Penulis tak pernah memikirkan sebelumnya akan menemukan sebuah Desa yang rukun, damai, penduduknya tidak ada yang bertikai, terjadi konflik etnis atas nama agama, konflik horizontal, saling memperebutkan tafsir “Tuhan tunggal” buat mereka.
Di tengah penulis banyak membaca, melihat dan mengamati tulisan dalam berbagai artikel, koran, media cetak hingga tontonan kekerasan atas nama agama yang ditampilkan melalui media televisi. Seperti penyerangan gereja, pembakaran mesjid, aksi bom bom bunuh diri dengan latar “jihad” yang ditafsir untuk mendapatkan peluang surgawi. Rupanya masih ada negeri bisa menjadi guru untuk mengajarkan sikap saling menghargai sesama, dan budaya toleransi yang tinggi. Negeri itu adalah sebuah desa kecil yang terletak di kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Kecamatan Randangan. Desa Banuroja.
Walaupun kampung ini dihuni oleh empat kelompok etnis dari transmigran yang datang dari negeri yang berbeda. Ada yang berasal dari etnis Bali, etnis Nusa Tenggara, etnis Gorontalo dan etnis Jawa. Hingga sekarang belum pernah terdengar konflik dari ke empat etnis tersebut . Padahal jika ditelisik lebih jauh ternyata di sana ada empat agama (Islam, Kristen, Hindu dan Budha) dan tempat peribadatan masing-masing saling berdekatan. Namun tidak ada aksi saling menyerang, adu jotos hingga mengakibatkan kematian diantara pihak karena agama mereka yang berbeda.
Uniknya
lagi pada saat memasuki desa Banuroja tidak ada yang lebih mencorong daripada
bangunan sebuah pura besar di Desa
Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Pura
besar yang dikelilingi pura-pura keluarga yang ukurannya lebih kecil. Tapi
suasana Hindu itu berakhir di depan bangunan sekolah dengan tulisan yang mencolok
pada salah satu temboknya. Pondok Pesantren Salafiyah Safi'iyah.
Posisi
Kabupaten Pohuwato yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah juga menarik
diperhatikan. Ketika konflik bernuansa agama di Sulawesi Tengah merembet ke
sejumlah wilayah di Sulawesi, ia tak mampu menembus Pohuwato. Hal ini terjadi
karena tokoh-tokoh agama Pohuwato punya kesadaran yang cukup tinggi. Mereka
paham bahwa konflik yang terjadi di Palu dan pada awal 2000-an adalah konflik
kepentingan elite yang mengorbankan rakyat jelata dengan menggunakan
simbol-simbol agama.
Banuroja
sendiri berdasarkan hasil pembicaraan penulis dengan Kepala Desa Banuroja Abdul
Wahid. Ketika diundang untuk menjadi pemateri oleh Mahasiswa KKLP Unisan
Pohuwato angkatan ke II. Dalam penyuluhan hukum “Membangun Kesadaran Hukum
Bermasyarakat”. Beliau mengatakan bahwa awal mula terbentuknya kata Banuroja adalah
berdasarkan hasil konsensus dari semua warga yang dikumpul hingga akhirnya
mereka semua sepakat memakai nama desa BANUROJA (merupakan kepanjangan dari
Bali, Nusa Tenggara, Gorontalo, dan Jawa).
Tiba
saatnya saya kena giliran sebagai pembicara. Saya tidak bisa mencari kata dan
kalimat atas kekaguman saya dengan bapak Kepala Desa itu. Seorang Kepala Desa yang
mengaku hanya tamatan SMA. Ternyata memiliki “style” dan paradigma setingkat Abdurrahman Wahid yang sangat
menghargai perbedaan. Kepala desa yang mengakui pluralisme.
Akhirnya
dengan latar belakang saya sebagai dosen ilmu hukum. Maka cukup saya mengatakan
di hadapan para warga masyarkat yang hadir dalam acara penyuluhan hukum itu. Di
kampung ini saya yakin saudara-saudara tidak ada yang pernah tahu benar
konstitusi yang mewajibkan untuk saling menghargai perbedaan. Mungkin tidak
pernah membaca Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945.
Tapi
justru pertanyaan yang menggelitik adalah kenapa di negeri kalian ini tidak ada
permusuhan seperti yang pernah terjadi di Ambon, di Poso dan beberapa daerah
yang menyulut konflik hanya karena atas nama agama ? jawabannya, saya yakin
semua itu didasarkan oleh karena “kesadaran personal” kalian semua. Butuh negeri, desa yang aman
dan tenteram. Di sinilah hukum dalam kajian sosiologis dan antropologi bukan
sekedar dilihat semata dalam undang-undang. Hukum bukan logika, dan matematika
melainkan pengalaman sebagimana disatir oleh Oliver W. Holmes.
Hukum
adalah perilaku. Perilaku warga desa Banuroja yang sadar (Identification: H.C kelman) pentingnya nilai-nilai. Patut untuk saling toleransi antar sesama.
Hukum mereka bukanlah lahir dari setumpuk aturan perundang-undangan, tetapi
lahir dari perilaku hukum mereka. Pengalaman mereka bermasyarakat.
Perilaku
hukum itu Nampak diantara mereka pada saat pembangunan tempat peribadatan.
Tidak ada yang berpandangan, bahwa ini bukan mesjid kami, bukan gereja kami,
bukan wihara kami, semua sadar secara bergotong royong untuk saling
bantu-membantu hingga tempat ibadah mereka masing-masing selesai terbangun.
Sebuah kesadaran toleransi yang santer diperjuangkan oleh negeri kecil ini di
tengah gempuran media yang semakin hari banyak memberitakan konflik atas nama
Sara.
Perilaku
hukum mereka adalah hukum yang sadar akan toleransi begitu urgen disematkan
sebagai negeri yang tahu “bhineka tunggal
ika” sekalipun warga setempat tidak pernah membaca tafsir filsufis
pancasila untuk mengakui kemajemukan. Di sinilah membuktikan bahwa hukum itu
lahir dari masyarakat (ubi society ibius),
hukum sebagai jiwa masyarakat, jiwa bangsa
(Volkgeist: Carl V. Savigni), hukum
adalah pencerminan masyarakat.
Ada
kesadaran toleransi yang juga tak kalah menariknya di desa Banuroja. Dari hasil
pembicaraan lepas penulis dengan pemangku Kepala Desanya. Katanya Saat ummat Muslim
sedang melantunkan adzan, melaksankan shalat jamaah, melaksanakan dzikir, maka
mikrophon dari wihara para pemeluk agama Hindu di sebelahnya ketika sedang
melaksanakan ibadah malah tidak diperbesar suaranya.
Bagi
penulis di sanalah, seraya berkunjung ke sana. Kita dapat merasakan Tuhan benar-benar membumi. Ketika
meraka pada sadar untuk tidak saling menyerang tempat peribadatan. Saling
toleran ketika pemeluk di sebelahnya sedang melaksanakan ibadah. Tidak terlepas
juga dari kepala desa Banuroja, yang mengangkat ketua BPD dari tokoh agama
Hindu kemudian anggota BPD-nya ada yang beragama Nasrani, bahkan Pendeta,
Muslim, seorang Uztadz. Dengan alasan, katanya ketika ada dana untuk
pembangunan, cukup tokoh-tokoh ini yang akan menyampaikan program kerja itu kepada
para ummatnya.
Desa
Banuroja hemat penulis adalah Indonesia kecil yang mampu menjadi cikal-bakal
toleransi dan perilaku hukum untuk “taat” menjalankan hukum masing-masing tanpa
memaksakan tafsir “Tuhan tunggal” terhadap pemeluk agama yang berbeda.
Negeri
Indonesia yang besar, di nusantara ini dengan masyarakat yang mejemuk mesti
belajar cara bertoleransi dari negeri yang kecil ini. Di sanalah terdengar ke
damaian ketika suara adzan terdengar merdu di iringi oleh suara lonceng gereja
dan pujian Tuhan buat pemeluk agama Hindu yang sedang melaksanakan ibadah di
pura-pura mereka.
Sejatinya
kata yang tepat bagi mereka, aku cinta pada kalian, namun aku tetap pasrah pada
Tuhanku. “Sesungguhnya Ketaatan yang
diridhoi oleh Allah adalah agama yang pasrah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar