Berita di media Televisi, tentang penangkapan dan penahanan terhadap Fransisca Jo di salah satu Lapas Jawa Barat (lapas sukamiskin), mengusik dan mengoyak jutaan hati nurani Pemirsa yang menyaksikannya. Bagaimana tidak, ketika anaknya sendiri (Jason Soetanto Putra) yang hendak dirawat dan diasuh oleh Fransisca Jo, malah ia dilaporkan oleh mantan suaminya (Peter Soetanto), telah melakukan penculikan anak. Dan hinga kini menjalani penahanan untuk kepentingan persidangan, setelah didakwa melakukan penculikan terhadap anak, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 330 KUHP.
Penahanan Fransisca Jo di salah satu lembaga pemasyarakatan Bandung (Lapas Sukamiskin), berawal dari penetapan hak asuh anak yang telah diputus oleh MA, hingga kemenangan atas hak asuh, berada pada kuasa sang Ayah.
Berdasarkan pengakuan salah satu anak Fransisca yang bernama David di KPAI, mengapa pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dahulunya, kuasa asuh dimenangkan oleh ayah ? karena, nyatanya surat panggilan gugatan/ permohonan (ex partee) perceraian, adalah palsu. Surat itu disampaikan oleh Panitera, tidak pernah berada di tangan Fransisca Jo, dan media/ surat kabar yang dijadikan surat panggilan termohon. Bukan surat kabar yang gampang dibaca umum. Akhirnya putusan perceraian jatuh dengan verstek, dan kuasa hak asuh (child custody) jelas berada pada pihak Ayah.
Kemudian, sang Ibu melakukan banding pada Pengadilan Tinggi. Dan hak asuh jatuh kepada pihak Ibu. Lalu, Di Mahkamah Agung hak asuh kembali lagi menjadi hak asuh atas Ayah. Dan pada peninjauan kembali putusan hak asuh atas ayah tidak berubah.
Di sinilah tampak, banyak masalah hukum yang kesemuanya itu, tidak dapat diselesaikan dengan hukum perdata formil semata. Hukum acara perdata tidak pernah membuka ruang untuk menggugat bagi pihak yang kalah pada Pengadilan Negeri saja jika ada pemalsuan alamat tergugat yang demikian. Padahal yang melakukan kesalahan atas surat panggilan palsu yakni Pengadilan Negeri. Satu-satunya jalan melakukan upaya hukum atas putusan itu, dengan mengajukan banding. Kalau mengajukan banding berarti membutuhkan waktu dan mekanisme yang panjang lagi.
Memang, tidak ada pelanggaran hukum , ketika hukum perdata formilnya kelihatan telah berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tetapi tidakkah dibalik mekanisme hukum perdata formil (hukum acara) itu, ada pengabaian dan hak-hak tergugat. Ada pengabaian terhadap hak-hak Fransisca Jo yang nyata-nyata, pemohon (mantanSuami Fransisca) telah melakukan tipu-muslihat dengan memeberikan keterangan alamat palsu, sehingga gugatan dapat jatuh verstek dan petitumnya (tuntutan), gampang dimenangkan buat dirinya, oleh Pengadilan.
Perebutan anak bukan delik penculikan anak
Penahanan terhadap Fransisca Jo, dengan dakwaan Pasal 330 KUHP, hemat penulis telah melakukan penafsiran pasal yang keliru. Tegasnya pasal tersebut berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan dari orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Kalau dengan Pasal 330 KUHP, Fransisca Jo ditangkap dan ditahan. Pertanyaan, yang menghentak nalar sehat kita. Apakah dengan jatuhnya putusan pengadilan hak asuh atas salah satu pihak ? entah Ayah atau Ibunya. Salah satunya tidak dapat bertemu dan bersama dengan anaknya.
Seorang Ibu seperti Fransisca Jo, mengambil anaknya dan sepanjang sang anak tidak berada dalam tekanan psikologis oleh Ibunya. Apa salahnya sang Ibu ? bukankah hak Ibu untuk melimpahkan kasih sayang terhadap anaknya, tidak bisa dicabut oleh negara!
Ketika anak menjadi rebutan. Sementara anaknya hendak ikut Ibu, walaupun hak asuh berada dalam ikatan hukum atas ayah. seorang ibu dianggap “penculik anak”. Hati dan nurani kecil kita tidak bisa menafikan, bahwa sekalipun pengadilan menjatuhkan hak asuh atas Ayah. Seorang Ibu tetap punya hak untuk ketemu dengan anaknya. Adapun kewenangan dominan sang Ayah, hanyalah kewenangan untuk mendampingi anaknya dalam setiap peristiwa hukum.
Janganlah karena perebutan anak, salah satu pihak melapor polisi. Ibu atau ayahnya dipenjarakan. Karena perebutan anak bukan termasuk dalam delik “penculikan anak”.
Tidak mungkin termasuk dalam kategori “menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan”. Karena Ibu dan Ayah sama-sama sederajat, memiliki hak (equity) untuk tetap memberi kasih sayang (afeksi)terhadap anaknya. Apalagi anak tersebut, tetap memiliki hak mengetahui, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7 UU No. 23 Tahun 2002. Bahkan Konvensi Internasional melalui instrumen, the United Nation Convention on the Right Of Child juga telah mengakui “hak seorang anak untuk mengetahui orang tuanya dan diasuh oleh mereka”.
Mencermati UU Perlindungan Anak dan Konvensi di atas. Seorang ibu dilarang ketemu dengan anaknya, didakwa dengan Pasal “Penculikan Anak.” Dengan dalil penculikan, menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan menurut UU. Berarti negara tidak mengakui lagi hak-hak anak dan hak-hak Ibu tersebut. Kalau kemudian Fransisca Jo tetap ditahan, dan hakim kelak menjatuhkan pemidanaan. Mungkin pantas dan tidak terasa berlebihan kita mengatakan atas sebuah preseden putusan pengadilan “Inilah Hari Tangisan Buat Anak Se-Indonesia”.
Penahanan Fransisca Jo di salah satu lembaga pemasyarakatan Bandung (Lapas Sukamiskin), berawal dari penetapan hak asuh anak yang telah diputus oleh MA, hingga kemenangan atas hak asuh, berada pada kuasa sang Ayah.
Berdasarkan pengakuan salah satu anak Fransisca yang bernama David di KPAI, mengapa pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara dahulunya, kuasa asuh dimenangkan oleh ayah ? karena, nyatanya surat panggilan gugatan/ permohonan (ex partee) perceraian, adalah palsu. Surat itu disampaikan oleh Panitera, tidak pernah berada di tangan Fransisca Jo, dan media/ surat kabar yang dijadikan surat panggilan termohon. Bukan surat kabar yang gampang dibaca umum. Akhirnya putusan perceraian jatuh dengan verstek, dan kuasa hak asuh (child custody) jelas berada pada pihak Ayah.
Kemudian, sang Ibu melakukan banding pada Pengadilan Tinggi. Dan hak asuh jatuh kepada pihak Ibu. Lalu, Di Mahkamah Agung hak asuh kembali lagi menjadi hak asuh atas Ayah. Dan pada peninjauan kembali putusan hak asuh atas ayah tidak berubah.
Di sinilah tampak, banyak masalah hukum yang kesemuanya itu, tidak dapat diselesaikan dengan hukum perdata formil semata. Hukum acara perdata tidak pernah membuka ruang untuk menggugat bagi pihak yang kalah pada Pengadilan Negeri saja jika ada pemalsuan alamat tergugat yang demikian. Padahal yang melakukan kesalahan atas surat panggilan palsu yakni Pengadilan Negeri. Satu-satunya jalan melakukan upaya hukum atas putusan itu, dengan mengajukan banding. Kalau mengajukan banding berarti membutuhkan waktu dan mekanisme yang panjang lagi.
