Untuk pertama kalinya hukum berada dalam area perdebatan sebagai ilmu apa (apakah ilmu sosial atukah ilmu humaniora ?). Ada ratusan bahkan ribuan hasil penelitian hukum tidak diketahui berada dalam lapangan ilmu sosial ataukah ilmu humaniorah. Hilang eksistensinya dalam pohon pengetahuan. Sehingga kadang ditemui hasil penelitian hukum yang bercorak ilmu sosial dan bercorak ilmu humaniora.[1]
Akan tetapi hemat penulis, tidak ada artinya meperdebatkan hukum itu sebagai ilmu sosial ataukah ilmu humaniora. Oleh karenya eksistensi ilmu hukum sebagai ilmu hadir sebagai ilmu untuk memecahkan fakta-fakta dan isu hukum (legal isue). Maka lebih baik kiranya jika ilmu hukum dikatakan sebagai ilmu praktis.[2]
Ada beberapa terminologi yang digunakan untuk penggunaan istilah “law” sebagaimana dikemukakan oleh Curzon (1979: 23-24) diantaranya:
1. Perkataan “law” pada umumnya digunakan untuk menunjukan suatu peraturan khusus ataupun undang-undang lainnya. Misalnya The act 1978 adalah undang-undang dalam arti a law yang berhubungan dengan perbuatan curang.
2. Perkataan “the law” pada umumnya digunakan untuk menunnjukan pada “the law of the land” (hukum tanah) yaitu tubuh dari undang-undang, peraturan-peraturan lain, putusan-putusan pengadilan, plus asas-asas hukum, plus filsafat umum tentang masyarakat di dalam hubungannya dengan persoalan-persoalan hukum.
3. Perkataan “law” digunakan tanpa suatu artikel (kata depan) adalah juga digunakan sebagai suatu yang abstrak. Istilah konseptual di dalam konteks yang menunjukan pada filsafat hukum. Misalnya ekspresi dari keinginan rakyat (law is the expressions of people’s wil).
4. Perkataan “law” pada umumnya digunakan untuk menunjukan undang-undang dan peraturan-peraturan sejenis serta aturan-aturan. Misalnya the laws relating to bankrupcty include the banckrupcty act 1974 (peratuarn tentang keadaan pailit, 1976).
5. Beberapa bahasa kontinental menggunakan kata-kata yang berbeda untuk law dan a law contohnya jus, lex, recht, gezetz, droits, legge.
6. Perkataan droit lebih menimbulkan keraguan dari pada istilah inggris “law”. Dalam artinya yang luas dan objektif, le droit berarti aturan-aturan hukum secara total dan sering juga dijumpai istilah droit objectif (atau hukum alam) sebagai lawan dari aturan-aturan hukum positif yang khusus.
7. Sebagai tambahan lagi, penggunaan-penggunaan ini arti yang murni subjektif, jadi “le droit d’auteur” berarti hak seorang saya, maka kita harus sangat berhati-hati dalam menerjemahkan setiap ungkapan perkataan yang terdapat pada kata droit.
8. Kata law kemungkinan berasal dari kata “lagu” dalam bahasa inggris kuno, yang juga berasal dari kata lag berarti sesuatu yang pasti.
9. Kata sifat “legal “ merupakan akar-akar yang langsung dari bahasa latin, “legalis” yang didasarkan pada kata lex yang berarti hukum. Legal juga sering diartikan “menurut undang-undang”
10. Lex dari bahasa latin, berarti hukum, undang-undang, juga untuk menunjukan perubahan dari suatu undang-undang. Dalam bentuk abstrak disebut juga “lege” hukum. Lex juga digunakan istilah-istilah tertentu, seperti lex commisioria: syarat batal suatu perjanjian jika salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka dipandang batal demi hukum; lex fori; hukum yang berlaku, adalah hukum di tempat gugatan dimasukkan dan diterima.
11. Jure, berarti menurut hukum. Misalnya jure humano, berarti menurut hukum manusia.
12. Juris juga berarti hukum. Presumptio juria; dugaan hukum.
13. Jus atau ius, juga berarti hukum, tetapi sering juga berarti hak. Contohnya: jus avocandi (hak untuk memanggil kembali).[3]
Secara umum ilmu hukum dapat dibedakan ke dalam tiga klasifikasi yaitu:[4]
Beggrsiffenwissenschaft:
Ilmu tentang asas-asas yang fundamental di bidang hukum. Termasuk di dalamya mata kuliah pengantar ilmu hukum, filsafat hukum, logika hukum dan teori hukum.
Normwissenschaft:
Ilmu tentang norma. Termasuk di dalamnya sebagian besar mata kuliah yang diajarkan di fakultas-fakultas hukum di indonesia termasuk hukum pidana, hukum tata negara, hukum perdata, dan hukum internasional.
Tatsachenwissenschaft:
Ilmu tentang kenyataan. Termasuk di dalamnya sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, hukum dan politik.
Klasifikasi lain dikemukakan juga oleh Max Weber (Gerald Turkel) bahwa “these three approach are (1) a moral approach to law; (2)an approach from the standpoint of jurisprudence, and (3) a sociological aproach to law. Each of these approaches has a distinc focus on the relations among law and society and the ways in which law should be studied.
“Hukum” sebagai ilmu untuk mengetahui eksistensinya terkit dengan lapisan hukum yang dikemukakan oleh Meuwissen dalam dali kedua “Pengembanan Hukum” bahwa: terdapat tiga tataran abstraksi teoritikal atas gejala hukum yakni ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Filsafat hukum berada pada tataran tertinggi dan meresapi semua bentuk pengembanan hukum teoritikal dan pengembanan hukum praktikal.
Dalam arti pragmatikal yang murni, maka ilmu hukum adalah bentuk pengembanan hukum teoritikal yang paling penting. Ilmu hukum ini terbagi atas ilmu hukum dogmatik, sejarah hukum, perbandingan hukum, sosiologi hukum dan psikologi hukum.
1. Ilmu hukum dogmatik adalah ilmu yang terarah pada kegiatan memaparkan, menganalisis, mensistematisasi, dan menginterpretasi hukum positif yang berlaku.
2. Sejarah hukum adalah bentuk ilmu hukum yang mempelajari gejala-gejala hukum dari masa lampau (artinya hukum positif yang dahulu berlaku).
3. Perbandingan hukum adalah mempelajari berbagai sistem hukum positif yang berlaku satu disamping yng lain pada berbagai negara atau lingkungan hukum.
4. Sosiologi hukum adalah imu yang menjelaskan hukum positif yang berlaku (artinya isi dan bentuknya yang berubah-ubah menurut waktu dan tempat) dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan.
5. Psikologi hukum adalah cabang ilmu hukum yang paling muda. Tujuannya adalah untuk mengerti atau memahami hukum positif dari sudut pandang psikologi.
Kemudian lapisan hukum yang kedua yakni teori hukum, berada pada tataran abstraksi yang lebih tinggi ketimbang ilmu hukum, ia mewujudkan peralihan filsafat hukum. Teori hukum merefleksikan objek dan metode dari berbagai bentuk ilmu hukum. Karena itu, ia dapat dipandang juga sebagai suatu jenis filsafat ilmu dari ilmu hukum. Misalnya mempermasalahkan pertanyaan apakah sosiologi hukum atau ilmu hukum dogmatik harus dipandang sebagai ilmu empirik yang bersifat deskriptif atau tidak.
Abstrakasi tertinggi atas gejala hukum yakni filsafat hukum. Filsafat hukum merefleksikan semua masalah fundamental yang berkaitan dengan hukum, dan tidak hanya mereflkesikan hakikat dan metode dari ilmu hukum atau ajaran metode. Filsafat hukum bersifat kritikal terhadap pengaruh dari filsafat ilmu modern pada teori hukum.[5]
Suatu gejala-gejala sosial dan fakta-fakta untuk pertama kalinya diabstraksikan dalam bahasa-bahasa yang abstrak melalui filsafat, oleh karenanya dibutuhkan pemetaan teori hukum untuk membahaskan gejala-gejala tu sebagai das sein dan das sollen melalui teori hukum. Dari teori hukum ditemukan asas-asas sebagai payung (umbrella act) untuk hukum yang doktrinal atau ilmu hukum normatif.
TUGAS PENGGANTI MIED-TEST
Pada pertemuan keempat ini mahasiswa diwajibkan membuat tugas Logika hukum: mencari masalah-masalh hukum aktual atau isu hukum yang menarik. Tugas pertama dibuat memaparkan secara singkat kasus-kasus hukum (legal isue) tersebut kemudian ditarik dalam penalaran deduktif (umum ke khusus). Tugas ini dipaparkan oleh setiap mahasiswa sebagai tugas individu dalam setiap pertemuan
Daftar Pustaka:
Achmad. Ali, 2010, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana.
Arief Sidharta, 2008, Mewissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Bandung: Refika Aditama
Gregory Leyh, 1992, Legal Hermeneutics, USA: University Of California Press.
Hans Kelsen, 1973, Essays In Legal And Moral Philosophy, D. Reidel: Holland.
Shidarta, 2009. Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: CV. Utomo.
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Press.
[1] Lihat dalam Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki , 2008, Penelitian Hukum, raja wali pers, jakarta. Melalui konsorsium ilmu hukum pada tahun 1960, ada kehendak untuk menempatkan ilmu hukum dalam desain UNESCO (apakah ilmu sosial, eksakta dan humaniora ?)
[2] Hemat penulis mengataakns sebagai ilmu praktis karena mau tidak mau hukum sudah selayaknya memberikan alternatif atau mneyelesaikan terhadapa permasalahan –permasalahan hukum (legal isue)
[3] Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum, Yarsif Watampone, Makassar.
[4] Achmad Ali. 2010, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Kencana , Jakarta, hal.25
[5] Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar