Diantara beberapa terminologi hukum perikatan (overeenkomst). Istilah yang sering diketemukan diantaranya persetujuan, perjanjian dan kontrak. Membahas syarat sahnya perikatan sulit dipisahkan dari salah satu asas dalam hukum perikatan yakni asas konsensuil (kesepakatan). Syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1230 yakni: sepakat bagi yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan sebab yang halal atau legal.[1]
Unsur sepakat dan cakap jika tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan unsur suatu hal tertentu dan sebab yang halal tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum (nuul and void). Dapat dibatalkan berarti bahwa perjanjian itu dianggap sah sepanjang tidak pernah dibatalkan sedangkan batal demi hukum sudah dari awal perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.
Sepakat
Kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian merpakan unsur esensil atau utama sebagai syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan dalam perikatan/ kontrak dapat terjadi dalam bentuk lisan, tertulis, dengan simbol-simbol tertentu serta berdiam diri. Perikatan dapat menjadi batal (dapat dibatalkan) jika saja terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal, diantaranya kekhilafan/ kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan keadaan.
Cacat kehendak karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam Pasal 1321 BW yang menegaskan “tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kemudian diatur juga dalam Pasal 1449 BW yang menegaskan “perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.
Kecakapan
Cakap yang dimaksud di sini adalah setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas oleh hkum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti: gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, “tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1. Orang yang belum dewasa;
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Hal Tertentu
Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum (nuul and void). Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW prestasi itu dapat berupa:
1. Menyerahkan sesuatu;
2. Berbuat sesuatu;
3. Tidak berbuat sesuatu.
Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat sesuatu, dan berdiam diri untuk tidak berbuat sesuatu seperti “berjanji untuk tidak membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetetangga.[2]
Sebab Yang Halal
Yang di maksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.
Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.[3]
[1] Sepakat dan cakap merupakan syarat subjektif (jika tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan), sementara unsur suatu hal tertentu dan sebab yang halal sebagai syarat objektif (jika tidak terpenuhi perjanjian batal demi hukum)
[2] Lihat dalam Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Jakarta: Rajawali Press, hal 30.
[3] http://id.shvoong.com/law-and-politics/2230796-pengertian-causa-yang-halal-dalam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar