Diantara
buku-buku yang sering ditulis oleh Dosen Fakultas Hukum Unhas. Salah
satunya adalah buku yang
ditulis oleh Prof Ahmadi Miru “Hukum Kontrak Perancangan Kontrak”,
seandainya
ada pengklasifikasian dan hal itu berlaku juga di kalangan Akademisi Di
Fakultas Hukum Unhas. Buku tersebut layak tersimpan di Perpustakaan,
untuk
selanjutnya, menjadi bahan hukum
sekunder bagi peneliti hukum, yang berhasrat menjadi sarjana hukum
“orisinil”.
Hemat
saya, karya Prof Ahmadi Miru bukan pendekatan empirik yang melihat hukum
sebagai gejala atau fakta-fakta yang tidak otonom, seperti halnya penelitian socio-legal. Walaupun kenyataannya
penelitian socio-legal penting untuk
membantu “penerapan hukum secara praktis”.
Sebagai
karya dengan pendekatan konseptual _ meminjam terminology Prof. Peter Mahmud Marzuki, dalam membangun argumentasi hukum, bab per-bab
kita dituntut untuk membangun logika hukum.
Karyanya
dibangun dengan bentukan proposisi-proposisi
hukum sederhana, logis dan mudah diterima nalar sehat pembaca. Dengan membaca
halaman pertama saja, bagian pendahuluan, sudah menenangkan kekacauan (chaos) berpikir Pembaca.
Beliau
menulis, tidak ada perbedaan antara hukum kontrak dan hukum perjanjian. Apalagi
dalam BW, memang tidak ada pembagian demikian. Dalam BW hanya dikenal perikatan
yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir undang-undang (lih: hal. 1).
Dengan
tawaran yang demikian pembaca, “seolah” disuguhkan hidangan “kemudahan” dalam
mempelajari materi-materi hukum kontrak, dan jelasnya tidak serumit dengan cara
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja merepresentasikan sekian halaman materi
hukum perikatan dalam beberapa karyanya.
Salah
satu keunikan yang tidak ditemukan, dengan beberapa buku setaraf dengan karya
Prof Ahmadi, jika dibandingkan dengan buku Subekti ataukah Satrio. Buku yang
ditulis oleh Prof Ahmadi mencerahkan “kesesatan berpikir” Pembaca selama ini,
bahwa tiga pembagian bentuk/ wujud prestasi diantaranya: menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW. Bukanlah bentuk/ wujud prestasi
itu, melainkan hanya cara-cara melakukan
prestasi itu.
Bentuk
prestasi yang benar, menurutnya: a) pretasi yang berupa barang, cara
melaksanakannya adalah menyerahkan sesuatu (barang); b) prestasi yang berupa
jasa, cara melaksanakannya adalah dengan berbuat sesuatu; c) prestasi yang
berupa tidak berbuat sesuatu, cara
melaksanakannya adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang
dilarang dalam perjanjian (lih: hal 70)
Selain
itu, dengan beberapa bahasa yang sederhana, buku tersebut menguraikan beberapa
bentuk kontrak, asas hukum kontrak, syarat sahnya kontrak, berakhir atau
hapusnya kontrak, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Tanpa
mengurangi rasa “kekaguman” dan apresiasi terhadap karya beliau, walaupun
diuraikan juga hal-hal yang dapat menyebabkan kontrak itu berakhir (atau hapusnya
perikatan), penulis nampaknya lupa untuk membedakan dan memberi tekanan kepada
pembaca untuk mengetahui perbedaan novasi,
subrogasi dan cessie. Hemat saya ketiganya mesti dibedakan secara tegas
dengan bahasa sederhananya, agar mahasiswa kelak tidak “awam” dengan ketiga
istilah tersebut.
Satu
hal juga menjadi bagian keunikan buku tersebut. Uraian tentang wanprestasi.
Kemungkinan pokok dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan jika terjadi
wanprestasi hanya terbagi atas empat yakni pembatalan
kontrak saja, pembatalan kontrak disertai ganti rugi, pemenuhan kontrak saja,
pemenuhan kontrak disertai ganti rugi.
Dan menurutnya, sama sekali tidak ada kemungkinan kelima seperti “penuntutan ganti rugi saja”.
Memang
alasan beliau “logis”, karena tidak mungkinlah ada tuntutan ganti rugi, padahal
awalnya tidak terjadi pembatalan kontrak atau pemenuhan kontrak. Apalagi jika
tuntutan wanprestasi tersebut menjadi gugatan
di pengadilan, maka pihak yang wanprestasipun akan dibebani biaya
perkara.
Selebihnya,
hanya pembaca yang cerdas. selalu mencari hal-hal baru. Pembaca tidak akan
bosan membaca sebuah karya. Apalagi karya tersebut bertaraf ilmiah (bukan meluluh kumpulan pendapat dari
berbagai penulis/ pakar). Sebuah karya yang mampu diaplikasikan dalam
penerapan hukum praktis, maka kita akan mengatakan bahwa ilmu hukum yang sampai
hari ini masih saja ada perdebatan “ilmu hukum” termasuk kategori ilmu sosial
atau humaniora. Prof. Ahmadi tidak mau
“larut” dengan perdebatan tersebut, beliau membuktikannya dengan sebuah karya,
nyatanya hukum sebagai ilmu (jurisprudent) dapat diterapkan terhadap beberapa
permasalahan hukum.
Bagi
saya, Prof. Ahmadi telah membuktikan harapan Prof. Peter Mahmud Marzuki,
sebagai karya seorang guru besar, sebagai karya yang dapat menjadi rujukan.
Oleh karena telah membangun sebuah argumentasi hukum. Entah dengan menggunakan
pendekatan hukum teoritik atau pendekatan filsufis. Sekiranya jika ada peneliti hukum untuk
skripsi, tesis dan disertasi, buku tersebut, layak menjadi rujukan penelitian mahasiswa
program hukum perdata.
Makassar, 11
Desember 2011
Responses
0 Respones to "Studi Atas Karya Prof. Dr. Ahmadi Miru"
Posting Komentar