Minggu, 01 Juli 2012

Belajar Toleransi dan “Perilaku hukum” Dari Desa Banuroja


Penulis tak pernah memikirkan sebelumnya akan menemukan sebuah Desa yang rukun, damai, penduduknya tidak ada yang bertikai, terjadi konflik etnis atas nama agama, konflik horizontal, saling memperebutkan tafsir “Tuhan tunggal” buat mereka.

Di tengah penulis banyak membaca, melihat dan mengamati tulisan dalam berbagai artikel, koran, media cetak hingga tontonan kekerasan atas nama agama yang ditampilkan melalui media televisi. Seperti penyerangan gereja, pembakaran mesjid, aksi bom bom bunuh diri dengan latar “jihad” yang ditafsir untuk mendapatkan peluang surgawi. Rupanya masih ada negeri bisa menjadi guru untuk mengajarkan sikap saling menghargai sesama, dan budaya toleransi yang tinggi. Negeri itu adalah sebuah desa kecil yang terletak di kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Kecamatan Randangan. Desa Banuroja.

Walaupun kampung ini dihuni oleh empat kelompok etnis dari transmigran yang datang dari negeri yang berbeda. Ada yang berasal dari etnis Bali, etnis Nusa Tenggara, etnis Gorontalo dan etnis Jawa. Hingga sekarang belum pernah terdengar konflik dari ke empat etnis tersebut . Padahal jika ditelisik lebih jauh ternyata di sana ada empat agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) dan tempat peribadatan masing-masing saling berdekatan. Namun tidak ada aksi saling menyerang, adu jotos hingga mengakibatkan kematian diantara pihak karena agama mereka yang berbeda.