Memang, tidak ada pelanggaran hukum , ketika hukum perdata formilnya kelihatan telah berjalan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Tetapi tidakkah dibalik mekanisme hukum perdata formil (hukum acara) itu, ada pengabaian dan hak-hak tergugat. Ada pengabaian terhadap hak-hak Fransisca Jo yang nyata-nyata, pemohon (mantanSuami Fransisca) telah melakukan tipu-muslihat dengan memeberikan keterangan alamat palsu, sehingga gugatan dapat jatuh verstek dan petitumnya (tuntutan), gampang dimenangkan buat dirinya, oleh Pengadilan.
Perebutan anak bukan delik penculikan anak
Penahanan terhadap Fransisca Jo, dengan dakwaan Pasal 330 KUHP, hemat penulis telah melakukan penafsiran pasal yang keliru. Tegasnya pasal tersebut berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan dari orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Kalau dengan Pasal 330 KUHP, Fransisca Jo ditangkap dan ditahan. Pertanyaan, yang menghentak nalar sehat kita. Apakah dengan jatuhnya putusan pengadilan hak asuh atas salah satu pihak ? entah Ayah atau Ibunya. Salah satunya tidak dapat bertemu dan bersama dengan anaknya.
Seorang Ibu seperti Fransisca Jo, mengambil anaknya dan sepanjang sang anak tidak berada dalam tekanan psikologis oleh Ibunya. Apa salahnya sang Ibu ? bukankah hak Ibu untuk melimpahkan kasih sayang terhadap anaknya, tidak bisa dicabut oleh negara!
Ketika anak menjadi rebutan. Sementara anaknya hendak ikut Ibu, walaupun hak asuh berada dalam ikatan hukum atas ayah. seorang ibu dianggap “penculik anak”. Hati dan nurani kecil kita tidak bisa menafikan, bahwa sekalipun pengadilan menjatuhkan hak asuh atas Ayah. Seorang Ibu tetap punya hak untuk ketemu dengan anaknya. Adapun kewenangan dominan sang Ayah, hanyalah kewenangan untuk mendampingi anaknya dalam setiap peristiwa hukum.
Janganlah karena perebutan anak, salah satu pihak melapor polisi. Ibu atau ayahnya dipenjarakan. Karena perebutan anak bukan termasuk dalam delik “penculikan anak”.
Tidak mungkin termasuk dalam kategori “menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan”. Karena Ibu dan Ayah sama-sama sederajat, memiliki hak (equity) untuk tetap memberi kasih sayang (afeksi)terhadap anaknya. Apalagi anak tersebut, tetap memiliki hak mengetahui, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7 UU No. 23 Tahun 2002. Bahkan Konvensi Internasional melalui instrumen, the United Nation Convention on the Right Of Child juga telah mengakui “hak seorang anak untuk mengetahui orang tuanya dan diasuh oleh mereka”.
Mencermati UU Perlindungan Anak dan Konvensi di atas. Seorang ibu dilarang ketemu dengan anaknya, didakwa dengan Pasal “Penculikan Anak.” Dengan dalil penculikan, menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan menurut UU. Berarti negara tidak mengakui lagi hak-hak anak dan hak-hak Ibu tersebut. Kalau kemudian Fransisca Jo tetap ditahan, dan hakim kelak menjatuhkan pemidanaan. Mungkin pantas dan tidak terasa berlebihan kita mengatakan atas sebuah preseden putusan pengadilan “Inilah Hari Tangisan Buat Anak Se-Indonesia”.
Responses
1 Respones to "Ketika Anak Diperebutkan"
Saya seorang ibu dari anak laki2 berusia 3 tahun. Anak saya dibawa kabur oleh mantan suami ke LN tanpa saya memiliki akses untuk bertemu bahkan kontak sekalipun. Tidak ada satupun polisi yang mau menerima laporan saya dikarenakan kasus di atas sedangkan putusan pengadilan menetapkan hak asuh dibawah saya. Pengadilan agama sendiri tidak memiliki enforcement untuk melakukan eksekusi. Dimanakah keadilan saat ini?
18 Desember 2014 pukul 09.34
Posting Komentar