Jumat, 27 Juli 2012

Membumikan Tuhan Dalam Teologi Ramadhan


 
Ada yang menarik ketika penentuan satu ramadhan menjadi arena debat antara pemerintah di bawah naungan kementerian beragama dan  beberapa kader Muhammadiyah. Ada yang melaksanakan puasa pada tanggal 20 (hari Jumat 2012). Ada lagi yang melaksanakannya satu hari kemudian (Sabtu, 21 Juli 2012), bagi yang berjamaah, mengikuti fatwa pemerintah.
Itulah pemerintah yang berkehendak menasionalkan puasa ramadhan sebagai wilayah “prifasi” teologis hambah dengan Tuhannya. Padahal puasa adalah ibadah nan suci yang tidak bisa diganggu gugat oleh tafsir tunggal seorang penguasa.
Tak kala menariknya lagi, di Gorontalo, negeri serambi Madina itu yang dihuni oleh mayoritas Muslim (selebihnya Nasrani, Hindu, Budha dan Konghucu). Menjemput ramadhan dengan berbagai ritual dan perayaan simbolik. Seperti melantunkan dzikir sepanjang malam, memotong ayam untuk syukuran bersama. Dalam menanti tamu agung kebahagiaan, bulan ramadhan.
Di Provinsi Gorontalo tidak ada LSM sekelas FPI (Front Pembela Islam), ataukah setidaknya organisasi yang dapat dikatakan “Polisi surgawi” yang  melakukan aksi, demo, apalagi  memaksa untuk menutup tempat hiburan, warung makan, tempat-tempat penjualan minuman keras. Masyarakat rupanya  sadar dengan sendirinya. Mengakhiri perbuatan “dosa”- nya. Saat bulan ramadhan akan tiba.
Kafe-kafe yang mempertontonkan “syahwat” dunia, Setan yang berkuasa dikala bulan ramadhan belum tiba. Sepertinya bertekuk lutut di hadapan malaikat “suci”. Inilah arti simbolik ketika setan dikerangkek, pada saat bulan ramadhan hadir menjemput manusia untuk menabung berlipat ganda amal. Dan kini tergantikan oleh peran Malaikat mengajak kita melaksanakan segala ibadah dan amal suci. Sebagai adikodratinya  manusia yang harus selalu pasrah kepada Tuhan.
Apa yang menyebabkan sebagian warga di negeri Serambi Madinah ini, ketika ramadhan tiba, semua pada langsung bermetamorfosa bagai Malaikat tidak mau berbuat dosa ? Jika dulunya rajin mengunjungi kafe-kafe, maka kini waktunya diganti dengan shalat tarwih di Mesjid. Jika dulunya pelampiasan lelah dan penat dari tempat kerja diobati dengan meneguk minuman keras, kini bulan ramadhan menggantinya dengan momen berbuka puasa. Tak ada waktu berleha-leha dalam kesenangan. Mesjid bersenandung merdu melantunkan ayat-ayat Tuhan. Memanggil semua jamaah, mereaktualisasi diri. Saatnya berkunjung di rumah Allah. Dalam rangka  melengkapi ibadah puasa. Ibadah  yang telah dilaksanakan sehari, setelah menahan lapar dan dahaga ditengah negeri panas. Sebuah negeri yang berada dalam lintas khatulistiwa.
Seandainya saja bulan ramadhan, tidak hanya hadir dalam satu bulan. Mungkin dengan cepat kebiasaan setan, kebiasaan sekuler demikian akan cepat hilang. Berlalu tanpa perlu Muallim, seorang Ustadz turun bukit, keluar dari mesjid berkhutbah, supaya kita semua mendekatkan diri kepada Tuhan. Tuhan yang maha perkasa. Agar kita sadar akan kematian, sadar akan ganjarannya  di akhirat kelak.
Tuhan memang tidaklah dapat dinalar, disentuh, dihadirkan wujudnya di bumi ini. Karena itulah kelebihan Tuhan. Semakin kita dekat dengannnya. Semakin ia tidak terlihat. Itulah Tuhan yang berbeda dengan materi. Tuhan yang tidak menempati ruang dan waktu.
Hanya dengan melaksanakan perintah, menjauhi larangannya, dan takut pada ancamannya. Manusia dapat melebur diri dalam eksistensi Tuhan yang maha Agung. Dengan melaksanakan ibadah puasa kita akan menjadi bertakwa sebagaimana Tuhan berfirman dalam surah Al-Baqarah (Ayat: 183). 
Dengan bertakwa, manusia sebagai partikel sempurna ciptaan Tuhan. Tuhan benar-benar hadir membumi di bulan suci ramadahan ini. Hanya dengan takwa, kita dapat meninggalkan segala perbuatan keji dan mungkar. Hanya dengan melebur dalam sifat-sifat ke-Tuhanan sebagaimana Sir Muhammad Iqbal, filsuf asal Pakistan itu pernah berkata dalam pusi Ashari al-kuhldi’,   bahwa denga takwa kita akan benar-benar mampu bertindak baik dan normal. Sebagai manusia yang tidak jauh lebih rendah derajatnya dari pada binatang jika berbuat dosa.
Ironisnya, kebiasaan setan tetap akan terulang kembali. Di saat bulan ramadhan telah pergi berlalu. Dan banyak diantara kita terpesona dengan Idul Fitri. Yang membuat kita, konon katanya “kembali fitrah”.  Malah aksi-aksi setan kembali termanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kita setelah merayakan hari Idul Fitri. Ruang-ruang penghibur setan kembali dibuka lebar. Kafe-kafe pengibur “syahwat” dunia terdengar kembali.
Apakah setan yang membumi setelah ramadhan itu kian berlalu hadir kembali ? apalah artinya kita melaksanakan puasa, ketika dosa-dosa telah terampuni. Kemudian setelah ramadhan pergi. Kita kembali berada dalam gelimang dosa. Inikah yang dimaksud manusia terlalu gampang “mengkompromikan” perilakunya dengan kelebihan Tuhan yang Maha Pengampun. Sungguh naïf kita menjadi manusia. Tidak hanya jadi penipu sesama manusia. Tetapi kitapun secara tidak sadar telah menipu Tuhan dengan mentah-mentah dari teksnya yang suci.
Saatnya, perlu ada radikalisasi diri dalam teologi puasa. Satu bulan puasa penuh ini bukan bulan sebagai waktu untuk menyenangkan Tuhan. Tuhan tidak butuh sama sekali ibadah yang kita lakukan. Kita diperintah untuk melaksankan salah satu rukun Islam ini adalah dimaksudkan untuk kepentingan Manusia itu sendiri. Puasa adalah ajang latihan menuju ketakwaan. Menuju  kesempurnaan kita sebagai manusia. Menuju pribadi manusia yang arif. Sebagaimana Murtadha Muthari mengajak kita untuk  “mencapai kearifan puncak-Nya” Tuhan.
Disamping untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan berpuasa kita senantiasan akan membebaskan hasrat duniawi kita sebagai manusia yang kadang tergantung pada kebutuhan fisik semata. Karena sesungguhnya dalam diri kita ada hasrat Jiwa dan ada hasrat fisik kita. Di mana hasrat jiwa yang sudah baik masih terpenjara oleh hasrat fisik yang lebih banyak menaruh kesenangaan pada sifat-sifat sekuler.
Jadi dengan berpuasa adalah momen membebaskan hasrat baik jiwa kita dari keterpenjaraan dan kungkungan  niat kesenangan duniawi. Inilah maksud kita diharapkan tidak makan dan minum di siang hari, tidak boleh berhubungan suami isteri di siang hari. Karena larangan itu tidak lain dimaksudkan untuk melatih kita sebagai manusia bergantung ‘total’ pada kepentingan-kepentingan fisik saja. Agar terbebaskan semuanya,  segala hasrat setan kita. ketika bulan puasa pergi, kita tidak dipertuhankan lagi oleh hasrat fisik itu.
TEOLOGI SOSIAL
Hakikat teologi ramadhan, dengan berpuasa tidak hanya melatih “hasrat baik” dari kepentingan jiwa saja. Bahkan tak lebih, puasa adalah aksi kesadaran sosial. Sebuah aksi kesadaran humanis. Kesadaran dalam konteks teologi sosial.
Dengan berpuasa kita dapat merasakan “menderitanya’menahan lapar yang lebih banyak diperankan oleh orang miskin. Dengan berpuasa seorang penguasa akan sama kegiatannya dengan seorang rakyat jelata. Seoarang yang kaya akan sama rasanaya menahan lapar dan dahaga dengan orang miskin.
Olehnya itu, kita diperintahkan untuk memberi buka puasa pada orang-orang yang berpuasa, kemudian kita diganjar dengan amal yang sama dengan orang yang berpuasa, tanpa mengurangi sedikitpun amal-ibadahnya orang yang berpuasa. Dan sat ini pulalah waktu bagi penguasa, orang kaya, tidak lagi menghamburkan uang melaksanakan buka puasa di hotel berbintang. Ada baiknya dengan menghemat dana buka puasa. Diganti saja dengan memberi buka puasa pada anak jalanan, ataukah pada rakyat miskin.
Bukankah dengan hadir di tengah-tengah anak jalanan, di tengah orang miskin, yang tidak pernah mencicipi hidangan kue lezat. Kemudian hadir berbuka puasa dengan mereka semua. Seolah Tuhan hadir membumi ditengah-tengah kita.  Tuhan menjadi ‘imanen” di hati kita semua. Sebagai manusia yang trans-humant. Sekalipun Tuhan tidak hadir dalam rupa yang maujud-Nya.
Sekiranya kalau masih ada saja seoarang yang berat meninggalkan kebiasaan lama., Terbiasa tidak meninggalkan kebiasaan “setan”, meneguk minuman keras siang hingga malam suntuk, melakonkan tindak-tanduk setan.setelah melaksanakan ibada puasa. Satu bulan penuh. Maka yang demikian ini dimaksud orang-orang yang gagal dan merugi, menjalankan ibadah puasa. Hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.
Dengan bulan puasa dalam waktu satu bulan ini. Janganlah kita menjadi penipu-penipu Tuhan. Ataukah dengan berpikir kekanak-kanakan saja bahwa setan dikerangkeng pada bulan ramadhan. Setelah bulan suci itu berlalu. Kita dapat melakukan perbuatan “dosa” lagi.
Bulan ramadhan bukan ajang untuk berebut pahala, menumpuk pahala dan mengubur dosa-dosa kita di masa lalu. Mari kita menjadi manusia yang melebur dalam “ altar” kesucian Tuhan untuk merajut bahagia “surgawi” tidak hanya di akhirat. Tetapi kita dapat merasakan jua kebahagiaan manusia yang sempurna di muka bumi ini.
Saatnya  meninggalkan segala perbuatan keji. Bertaubatan Nasu’ha di bulan suci ini. Meski kelak bulan ramadhan akan  berlalu meninggalkan kita semua. Karena hanya dengan pertolongan Tuhan. Jika umur kita masih panjang. Kita masih dapat menjemput bulan ramadhan yang suci tersebut. Di tahun depan. Wallahu wa’laam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar