimejahijaukan karena kasus penyuapan perkara.
Beberapa hari yang lalu di tengah karut-marut hukum kita. Bulan ramadhan tidak berarti menghentikan misi kemanusiaan KPK. Meski para anggota dan ketua KPK sedang menjalankan ibadah puasa. Adalah  merupakan hikmah dan prestasi tersendiri jika KPK berhasil mengungkap setiap koruptor yang menggarong uang Negara, milik rakyat. Di bulan ramadhan, dengan menangkap setan-setan duniawi adalah sebuah  berkah dan rahmat “teologi sosial” dari malam laitul qadar. Malam yang dimaknai sebagai malam melebihi kebaikan yang dilakukan selama seribu bulan (khairun min alfi syahrin).
Di bulan suci ini, KPK berusaha mencari keberkahan turunnya laitul qadar untuk menyelematkan bangsa dari kejahatan yang membuat rakyat ini dari kemiskinan, penderitaan kasus polio, gizi buruk, kebodohan, dan kemelaratan yang berkepanjangan.
Sebagai anak kandung DPR, nyatanya tidak menyurutkan langkah KPK untuk menjerat koruptor dari berbagai oknum di tiap “anak tangga” lembaga negara. Ada nama-nama seperti Nazaruddin, Angelina Sondakh, ZD, DK yang sudah berada dalam tahanan dan pemeriksaan KPK.
Semoga misi kemanusiaan KPK ini tidak terhenti oleh politik saling tangkap dan sandera dari istana, dan pengusaha naga. KPK tidak ciut nyalinya di bulan ramadhan di saat setan koruptur keluar dari kerangkeng, untuk menilap miliaran rupiah, milik rakyat Indonesia.
Jika segala amal ibadah diganjar dengan pahala yang berlipat ganda, maka aksi dan misi kemanusiaan menangkap para setan koruptur juga dapat diinterpretasi, ia akan mendapat ganjaran pahala yang berlipat ganda. Bukankah dengan menangkap para penjahat tersebut, merupakan gerakan atau misi kemanusiaan (teoantroposentris) menolong jutaan masyarakat miskin di nusantara ini.
Di saat para koruptor tertawa, tersenyum simpul, merayakan buka puasa di hotel berbintang. Dengan gebrakan KPK, tiada waktu tidur nyenyak bagi mereka untuk menipu Tuhan, dengan pura-pura beriman, dengan pura-pura dermawan, berzakat, padahal uang yang mereka bagi-bagi berasal dari uang haram (baca: korupsi).
Termasuk KPK pun harus rela tidak tertidur lelap, meraih berkah ramadhan di malam laitul  qadar, untuk mengumpulkan barang dan alat bukti dari berbagai modus operandi kejahatan yang terjadi di lingkungan Kapolri. Yakni adanya indikasi korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan kemudi mobil pada 2011 senilai Rp189 miliar.
Di bulan ramadhan, malam seribu malam ketika malam laitul qadar sebagai malam yang lebih istimewa dibandingkan malam lainnya. Dapat dijadikan momentum bagi KPK yang bisa dikata seumur jagung, untuk menuntaskan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan Kapolri.
Kapolri janganlah bersikap angkuh, culas, seolah lembaganya paling bersih. Karena  puasa mengajarkan dan melatih agar kita jujur, disiplin dan berakhlak mulia.
Publik dan kita semua sadar bahwa Kepolisan sebagai lembaga turunan eksekutif ini. Meski lagi sibuk mengembalikan citranya dari kasus rekening gendut, mafia pajak dalam kasus Gayus. Janganlah bersikap curang, ingin menyelematkan para kerabatnya padahal terindikasi kasus korupsi. Karena kejujuran mengungkap kejahatan, adalah bahagian dari sah-tidaknya menjalankan puasa selama satu bulan. Meskipun sah-tidaknya ibadah itu adalah wilayah privasi Tuhan.
Momentum yang penulis maksud adalah KPK dapat melakukan “ijthad politik” tanpa terpasung dengan teks dan pesan simbolik laitul qadar, bahwa kita harus melantunkan doa, istighfar di mesjid, membaca nash-nash Al-Qur’an. Oleh karena pada 10 hari terakhir ini lailatul qadar akan turun ke dunia membawa pelbagai macam keutamaan bagi alam semesta. Lailatul qadar penuh dengan keutamaan.
Pada malam ini Alquran diturunkan pertama kali, pada malam ini para malaikat memadati dunia, dan malam ini lebih baik daripada seribu bulan (sebagaimana ditegaskan dalam Alquran Surat Al-Qadar: 1–5). Menurut sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Siti Aisyahra, lailatul qadar akan turun pada 10 hari terakhir dari bulan puasa, terutama di malam-malam ganjil seperti malam tanggal 21, 23, 25, 27, dan 29.
Sah-sah saja beropini demikian. Namun lebih baik rasanya, demi kepentingan ummat, KPK menyelamatkan  asset Negara. Karena dengan menyelamatkan asset Negara dapat dimaknai sebagai aksi sosial menjalankan “teologi ramadhan” . Sebagai sebuah kesadaran trans-human.
Laitul qadar di tengah persoalan bangsa ini dalam pusaran kubangan lumpur korupsi. Penting untuk dimaknai sebagai malam penuh kearifan. Dimana Tuhan dan para malaikat-Nya menebarkan rahmat dan cinta kasih-Nya yang tak terbatas kepada mereka yang meyakini ajaran Islam.
Agar rahmat, kedamaian dan cinta kasih ini menebar keseluruh nusantara maka salah satu misi kemanusiaan. Dituntut peran  KPK mendamaikan negeri ini dari setan koruptor yang berkeliaran, menyelematkan jutaan kepentingan rakyat yang didera penderitaan, yang tidak pernah menikmati kesejahteraan layak. Inilah yang dimaksud aksi atau misi kemanusiaan KPK mengangkat orang-orang yang dilanda kemiskinan. Karena harus mencari makanan dari mengais sampah, atau memakan nasi aking bersama keluarga dan anak cucu mereka.
Di sisa hari bulan suci ini. Lebih baik memahami malam laitul qadar untuk mereguk kearifan menyelamatkan bangsa dari segala tetek bengek yang merugikan keuangan Negara. Dan tak lupa jua si kaya sebaiknya menyisihkan sebagian tunjangan jabatan dan hasil jerih payahnya untuk pendidikan, kesehatan, dan penyediaan lapangan kerja buat pengangguran.
Hal ini lebih jelas dan tampak mudaratnya. Ketika malam laitul qadar dimaknai untuk memecahkan persoalan bangsa dari pada sibuk mencari bentuk, rupa, dan wujud laitul qadarkarena hanya didorong oleh kepentingan ego spiritual, ingin kaya, atau mendapatkan pangkat dan jabatan, lebih-lebih hanya niat menumpuk pahala, agar nanti terjamin masuk surga.
Pertanyaannya sekarang, maukah kita mencari makna laitul qadar hanya untuk kepentingan diri sendiri semata ? Padahal bumi Tuhan ini diperuntukkan untuk semua ummat dengan kamar-kamar surganya masing-masing. Semuanya, ada di tangan KPK untuk menjalankan misi kemanusiaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar