Hukum akan menjadi benda “mati” jika tidak memiliki daya atau kekuatan berlaku. Oleh karena itu Hans Kelsen sebagai pemikir positivisme hukum sangat menekankan pentingnya, agar hukum itu dipisahkan dari anasir-anasir ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ekonomi dan politik.
Kelsen membedakan antara keberlakuan hukum dan validitas hukum. Elemen paksaan yang ada dalam hukum bukan merupakan psychis compulsion, tetapi fakta bahwa sanksi sebagai tindakan spesifik oleh aturan yang membentuk hukum. Elemen paksaan relevan hanya sebagai bagian dari isi norma hukum bukan sebagai suatu proses pikiran individu subjek norma. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem moral. Apakah seseorang sungguh-sungguh menaati hukum untuk menghindari sanksi aturan hukum itu atau tidak berkenaan dengan keberlakukan hukum.
Sementara validitas hukum menurut Kelsen adalah eksistensi norma secara spesifik. Norma dikatakan valid jika ia merupakan bentuk pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma tersebut mempunyai kekuatan mengikat (binding force) melalui tekanan sanksi terhadap seorang yang perbuatannya diatur, diperintahkan atau dilarang. Aturan adalah hukum. Dan hukum yang valid adalah norma. Hukum adalah norma yang memberikan sanksi.
Pendapat yang sama, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arief Sidharta (2007), bahwa antara validitas (keabsahan/ geldigheid/ validity) dan keberlakuan (gelding) itu berbeda. Validitas berkenaan dengan hukum berpikir logis atau kaedah logika. Sementara keberlakuan berkenaan dengan hukum berpikir yang legalis. Dalam konteks “keberlakuan hukum” memang ada gejala-gejala tertentu yang dapat diamati seperti perilaku pejabat, perilaku penegak hukum, dokumen-dokumen, perundang-undangan dan vonis hakim dalam suatu kerangka khusus yang dipahami sebagai suatu referensi khusus dipahami sebagai hukum.
Dari sini tampak bahwa hukum juga merupakan ciptaan pikiran. Keberlakukan normatif dari hukum juga hanya sebagai demikian dapat dimengerti dan dipikirkan. Ia tidak pernah sebagai demikian dapat ditemukan dalam kenyataan. Kenyataan merupakan hal yang dipikirkannya. Dengan demikian pada keberlakuan hukum berlaku preposisi empirik atau informatif.
Lain halnya yang dikemukakan oleh Ulrich klug, ada 9 kategori keberlakuan, diantaranya:
- Keberlakuan yuridis, keberlakuan ini mirip dengan positivistik sebagaimana yang dikemukakan oleh Kelsen.
- Keberlakuakn etis, keberlakuan yang terjadi jika sebuah kaedah hukum memiliki sifat kaedah yang mewajibkan.
- Keberlakauan ideal, keberlakuan kategori ini dapat terwujud jika kaedah hukum bertumpu pada kaedah moral yang lebih tinggi.
- Keberlakuakn riil. Keberlakuan yang terwujud dari suatu kaedah hukum yang berperilaku dengan mengacu pada kaedah hukum itu.
- Keberlakuan ontologis, merupan keberlakuan hukum yang akan kehilangan maknanya jika kaedah hukum dipositifkan oleh pembentuk undang-undang yang mengabaikan tuntutan fundamental dalam pembentukan aturan.
- Keberlakuan sosio relatif, suatu kaedah hukum hukum yang tidak memiliki kekuatan berlaku atau kekuatan berkelakukan secara yuridis, etis, dan riil namun masih menawarkan sesuatu kepada para teralamat atau subjek tertuju.
- Keberlakuakn dekoratif, keberlakuan kaedah hukum yang memilki fungsi sebagai lambang.
- Keberlakaun estetis, keberlakuan pada sauatu kaedah hukum yang memilki elegansi tertentu.
- Keberlakukan logical, suatu kaedah hukum yang secara internal tidak bertentangan, memilki keuatan keberlakuan logikal.