Hermeneutika pertama kali dikenal di Yunani. Yakni ketika bahasa langit diserahkan kepada dewa Hermes, hanya dewa Hermes[1] dianggap mampu menafsirkan bahasa-bahasa langit itu sehingga dapat membumikan bahasa-bahasanya (baca: teks suci).
Gregory Ley (1992) dalam “Legal Hermeneutics: History, Theory And Practice” mengemukakan legal heremeneutics is, then, in reality no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem and so to restrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and theologian meet the student of the humanities (hermeneutika hukum dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus/ baru, tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksi kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora/ ilmu kemanusiaan).
Kata heremeneutics berasal dari turunan kata benda “hermeneia” yang secara harfiah diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Kata hermeneutics adalah sebuah kata benda[2] yang mengandung tiga arti
1. Ilmu penfsiran;
2. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata atau ungkapan Penulis;
3. Penafsiran yang secara khusus menunjuk pada penafsiran teks atau kitab suci.
Selain dikenal terminology interpretasi juga dikenal istilah metode konstruksi. Bagi yuris yang berasal dari system hukum Eropa Continental tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi. Sementara pada negara dengan system Hukum Anglo Saxon membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi.[3]
Metode interpretasi dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret, interpretasi terhadap teks tetap berpegang pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat kekosongan hukum (rechts norm) atau kekosongan undang-undang (wet vacuum).[4]
Pada umumnya metode interpretasi hukum dapat dibagi sebagai berikut:
1. Interpretasi gramatikal; menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang sesuai dengan kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Bagi A. Pitlo mengemukakan interpretasi gramatikal berarti kita mencoba menangkap arti sesuatu teks/ peraturan menurut bunyi kata-katanya. Misalnya kata menggelapkan dalam Pasal 41 KUHP ditafsirkan sebagai menghilangkan.
2. Interpretasi historis; penafsiran berdasarkan proses pembuatan Undang-undang. Misalnya asas berlaku surut dalam UU Pengadilan HAM.
3. Interpretasi sistematis; metode untuk menafsirkan Undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan system perundang –undangan. Misalnya pengakuan anak yang dilahirkan dalam pernikahan, Hakim harus mencari ketentuannya dalam KUH pdt dan KUH pdn.
4. Interpretasi sosiologis/ teologis; penafsiran yang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Misalnya pencurian jaringan dan aliran listrik ditafsirkan sebagai barang berdasarkan Pasal 362 KUHP.
5. Interpretasi komparatif; penafsiran dengan jalan membandingkan antara berbagai system hukum. Misalnya perbandingan antara perjanjain internasional dengan undang-undang / hukum nasional.
6. Interpretasi futuristic; metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi (penjelasan ketentuan UU dengan berpedoman pada UU yang belum mempunyai kekuatan hukum.
7. Interpretasi restriktif; interpretasi yang sifatnya membatasi. Misalnya interpretasi kata “tetangga” berdasarkan Pasal 666 BW, dapat diartikan setiap tetangga yang termasuk penyewa dari pekarangan di sebelahnya.
8. Interpretasi ekstensif; metode penafsiran yang melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Misalnya perkataan menjual berdasarkan Pasal 1576 bukan hanya semata-mata jual beli tetapi juga menyangkut peralihan hak.
[1] Hermes sebagai dewa diasosiasikan Nabi Idris sebagaimana dikemukakan Sayyed hussain Naser ((1989: 71) mengemukakan adanya tiga unsur dalam aktivitas penafsiran yaitu: (1) tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawah oleh Hermes atau nabi Indis; (2) perantara atau penafsir (Hermes atau Nabi idris); (3) penyampain pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan samapi kepada yang menerima
[2] Dalam kosa kata kerja hermeneo, hermeneuin. Hermeneo artinya mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata dan hermeneuin bermakna mengartikan, menafsirkan, dan menerjemahkan dan juga bertindak sebagai Penafsir.
[3] Untuk materi Konstruksi Hukum, akan dijelaskan pada pertemuan berikutnya
[4] Pendapat ini dikemukakan diantaranya Curzon, B. Arief Sidharta, dan Achmad Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar