Kurang lebih dua ratus juta mata tertuju kepada SBY yang sedang berpidato atas kegundahan rencana kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak). Hampir semua siaran televisi swasta menyiarkan keluhan pemerintah Yudhoyono. Nampak SBY sebagai sopir tunggal duduk bersanding dengan Boediono dibantu oleh “karnet” menteri-menterinya sedang linglung, galau, tak karuan, dan menderita amat dalam, pedih, menyikapi berbagai tuduhan dan sentimentil “fitnah” yang menusuk dan menguhujam jantungnya.
Berbagai pengamat menoreh sejuta tafsir hermeneutik (baca: teks) dan semiotik (symbol) atas pernyataan SBY. SBY konon katanya melakukan melodramatika, curhat, politik peringatan, dan melakukan ancaman balik kepada media beserta pengamat yang selalu mencekam kebijakan kenaikan BBM. SBY sepertinya merasa ketakutan (fear), sebuah ketakutan yang berlebihan. Inilah yang ditafsir oleh psikoanalisis Sigmund freud sebagai individu yang terkena sindrom “paranoid.”
Jabatan yang diembannya, setelah rakyat memilih secara langsung (directe electy) “seolah” tidak yakin lagi mampu menjalankan amanah sebagai khalifahtulloh, untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan (welfare), dan mengurangi angka pengangguran. Logikanya sudah mengalami kekacauan (chaos). Ketika SBY di satu sisi ingin mengurangi laju kemiskinan, namun tetap “ngotot” untuk menaikkan BBM. Ironisnya jika BBM naik, hampir semua roda perekonomian terkena inflasi besar-besaran. Harga bahan bakar pasti naik, harga pangan melaju tinggi, sampai makanan instan-pun yang bisa menjadi penolong rakyat miskin/ anak jalanan pasti terkena imbas kenaikan gara-gara kenaikan BBM.
Mendulang rasa cinta dan kasih Nabi Isa AS, kearifan Muhammad SAW, tanggung jawab pemimpin seorang khalifah Umar Bin Khatab. Hanya menjadi bumbu, dan bahan bernostalgia saja. Bukan menjadi teladan untuk menuju pemimpin transhuman. Tidak bisa diharapkan pemimpin saat ini mengabsorbsi sikap Isa yang mengabadikan hidupnya untuk orang miskin, menghapus kekerasan antar sesama. Terlebih meneladai (uswatun kh’asana) Muhammad yang rela menahan lapar demi para sahabat, menanggalkan pakaian untuk sahabat yang sangat menyenangi pakaiannya. Ataukah Umar yang berjalan terseok-seok, tersengal-sengal sedang mengantar gandum kepada seorang Ibu yang sedang memasak batu dalam sebuah panci yang berisi air. Oleh karena sang Ibu didengar oleh Umar ketika menyelip di tengah gelap gulita. Sang Ibu tersebut memanjakan anaknya dengan janji kosong “akan masak makanan nantinya” karena anaknya tidak bisa berhenti menangis, menahan rasa lapar.
Alkisah yang lain Umar pernah diteriaki oleh rakyatnya saat berpidato di podium yang sering digunakan jua oleh Rasulullah, “bahwa jika engkau Umar bengkok dalam memimpin maka aku akan meluruskan engkau dengan pedangku”. Dan secara spontan Umar Bin Khatab radiullohuanhu berkata “puji syukur ya Allah, masih engkau menyimpan orang yang bisa mengingatkanku agar aku berlaku adil”.
Berbanding terbalik dengan pemimpin kita sekarang. Memaksa rakyatnya untuk menerima “kemiskinan”. Dalam sebuah pidato SBY berkata “presiden mana yang senang, atau gembira menaikkan harga BBM. Saya diejek, dihabisi oleh media massa, oleh politisi, saya takut, ragu-ragu dan sebagainya”. Pernyataan tersebut mengindikasikan jauh sekali dari teladan khalifatulloh Umar Bin Khatab.
Rakyat dipaksa menerima “takdir’ kenaikan BBM. Kenaikan BBM bagai Sunnatulloh. Inilah dalah terminologi Abdul Munir Mulkhan “Balada Rakyat Dari Negeri Orang Saleh”. BBM sudah mesti naik harganya, adalah keniscayaan sejarah. Oleh karena minyak dunia juga sudah naik. Karena itu, katanya “kenaikan BBM sudah tidak bisa lagi dihindari.”
Pemerintahan Indonesia di bawah kendali kabinet bersatu jilid II tidak sekecil khalifah di zaman Rasul dan para khalifah di era Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Terlepas dari juga adanya kekacauan khalifah di zamannya. Kematian Usman yang dilukiskan oleh seorang Penulis Mesir Forouq Fouda, bahwa runtuhnya rezim Usman adalah korupsi yang dilakukan dengan menumpuk jutaan kilo emas. Namun setidaknya semua khalifah tersebut berani membaur ke rakyat dan turun melihar derita apa lagi yang menderah rakyatnya.
Lantas, bagaimana dengan SBY dan para pembantunya, sudahkah mereka turun ke setiap daerah yang dipimpinnya, melihat anak busung lapar, dan jutaan anak mengharap iba dari kaum dermawan. Kondisi anak jalanan yang semakin bertambah di kota-kota besar. Malah sebaliknya pemerintah tidak “ridho” jika ada anak jalanan yang meminta uang receh ala kadarnya dari kaum dermawan. Tidakkah pemimpin kita sadar ketika menciptakan Perda pembatasan anak jalan, bahwa dibalik rezekinya (baca: orang kaya) ada hak dan bagian orang miskin (kaum mustadhafin).
Anarki Vs Jihad Politik
Ada tindakan anarkis. Membakar mobil dinas. Membakar pertamina sebagimana yang dilakukan oleh Mahasiswa di kota Makassar. Membakar ban sehingga mengganggu pengendara jalan. Peristiwa membakar segalanya, diartikan sebagai reaksi ketidakpercayaan Mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat. Pemerintah tidak punya daya, hati nurani dan kekuatan apa-apa atas kenaikan BBM. Karena kenaikan BBM adalah takdir sejarah yang tidak bisa dielakkan. Padahal pemimpin NRI sebagai khalifah belum berjuang (baca: Jihad) sesungguhnya untuk rakyatnya. SBY perlu tahu bahwa jika Negara ditegakkan dengan adil, Allah akan menegakkan Negara itu meskipun bukan Negara Islam sebagaimana Ibnu Tayimiyyah pernah mengatakan di masa hidup beliau.
Tindakan anarki demonstran di Makassar. Mengambil tabung gas kemudian membagikan secara gratis kepada pengguna jalan. Mahasiswa telah bertindak bak John Key yang merampok harta orang kaya kemudian dibagikan kepada orang miskin. Ataukah ia berani meneladani Sunan Kalijaga merampok harta para pejudi. Dianalogikan Mahasiswa merampok harta para penjahat sekelas pejudi yakni koruptor, sehingga halal diambil hartanya untuk dbagikan kepada kaum miskin.
Mustahil perkara demikian akan terjadi. Jika jihad politik ditegakkan. Partai politik yang menjadi komando demokrasi melalui instrument pemilihan umum dari suara Tuhan. Ketika menjabat kursi legislatif berani menanggalkan atribut-atribut partainya. Tidak perlu ada “mimpi” untuk mempertahankan kedigdayaan rezim melalui pencitraan partai (image) yang pada akhirnya terjadi peristiwa “politik saling sandera” laksana bani Umayah Bin Abu Sufyan yang menghalalkan darah Husain untuk dibunuh, hingga Husain terbantai di padang Karbala. Karena pekerjaan yang demikian akan membuat para khalifah (baca: legislative, & eksekutif) “amnesia” untuk memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya.
Masih ada tersisa harapan bagi pemerintah untuk tidak menaikkan BBM. Jika pemimpin berani bersikap seperti Muhammad SAW, yang menanggalkan pakaiannya demi orang yang amat menyayangi pakaian yang sedang dikenakan. Muhammad yang pernah kehabisan uang dirham, hanya untuk membelikan sepotong roti, dari seorang yang ditemuinya kelaparan di padang pasir. Pertanyaannya sekarang, maukah Presiden kita dan semua anggota legislatif memotong gajinya untuk pengalihan dana terhadap penundaan “kenaikan BBM”. Jikalau BBM tetap naik, maka jihad politik untuk menanggalkan atribut partai. SBY dan kroninya tidak lagi berdiri di atas “syariat” dalam menegakkan keadilan sesama.
Penulis adalah: Dosen Pengajar Mata Kuliah Logika Hukum Universitas Ichsan Gorontalo
Responses
0 Respones to "Jihad Politik Untuk Kenaikan BBM"
Posting Komentar