Uniknya lagi pada saat memasuki desa Banuroja tidak ada yang lebih mencorong daripada bangunan sebuah pura besar di  Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Pura besar yang dikelilingi pura-pura keluarga yang ukurannya lebih kecil. Tapi suasana Hindu itu berakhir di depan bangunan sekolah dengan tulisan yang mencolok pada salah satu temboknya. Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah.
Posisi Kabupaten Pohuwato yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah juga menarik diperhatikan. Ketika konflik bernuansa agama di Sulawesi Tengah merembet ke sejumlah wilayah di Sulawesi, ia tak mampu menembus Pohuwato. Hal ini terjadi karena tokoh-tokoh agama Pohuwato punya kesadaran yang cukup tinggi. Mereka paham bahwa konflik yang terjadi di Palu dan pada awal 2000-an adalah konflik kepentingan elite yang mengorbankan rakyat jelata dengan menggunakan simbol-simbol agama.
Banuroja sendiri berdasarkan hasil pembicaraan penulis dengan Kepala Desa Banuroja Abdul Wahid. Ketika diundang untuk menjadi pemateri oleh Mahasiswa KKLP Unisan Pohuwato angkatan ke II. Dalam penyuluhan hukum “Membangun Kesadaran Hukum Bermasyarakat”. Beliau mengatakan bahwa awal mula terbentuknya kata Banuroja adalah berdasarkan hasil konsensus dari semua warga yang dikumpul hingga akhirnya mereka semua sepakat memakai nama desa BANUROJA (merupakan kepanjangan dari Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa).
Tiba saatnya saya kena giliran sebagai pembicara. Saya tidak bisa mencari kata dan kalimat atas kekaguman saya dengan bapak Kepala Desa itu. Seorang Kepala Desa yang mengaku hanya tamatan SMA. Ternyata memiliki “style” dan paradigma setingkat Abdurrahman Wahid yang sangat menghargai perbedaan. Kepala desa yang mengakui pluralisme.
Akhirnya dengan latar belakang saya sebagai dosen ilmu hukum. Maka cukup saya mengatakan di hadapan para warga masyarkat yang hadir dalam acara penyuluhan hukum itu. Di kampung ini saya yakin saudara-saudara tidak ada yang pernah tahu benar konstitusi yang mewajibkan untuk saling menghargai perbedaan. Mungkin tidak pernah membaca Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945.
Tapi justru pertanyaan yang menggelitik adalah kenapa di negeri kalian ini tidak ada permusuhan seperti yang pernah terjadi di Ambon, di Poso dan beberapa daerah yang menyulut konflik hanya karena atas nama agama ? jawabannya, saya yakin semua itu didasarkan oleh karena “kesadaran personal”  kalian semua. Butuh negeri, desa yang aman dan tenteram. Di sinilah hukum dalam kajian sosiologis dan antropologi bukan sekedar dilihat semata dalam undang-undang. Hukum bukan logika, dan matematika melainkan pengalaman sebagimana disatir oleh Oliver W. Holmes.
Hukum adalah perilaku. Perilaku warga desa Banuroja yang sadar (Identification: H.C kelman) pentingnya nilai-nilai.  Patut untuk saling toleransi antar sesama. Hukum mereka bukanlah lahir dari setumpuk aturan perundang-undangan, tetapi lahir dari perilaku hukum mereka. Pengalaman mereka bermasyarakat.
Perilaku hukum itu Nampak diantara mereka pada saat pembangunan tempat peribadatan. Tidak ada yang berpandangan, bahwa ini bukan mesjid kami, bukan gereja kami, bukan wihara kami, semua sadar secara bergotong royong untuk saling bantu-membantu hingga tempat ibadah mereka masing-masing selesai terbangun. Sebuah kesadaran toleransi yang santer diperjuangkan oleh negeri kecil ini di tengah gempuran media yang semakin hari banyak memberitakan konflik atas nama Sara.
Perilaku hukum mereka adalah hukum yang sadar akan toleransi begitu urgen disematkan sebagai negeri yang tahu “bhineka tunggal ika” sekalipun warga setempat tidak pernah membaca tafsir filsufis pancasila untuk mengakui kemajemukan. Di sinilah membuktikan bahwa hukum itu lahir dari masyarakat (ubi society ibius), hukum sebagai jiwa masyarakat,  jiwa bangsa (Volkgeist: Carl V. Savigni), hukum adalah pencerminan masyarakat.
Ada kesadaran toleransi yang juga tak kalah menariknya di desa Banuroja. Dari hasil pembicaraan lepas penulis dengan pemangku Kepala Desanya. Katanya Saat ummat Muslim sedang melantunkan adzan, melaksankan shalat jamaah, melaksanakan dzikir, maka mikrophon dari wihara para pemeluk agama Hindu di sebelahnya ketika sedang melaksanakan ibadah malah tidak diperbesar suaranya.
Bagi penulis di sanalah, seraya berkunjung ke sana. Kita dapat  merasakan Tuhan benar-benar membumi. Ketika meraka pada sadar untuk tidak saling menyerang tempat peribadatan. Saling toleran ketika pemeluk di sebelahnya sedang melaksanakan ibadah. Tidak terlepas juga dari kepala desa Banuroja, yang mengangkat ketua BPD dari tokoh agama Hindu kemudian anggota BPD-nya ada yang beragama Nasrani, bahkan Pendeta, Muslim, seorang Uztadz. Dengan alasan, katanya ketika ada dana untuk pembangunan, cukup tokoh-tokoh ini yang akan menyampaikan program kerja itu kepada para ummatnya.
Desa Banuroja hemat penulis adalah Indonesia kecil yang mampu menjadi cikal-bakal toleransi dan perilaku hukum untuk “taat” menjalankan hukum masing-masing tanpa memaksakan tafsir “Tuhan tunggal” terhadap pemeluk agama yang berbeda.
Negeri Indonesia yang besar, di nusantara ini dengan masyarakat yang mejemuk mesti belajar cara bertoleransi dari negeri yang kecil ini. Di sanalah terdengar ke damaian ketika suara adzan terdengar merdu di iringi oleh suara lonceng gereja dan pujian Tuhan buat pemeluk agama Hindu yang sedang melaksanakan ibadah di pura-pura mereka.
Sejatinya kata yang tepat bagi mereka, aku cinta pada kalian, namun aku tetap pasrah pada Tuhanku. “Sesungguhnya Ketaatan yang diridhoi oleh Allah adalah agama yang pasrah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar