Oligarki_ apa yang dimaksud dengan oligarki ? Dalam skema sistem pemerintahan Pollybius. Oligarki diartikan sebagai pemerintahan oleh sekelompok orang guna kepentingan kelompok (golongan) nya sendiri. Tidak jauh berbeda dengan pemahaman Irvan Mawardi (penulis buku “pemilu dalam cengkeraman oligarki”) ketika ia mengutip terminologi Jefery A. Winters, bahwa pelaksanaan pemilu di Indonesia berada dalam ranah “Ruling Oligarchy” yakni para oligarki mampu menggunakan pengaruhnya untuk melakukan pemaksaan terhadap pemilik otoritas resmi demi keuntungan kaum oligarkis, dan tidak lain tujuan dari kaum oligarkis itu, adalah mempertahankan dan akumulasi kekayaan (lih: hal 2).
Oligarki yang dimaksud bagi Irvan, ditunjukan dengan beberapa pengalaman atas riset beliau diberbagai daerah, seperti Aceh, Maluku dan Kalimantan, bahkan sempat berjalan-jalan ke Nepal. Sebuah perjalanan panjang yang patut diapresiasi, Ia tidak membiarkan semua masalah politik dan hukum melintas begitu saja di pikirannya.
Ia telah berhasil menuliskan karut-marut pemilu 2009, kegagalan beberapa Partai Politik meraih suara terbanyak seperti: PKS dan Golkar, jauh berbeda dengan pemilu di era tahun 2004. Partai demokrat yang menang, semata-mata karena figur dan kharismatik SBY. Bukan karena platform dan ideology yang mumpuni, untuk dipercaya oleh rakyat, sehingga SBY akhirnya mendapat sokongan suara terbanyak dalam Pemilu 2009.
Kejujuran Irvan menuliskan Bagaimana demokrasi kemudian dimanipulasi dengan praktik kecurangan dalam mekanisme penjaringan suara di hari H pemilu, maka saya sepakat-sepakat saja, kalau beliau menuliskan pemilu selalu berada dalam cengkeraman “oligarki”, sebagai judul bukunya.
Ada praktik money politic yang ditunjukkan, bahwa sampai sekarang dan berapa kali kita melakukan pemilihan umum, baik itu pemilihan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, maupun pemilihan kepala daerah, tidak ada yang terlepas dari praktik money politic. Bagian tulisan di bab tersebut (lih: hal 99) menyadarkan pembaca, bahwa nyatanya banyak pelanggaran dalam Pemilukada, lalu dibiarkan saja pelanggaran serta kecurangan dalam memenangkan Pemilihan Kepala Daerah. Seolah money politic boleh dan wajar saja, tidak melanggar hukum. Padahal nyata-nyata ditegaskan dalam Pasal 84 ayat 1 huruf j UU No. 10 Tahun 2008 Ju. Pasal 117 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 sebagai salah satu bentuk pelanggaran tindak pidana pemilu. Artinya, kalau dibiarkan money politic, berjalan-jalan dan aman-aman saja, untuk menjadi perwakilan politik (political representative), hanya orang-orang yang berduit/ berkantong tebal dapat menjadi anggota legislatif, sekali lagi menunjukan bahwa Pemilu diselenggarakan di setiap episod, tidak lain dalam rangka mempertahankan para kaum elit yang telah memilki asset ratusan juta rupiah. Mereka adalah kaum-kaum oligarki yang bermain dan memakai “topeng demokrasi”, untuk meyebarkan kebodohan perpolitikan di jagad Indonesia.
Erat kaitannya dengan judul tulisan ini, ada terminology “refleksi pemikiran politik dan hukum” saya memandang buku yang ditulis oleh Irvan. Dibagian awal ketika membaca tulisan beliau, seakan tulisan ini menggunakan sudut dan pendekatan politik dari berbagai macam perspektif, seperti PKS yang mulai ditinggalkan, oleh karena terlalu percaya dengan basis massanya, apalagi PKS mengangkat salah satu ikon Soeharto sebagai guru bangsa.
Demikian halnya Golkar yang ditinggalkan oleh massa pendukungnya, setelah Partai Golkar terlalu ke PD- an sebagai partai penguasa. Lalu mengapa, banyak pemilih yang berbalik dan percaya ke SBY melalui Partai Demokrat, beliau menegaskan karena figur SBY, yang terlanjur dipercaya, mampu mengembalikan kepercayaan publik, dengan penundaan kenaikan BBM di detik-detik hari H menjelang Pemilihan umum tahun 2009.
Diakhir bab, sekitar tiga sampai empat bab, penulis baru benar-benar menawarkan solusi atas permasalahan hukum menyangkut “Pemilu” dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa di PTUN, dengan menempatkan KPU sebagai tergugat TUN, atas pembatalan daftar calon pilkada oleh KPU. Dengan kehadiran SEMA No. 7 Tahun 2010, tampak belum menyelesaikan masalah hasil pemilihan umum, karena Pasal 55 UU PTUN memberikan batas pengajuan gugatan sengketa TUN adalah 90 hari sejak keputusan tersebut dikeluarkan oleh pejabat TUN.
Dalam hal ini, yang dipermasalahkan, boleh saja telah selesai semua penghitungan suara dan calon sudah terpilih, ternyata masih tersisa waktu bagi orang yang dibatalkan sebagai bakal calon oleh KPUD, untuk mengajukan gugatan, padahal calon sudah siap dilantik. Tawaran penulis untuk merancang aturan lex specialis dengan memberi batasan pengajuan gugatan hanya dalam waktu tujuh hari, penting untuk dirumuskan dalam rancangan UU MD3 ke depan.
Terlepas dari pengalaman panjang penulis telah menghasilkan karya pemikiran dalam skala politik maupun hukum. Kelak kalau buku ini mengalami revisi. Masih perlu diedit. Oleh Karena terkesan buku ini dipaksa cepat terbit. Seolah-olah penulis sudah tak sabar melihat karya panjang dari pengalamannya, sekian tahun dari berbagai daerah.
Janganlah karena buku yang sudah berkualitas ! kemudian minat kita hilang untuk membacanya, hanya karena beberapa kata dan kalimat yang salah tulis. Demikian halnya dengan kalimat di setiap akhir bab “mungkin itu”. Bagi saya, pembaca seakan-akan dibuat tidak percaya dengan beberapa riset dari sekian tahun perjalanan politik beliau, yang akhirnya memilih karir hukum sebagai seorang Hakim TUN.
Selalu kita dipaksa untuk mengira-ngira, benar tidaknya tulisan beliau dengan kata-kata “mungkin itu”. Entah saya sebagai pembaca yang risih dengan kata-kata itu, pastinya kata “mungkin”, seakan-akan kita di bawah pada ranah ketidakpastian (uncertainty).
Akhirnya, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku sdr. Irvan Mawardi. Sekian banyak orang yang pernah menjalani kondisi dan dinamika politik di negari ini, larut dan resah dengan beberapa carut marut di dunia politik, andalah adalah orang yang berhasil menuliskan keresahan politik itu.
Makassar, 8 Desember 2011
Oligarki yang dimaksud bagi Irvan, ditunjukan dengan beberapa pengalaman atas riset beliau diberbagai daerah, seperti Aceh, Maluku dan Kalimantan, bahkan sempat berjalan-jalan ke Nepal. Sebuah perjalanan panjang yang patut diapresiasi, Ia tidak membiarkan semua masalah politik dan hukum melintas begitu saja di pikirannya.
Ia telah berhasil menuliskan karut-marut pemilu 2009, kegagalan beberapa Partai Politik meraih suara terbanyak seperti: PKS dan Golkar, jauh berbeda dengan pemilu di era tahun 2004. Partai demokrat yang menang, semata-mata karena figur dan kharismatik SBY. Bukan karena platform dan ideology yang mumpuni, untuk dipercaya oleh rakyat, sehingga SBY akhirnya mendapat sokongan suara terbanyak dalam Pemilu 2009.
Kejujuran Irvan menuliskan Bagaimana demokrasi kemudian dimanipulasi dengan praktik kecurangan dalam mekanisme penjaringan suara di hari H pemilu, maka saya sepakat-sepakat saja, kalau beliau menuliskan pemilu selalu berada dalam cengkeraman “oligarki”, sebagai judul bukunya.
Ada praktik money politic yang ditunjukkan, bahwa sampai sekarang dan berapa kali kita melakukan pemilihan umum, baik itu pemilihan legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, maupun pemilihan kepala daerah, tidak ada yang terlepas dari praktik money politic. Bagian tulisan di bab tersebut (lih: hal 99) menyadarkan pembaca, bahwa nyatanya banyak pelanggaran dalam Pemilukada, lalu dibiarkan saja pelanggaran serta kecurangan dalam memenangkan Pemilihan Kepala Daerah. Seolah money politic boleh dan wajar saja, tidak melanggar hukum. Padahal nyata-nyata ditegaskan dalam Pasal 84 ayat 1 huruf j UU No. 10 Tahun 2008 Ju. Pasal 117 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004 sebagai salah satu bentuk pelanggaran tindak pidana pemilu. Artinya, kalau dibiarkan money politic, berjalan-jalan dan aman-aman saja, untuk menjadi perwakilan politik (political representative), hanya orang-orang yang berduit/ berkantong tebal dapat menjadi anggota legislatif, sekali lagi menunjukan bahwa Pemilu diselenggarakan di setiap episod, tidak lain dalam rangka mempertahankan para kaum elit yang telah memilki asset ratusan juta rupiah. Mereka adalah kaum-kaum oligarki yang bermain dan memakai “topeng demokrasi”, untuk meyebarkan kebodohan perpolitikan di jagad Indonesia.
Erat kaitannya dengan judul tulisan ini, ada terminology “refleksi pemikiran politik dan hukum” saya memandang buku yang ditulis oleh Irvan. Dibagian awal ketika membaca tulisan beliau, seakan tulisan ini menggunakan sudut dan pendekatan politik dari berbagai macam perspektif, seperti PKS yang mulai ditinggalkan, oleh karena terlalu percaya dengan basis massanya, apalagi PKS mengangkat salah satu ikon Soeharto sebagai guru bangsa.
Demikian halnya Golkar yang ditinggalkan oleh massa pendukungnya, setelah Partai Golkar terlalu ke PD- an sebagai partai penguasa. Lalu mengapa, banyak pemilih yang berbalik dan percaya ke SBY melalui Partai Demokrat, beliau menegaskan karena figur SBY, yang terlanjur dipercaya, mampu mengembalikan kepercayaan publik, dengan penundaan kenaikan BBM di detik-detik hari H menjelang Pemilihan umum tahun 2009.
Diakhir bab, sekitar tiga sampai empat bab, penulis baru benar-benar menawarkan solusi atas permasalahan hukum menyangkut “Pemilu” dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa di PTUN, dengan menempatkan KPU sebagai tergugat TUN, atas pembatalan daftar calon pilkada oleh KPU. Dengan kehadiran SEMA No. 7 Tahun 2010, tampak belum menyelesaikan masalah hasil pemilihan umum, karena Pasal 55 UU PTUN memberikan batas pengajuan gugatan sengketa TUN adalah 90 hari sejak keputusan tersebut dikeluarkan oleh pejabat TUN.
Dalam hal ini, yang dipermasalahkan, boleh saja telah selesai semua penghitungan suara dan calon sudah terpilih, ternyata masih tersisa waktu bagi orang yang dibatalkan sebagai bakal calon oleh KPUD, untuk mengajukan gugatan, padahal calon sudah siap dilantik. Tawaran penulis untuk merancang aturan lex specialis dengan memberi batasan pengajuan gugatan hanya dalam waktu tujuh hari, penting untuk dirumuskan dalam rancangan UU MD3 ke depan.
Terlepas dari pengalaman panjang penulis telah menghasilkan karya pemikiran dalam skala politik maupun hukum. Kelak kalau buku ini mengalami revisi. Masih perlu diedit. Oleh Karena terkesan buku ini dipaksa cepat terbit. Seolah-olah penulis sudah tak sabar melihat karya panjang dari pengalamannya, sekian tahun dari berbagai daerah.
Janganlah karena buku yang sudah berkualitas ! kemudian minat kita hilang untuk membacanya, hanya karena beberapa kata dan kalimat yang salah tulis. Demikian halnya dengan kalimat di setiap akhir bab “mungkin itu”. Bagi saya, pembaca seakan-akan dibuat tidak percaya dengan beberapa riset dari sekian tahun perjalanan politik beliau, yang akhirnya memilih karir hukum sebagai seorang Hakim TUN.
Selalu kita dipaksa untuk mengira-ngira, benar tidaknya tulisan beliau dengan kata-kata “mungkin itu”. Entah saya sebagai pembaca yang risih dengan kata-kata itu, pastinya kata “mungkin”, seakan-akan kita di bawah pada ranah ketidakpastian (uncertainty).
Akhirnya, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku sdr. Irvan Mawardi. Sekian banyak orang yang pernah menjalani kondisi dan dinamika politik di negari ini, larut dan resah dengan beberapa carut marut di dunia politik, andalah adalah orang yang berhasil menuliskan keresahan politik itu.
Makassar, 8 Desember 2011
Responses
0 Respones to "Catatan Kritis Pemikiran Irvan Mawardi “Pemilu dalam Cengkeraman Oligarki”"
Posting Komentar