Sengaja kali ini penulis hadir tidak menggunakan bahasa yang terkesan
“ilmiah”___ scientific
_____dan sulit dimengerti oleh pembaca, oleh karena tulisan
ini hanyalah kegelisahan saya sendiri. Entah penulis bercerita sekedar
pengalaman atau perjalanan hidup. Yang jelas inilah kegelisahan sehingga
jika tidak dituliskan akan menjadi “derita” personal penulis.
Kalau setidaknya penulis mampu berbagi keterpenjaraan dari rasa khawatir
ini. Semoga pembaca dapat memberikan solusi alternatif. Agar kalau saya
saja yang merasakan, ada mungkin rasa bahagia jika berkeluh kesah
kepada pembaca. Meski saya masih menaruh curiga kepada pembaca, masih
kurang minat bacanya.
Namun satu orangpun yang membacanya kemudian terpacu untuk menulis
disalah satu harian. Atau ada penulis baru nongol di kolom persepsi
Gorontalo Post, esok hari itulah kebahagiaan tersendiri bagi saya. Saya
akan membayangkan sebelum tertidur__lelap, bahwa ada lagi teman sehaluan
yang akan membesarkan provinsi Gorontalo dari budaya literasi yang
kadang, masih sangat sepi.
Amat jauh berbeda dengan pengalaman penulis sejak masih menjajaki masa
kampus, kuliah di Makassar, Fakultas Hukum Unhas. Berkali-kali mengirim
tulisan ke salah satu harian koran di Makassar. Sampai saya pernah
berujar, andai koran tersebut tidak membayar honor tulisanpun,
setidaknya tulisan saya berkenan dimuat. Akan menulis lebih rutin lagi.
Karena tidak bisa dipungkiri kalau sudah dimuat satu kali, maka akan
memacu saya untuk menulis berkali-kali lagi.
Karena sulinya bersaing, hingga mengirim tulisan berkali-kali saja,
disamping harus bersaing dengan penulis-penulis ternama di kota
metropolitan itu. Sampai tidak bisa terhitung, ada puluhan kali saya
mengirim tulisan, namun opini tidak pernah termuat. Tapi tidak pernah
surut perjuangan saya, untuk terus mengirim, hingga akhirnya gelar
sarjana mendekati, ternyata opini saya baru nongol di salah satu harian
lokal Makassar.
Bagaimana dengan Provinsi Gorontalo ? Provinsi yang masih dalam hitungan
Tahun, kemudian terpisah dari Sulawesi Utara. Jelas berbeda, karena di
Provinsi Gorontalo dengan beberapa hariannya, sangat kurang kita bisa
melihat penulis dari kalangan Mahasiswa. Jangankan Mahasiswa, Dosen saja
dari beberapa Perguruan Tinggi, sepertinya masih “pelit” meluangkan
waktunya, menulis sebagai bagian dari pengabdiannya, untuk mencerdaskan
bangsa.
Ataukah ini bagian dari kehidupan kita yang semata dikejar “profit”.
Karena gara-gara harian ini belum menyediakan “honor tulisan” sehingga
sulit sekali kita membaca karya dengan penulis yang berbeda untuk tiap
pekannya. Kita hanya bisa menyaksikan salah satu seorang penulis. Tidak
berlebihan rasanya kalau saya mengatakan beliau sebagai penulis
“produktif”.
Penulis tidak ada maksud tendensius mengangkat citra beliau, karena
penulis sama sekali tidak kenal secara pribadi. Tapi karena seringnya
nongol karya Basri Amin ini tiap hari senin, dan saya sebagai pembaca
tetap Gorontalo post. Maka saya mengenal nama beliau.
Basri Amin dengan bahasanya yang sederhana, lugas, mudah dicerna olah
banyak kalangan, maka penulis merasa iri. Dan sering membayangkan “andaikan
banyak Basri-basri Amin muda” maka Gorontalo praktis tidak butuh
waktu untuk menjadi kota besar (big city). Agar menjadi kota
dengan tingkat budaya literasi yang tinggi, jika dibandingkan misalnya
dengan minat baca dan budaya menulis dari luar pulau Jawa.
Tanpa penulis mengingkari atau menafikan beberapa Perguruan Tinggi juga,
karena penulis sendiri adalah bagian dari lingkungan kampus, lingkungan
akademik. Tapi saya tidak mau terjebak dengan “kapitalisasi”
pendidikan. Tidak mau terjebak dengan “budaya” kampus pembentukan image,
seperti pabrik “produk sarjana”. Maka memang penelitian untuk setiap
Dosen sangat dibutuhkan demi mengejar syarat pangkat akademik.
Tapi hal itu lagi-lagi jika di telaah, dengan menghabiskan anggaran,
apalagi kalau itu anggaran negara. Bukankah hal demikian kita hanya
memikirkan nasib kita saja. Padahal tujuan tenaga pendidik adalah
bukanlah “egoisme intelektual”.
Suatu hal yang ironis, jikalau kita terpandang di masyarakat lalu tidak
pernah memberikan pencerahan kepada masyarakat, terutama kaum awam. Yang
sama sekali masih anti pendidikan, anti membaca, anti menulis.
Dengan berpatokan saja pada rutinitas penelitian, jurnal, kemudian
tersimpan di perpustakaan kampus. Berharap bisa dibaca oleh banyak
kalangan. Tentunya nalar sehat kita, akan bertanya, bagaimana mungkin
pembaca yang tidak sempat masuk di Perguran Tinggi (swasta/ negeri)
karena biaya kuliah yang sangat mahal, padahal mereka punya kemauan
untuk menjadi cerdas jua dapat membacanya ? lalu dimana letak kebanggan
si penulis jurnal itu, si peneliti itu kalau karyanya tidak disentuh
oleh semua kalangan ?
Tentunya harapan itu akan sampai ditangan pembaca, jika seorang Dosen
meluangkan waktunya untuk menulis dibeberpa harian lokal. Meski kita
tidak dapat “amplop” tapi semua kalangan, dapat menikmati hasil tulisan
kita.
Intinya menulislah karena gelisah dengan kondisi bangsa, kondisi negeri
anda, kondisi lingkungan dimana anda dibesarkan, kondisi dimana ada
sedang menemukan ketimpangan sosial. Kita tidak pernah sadar mungkin,
menghabiskan waktu nongkrong dengan rekan sejawat, meneguk kopi sambil
menyulut rokok, lalu tidak ada makna apa-apa setelah kita melakukan
aktivitas tersebut.
Andaikan saja waktu itu digunakan untuk membaca, menulis, mendiskusikan
kondisi bangsa yang belum jelas arah untuk menyejahterakan rakyatnya.
Lalu dituangkan dalam bentuk ide dan berakhir melalui pemaknaan empirik.
Kita tidak perlu turun ke jalan menghabiskan energi melempar wacana,
diskursus dan kritik, agar rakyat mendapat hak-haknya, untuk mendapatkan
kesejahteraan.
Apalah artinya kita menjadi seorang intelektual, seorang sarjana,
magister, doktor, profesor, yang membuat nama kita menjadi panjang
kalau hanya mengejar “egoisme intelektual”_____lalu tidak
pernah memikirkan kondisi bangsa walau sedetik saja ?
Nama kita tidak akan pernah abadi dan dikenang sepanjang masa, karena
kita dianggap tidak pernah melakukan apapun. Hidup dalam dunia
intelektual tapi tidak jauh berbeda dengan katak dalam tempurung saja.
Kita mungkin hanya dikatakan “jago kandang”, tapi ide-ide kreatif kita
tidak pernah terdengar, terbaca, kemudian diulang-ulang lagi oleh orang
lain.
Akhirnya hanya dengan menulis, membudayakan minat baca kita tidak merugi
hidup dalam usia senja, kalaupun sedari awal, Tuhan membuat umur kita
panjang. Dan tidak hanya nama kita dituliskan oleh orang lain pada saat
kita di makamkan. “Di sebuah pemakaman di atas nisan telah meninggal
si anu pada hari, tanggal, bulan dan tahun sekian.”
Kalau anda seorang seorang penulis percaya saja, maka berkali-kali nama
anda dituliskan oleh orang lain. Oleh editor harian koran dimana anda
mengirim tulisan. Selanjutnya bagaimana ? Apakah hari ini anda akan
memulai untuk menulis juga ?
Responses
0 Respones to " Egoisme Intelektual"
Posting Komentar