Ganti Rugi
Apa yang menyebabkan sehingga muncul ganti rugi ? adalah tidak lain buntut dari pada Wanprestasi. Menurut Nieuwenhuis[1] kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
Apa yang menyebabkan sehingga muncul ganti rugi ? adalah tidak lain buntut dari pada Wanprestasi. Menurut Nieuwenhuis[1] kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.
Ternyata bukan hanya wanprestasi yang menyebabkan sehingga muncul ganti rugi, melainkan juga dapat disebabkan melalui perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi, dimulai dari Pasal 1243 KUHpdt s/d Pasal 1252 KUHpdt, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya, ganti rugi ini timbul karena adanya kesalahan bukan karena adanya perjanjian.
Ganti kerugian karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara Kreditur dengan Debitur misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 Januari 1996, akan tetapi pada tanggal yang ditentukan, A belum juga mengirim barang kepada B, supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberi peringatan (somasi)[2] kepada A, minimal tiga kali.[3]
Beberapa ganti kerugian yang dapat dituntut oleh Kreditur kepada Debitur diantaranya:
- Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian;
- Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUHpdt), ini ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang dimaksud dengan biaya-biaya adalah ongkos yang telah dikeluarkan oleh Kreditur untuk mengurus objek perjanjian.sementara kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian. Sedangkan bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur. Penggantian biaya-biaya, kerugian dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanpestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.
Risiko
Risiko (resicoleer: suatu ajaran yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak). Atau dengan bahasa yang sederhana risiko adalah kerugian yang ditimbulkan di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul oleh karena adanya keadaan memaksa (overmacht).
Subekti memberikan suatu defenisi, risiko yaitu kewajiban untuk memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal risiko, maka dapat diterapkan dalam bentuk perjanjian, baik perjanjian sepihak maupun perjanjian timbal balik.
Pada perjanjian sepihak merupakan dimana salah satu pihak aktif melakukan prestasi, sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya A memberikan sebidang tanah kepada si B, tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada 30 Desember 2012, namun seblum sampai jatuh temponya penyerahan tanah tersebut, tanah itu musnah, maka yang menanggung risikonya atas tanah demikian adalah B (Penerimah tanah, vide: Pasal 1237 BW).
Bagaimana dengan perjanjian timbal balik ? pada perjanjian timbal balik dapat diambil contoh pada perjanjian jual beli, tukar menukar, dan sewa-menyewa.
Supaya lebih jelas perbedaan tentang penanggungan risiko dari masing-masing perjanjian timbal-balik, maka perlu untuk mengutip Pasal yang terkait dengan perjanjian-perjanjian tersebut.
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1460 BW menegaskan “jika barang yang dijual itu suatu barang yang sudah ditentukan, barang ini sejak saat pembelian adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan sipenjual berhak menuntut harganya.”
Apakah kira-kira adil pasal diatas, seandainya barang yang hendak diserahkan ke pembeli, barang itu musnah di gudang penjual, atau barang tersebut disita karena penjual pailit ? rasanya tidak adil. Oleh karena itu maka pasal tersebut penting dilakukan penafsiran secara sistematis. Perlu diterapkan Pasal 1474 BW sebagai ketentuan lebih lanjut yang menegaskan bahwa ”menyerahkan barang dan menanggungnya” dan berdasarkan Pasal 1475 BW menegaskan “penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli”.
Dengan demikian kesimpulan yang bisa ditarik perihal risiko dalam perjanjian jual beli adalah, bahwa selama barang belum diserahkan oleh penjual kepada pembeli, maka risiko ada pada penjual, dalam hal ini penjual masih merupakan pemilik sah barang tersebut. Kemudian ternyata SEMA Nomor 3 tahun 1963 Pasal 1460 ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam ketentuan yang lain untuk perkara beberapa metode penjualan (beli) suatu barang memilki tiga ketentuan yaitu:
- Mengenai barang yang sudah ditentukan, sejak saat pembelian risiko ada pada pembeli (vide: Pasal 1460 BW, Pasal ini sudah tidak berlaku lagi berdasarkan SEMA No 3 Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963);
- Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah, atau ukuran (Pasal 1461 BW), risiko ada pada penjual hingga barang ditimbang;
- Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462 BW) risiko ada pada pembeli.
Kemudian beralih keperjanjian tukar-menukar. Perjanjian tukar menukar diatur dalam Pasal 1545 yang menegaskan “apabila suatu barang tertentu, yang telah diperjanjikan untuk ditukar musnah diluar kesalahan pemiliknya, perjanjian dianggap sebagai gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat menuntut kembali barang yang telah diberikan dalam tukar menukar itu.”
Masih dalah wailayah perjanjian tukar menukar, nyatanya hal inilah oleh Subekti untuk dijadikan sebagai asas yang berlaku umum dalam perjanjian timbal balik. Secara tepat bahwa risiko itu dipikulkan kepada pemiliknya. Atau dengan kata lain dengan musnahnya barang dari salah satu pihak, pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah diserahkan.
Selanjutnya perjanjian sewa-menyewa, yakni diatur dalam Pasal 1553 yang menegaskan “jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum.”
Maksud dari pasal di atas adalah bahwa sejak awal perjanjian sewa-menyewa itu dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah lahir suatu perikatan. Oleh karenanya masing-masing pihak tidak ada yang dapat menuntut. Karena memang pada dasarnya tidak pernah lahir perikatan.
[1] Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, hal. 81
[2]Somasi merupakan terjemahan dari ingebrekestelling, diatur dalam pasal 1238 s/d Pasal 1243 BW. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (Kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakatai antara keduanya.
[3] Dikutip dari Salim HS, 2005, Hukum Kontrak, sinar grafika, Jakarta, hal. 101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar