Dalam hukum pidana hanya dikenal sanksi pidana berupa sanski pidana pokok dan sanksi pidana tambahan (Pasal 10 KUHP). Namun jika dirunut dalam perkembangan sejarah hukum pidana, alasan pemidanaan dan teori-teori pemidanaan, maka sanksi pidana bukan hanya merupakan satu-satunya sanksi dalam hukum pidana, karena juga dikenal sanksi pidana dalam bentuk sanksi tindakan yang kemudian disebut dengan sistem double track system.
Key word: pemidanaan, sanski tindakan, dan double track system
PENDAHULUAN
Dalam HUKUM PIDANA, atau dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, istilah yang lazim ditemukan dengan hukum pidana materil (hukum substansi) adalah sanksi pidana. Baru kemudian dengan mengkaji masalah kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak-anak, dikenal sanksi yang disebut dengan sanksi tindakan. Artinya dalam hukum pidana bukan hanya ada sanksi pidana berupa pidana mati, penjara, kurungan dan denda sebagai pidana pokok (lih: Pasal 10 KUHP). Hal yang seperti inilah, menjadi pokok kajian dari HUKUM PENITENSIER.
Dalam pembahasan hukum penitensir juga dikaji beberapa alasan sehingga hukum pidana memiliki sanksi. Tujuan dari pada sanksi pidana itu. Lembaga pemidanaan dan pertanggungajawaban pidana (ability to responsibility) yang dilakukan oleh dader atau pelaku tindak pidana.
Dalam arti yang sederhana hukum penitensir merupakan bagaian dari pada hukum pidana positif, yaitu yang menentukan jenis sanksi pidana atas pelanggaran, beratnya sanksi itu, lamanya sanksi itu dirasai oleh pelanggar dan cara serta tempat sanski itu dilaksanakan. Sanksi itu berupa hukuman maupun berupa suatu tindakan yang merupakan suatu sistem. Lebih jelasnya berikut ini dikemukanan pengertian hukum penitensir dari beberapa penulis hukum pidana sebagai berikut:
1. Segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (straf stelsel) dan sistem tindakan/ maatregel stelsel (Utrecht)
2. Suatu keseluruhan dari norma-norma yang mengatur masalah pidana dan pemidanaan (Lamintang).
3. Bagaian dari hukum yang mengatur atau memberi aturan tentang stelsel sanksi dalam hukum pidana yang meliputi pidana (straft) dan tindakan (matregel), (Djoko Prakoso).
4. Hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja, dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan (Van Bemmelen).
5. Hukum Penitensier atau hukum pelaksanaan pidana adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum.
Lebih lengkapnya Utrecht juga mengemukakan hukum panitensier ini merupakan sebagian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan; Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana); beratnya sanksi itu; lamanya sanksi itu dijalani; cara sanksi itu dijalankan; dan tempat sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier. Sanksi pidana dan tindakan (maatregel) termasuk dalam hukum pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menyebutkan istilah sanksi tindakan, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 10 KUHP. Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat yang makin kompleks juga diiringi dengan perkembangan hukum pidana yang begitu cepat.
Hukum pidana bukan hanya diatur dalam KUHP (kodifikasi) melainkan juga telah diatur di luar kodifikasi KUHP. Sehingga untuk tindak pidana yang diatur di luar KUHP dengan menggunakan asas lex specialis, maka dalam hal menjerat pelaku kejahatan juga dengan menggunakan ketentuan pidana di luar KUHP (hukum pidana yang berkenaan dengan anak sebagai pelaku kejahatan dan Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Di mana untuk tindak pidana yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan anak sebagai pelaku tindak pidana telah menerapkan bukan hanya sanksi pidana akan tetapi juga sanksi tindakan (maatregel).
Untuk mengetahui kegunaan dari mempelajari HUKUM PENITENSIER, maka terlebih dahulu yang akan menjadi acuan adalah Sejarah Pemidanaan, Pidana dan Teori Pemidanaan, Perkembangan Double Track System (sanksi pidana dan tindakan) dalam hukum pidana. sehingga faedah dari mempelajari HUKUM PENITENSIR dapat ditarik sebagai kesimpulan dalam penutup tulisan ini.
PEMBAHASAN
1. Sejarah Pemidanaan
Sistem pemidanaan telah ada di dunia sudah cukup lama. Sejarah pemidaanan yang dulu, pernah diterapkan kepada pelaku kejahatan memiliki jenis- jenis sanksi pidana dan tata cara untuk pelaksanaan yang dapat dilihat berdasarlan lintasan history dari abad-ke abad
Pertama, Pidana membuang/ menyingkirkan/ melumpuhkan (Abad ke-19), bentuk pidana menyingkirkan/melumpuhkan dimaksudkan agar penjahat itu tidak lagi mengganggu masyarakat, penyingkiran dilakukan dengan beberapa cara misalnya membuang atau mengirim penjahat itu keseberang lautan. Dalam hal ini juga berlaku dalam adat minangkabau, sanksi pidana ada dalam bentuk menyingkirkan yaitu membuang sepanjang adat. Din Indonesia terutama pada zaman hindia belanda dulu pidana pembuangan ini banyak juga dilakukan terhadap orang – orang politik.
Kedua, Sistem pemidanaan kerja paksa (Abad ke-17), misalnya kerja paksa mendayung sampan, cara-cara kerja paksa itu lama kelamaan menjadi hilang setelah kapal meningggalkan layar. Di Hindia Belanda kerja paksa sebagai bentuk pidana pernah juga dilakukan terutama dalam pembuatan jalan raya dan membuat lubang. Walaupun pidana penjara yang dikenal sejak berabad-abad sebagai “Bui” bagi lawan-lawan politik penguasa namun baru menjadi sesuatu yang bersifat umum sebagai pengganti pidana mati, pembuangan dan pengasingan.
Ketiga, Pidana mati (Abad ke-16), cara-cara pelaksanaan pidana mati pada abad 16. ini adalah dibakar atau dibelah dengan ditarik kereta kearah yang berlawanan, dikubur hidup-hidup, digoreng dengan minyak, ditenggelamkan dilaut atau dijantungnya dicopot serta dirajam sampai mati. Lama kelamaan tata cara pemidanaan mati itu dilakukan dengan memberikan perhatian terhadap perkemanusiaan sehingga akhirnya pemidanaan mati digantikan dengan cara dipancung,, penggantungan ditiang gantungan, dan ditembak mati.
Demikian halnya yang dikemukakan Soesilo, jenis-jenis pemidanaan yang yang diklasifikasi berdasarkan konteks sejara hukum pemidanaan di indonesia antara lain: dibakar hidup terikat pada satu tiang, dimatikan dengan menggunakan suatu keris, dibakar, dipuku, dipukul dengan rante, ditahan dalam penjara, kerja paksa dalam pekerjaan-pekerjaan umum.
1.1. Sifat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Dewasa ini para perencana mengalami kesulitan untuk merencanakan Suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang bersifat nasional karena ada ikut campurnya Belgia yang berkepentingan agar KUHP yang akan diberlakukan di negeri Belanda itu jangan sampai mirip dengan Crimmineel Wetboek yang pernah dimiliki oleh negara Belanda tahun 1809 dan jangan sampai pula mengikuti Code Penal yang pernah berlaku di negeri Belanda oleh pihak Perancis sejak tahun 1811 yaitu sejak kerajaan Holland distukan dengan negara Perancis.
Rencana Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dibuat pada Tahun 1815 akhirnya tidak berhasil menjadi satu Undang-undang karena adanya keberatan dari pihak Belgia dengan alasan bahwa rancangan undang-undang tersebut telah dibuat berdasarkan Crimineel Wetbboek Voor Het Koninkrijk Holand Tahun 1809.
Kemudian Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang telah dibuat pada Tahun 1827 kembali telah tidak berhasil menjadi satu Undang-undang karena daya keberatan dari pihak Belgia dengan alasan bahwa rancangan undang-undang tersebut telah dibuat berdasarkan Code Penal Perancis hingga pada akhirnya suatu rencana undang-undang hukum pidana yang baru telah berhasilmejadi suatu undang-undang yang melahirkan KUHP yang dewas ini berlaku di indonesia.
Pada waktu harus memilih jenis-jenis pidana yang dicantumkan di dalam KUHP yang baru, pembentuk KUHP telah melakukanpembatasan-pembatasan sejauh yang ia dapat lakukan dengan memilihsustu susunan pidana yang dianggap sebagai mempunyai sifat yang sederhana hingga mendatangkan beberapa keuntungan.
Mengenai kesederhanaan dasri sebuah pidana-pidana yang telah dipilih oleh pembentuk undang-undang itu. Di dalam memmorie van toelichting, dikemukakan kesederhanaan seperti itu dengan sendirinya membawa keuntungan-keuntungan yang sangat besar. Karena makin sedikit pidana-pidana yang ada akan semakin mudah orang membuat perbandingan mengenai pifana-pidana tersebut. Dan tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu orang tidak akan dapat menjatuhkan pifdana secara tepat sesuai dengan berat ringannya kejahatan.
Demikian halnya van Bammelen mengemukakan kesederhanaan yang menjadi acuan dalam kodifikasi KUHP tersebut, makin sedkiti pidana-pidana yang ada akan makin mudah bagi orang-orang untuk mebuat perbandingan antara pidana-pidana tersebut, dan demikian dikatakan di dalam memmorie van toelichting, tanpa dapat membuat perbandingan seperti itu, adalah tyidak mungkin bagi orang untuk menjatuhkan pidana secara tepat sesuai dengan berat ringannya kejahatan-kejahatan yang dilakukan, akan tetapi perlu juga diingat bahwa pembentuk undang-undang telah tidak memperhitungkan sama sekali mengenai adanya penyebab-penyebab baik yang terdapat di dalam masyarakat mapupun yang terdapat di dalam diri orangnya itu sendiri yang dapat menimbulkan kejahatan-kejahatan yang berbeda-beda.
Dengan demikian, KUHP yang masih berlaku sekarang ini. Walaupun telah dilakukan rancangan terhadap KUHP nasional itu. Setidaknya dapat diintrodusir beberapa jenis pidana sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 10 KUHP yakni
Pertama, pidana Pokok: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda.
Kedua, Pidana Tambahan: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
Dari uraian tersebut. Berdasarkan pembagian jenis pemidanaan dalam KUHP, maka dapat dikemukakan beberapa perbedaan antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Pertama, pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (pidana tambahan ini ditmabhakan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
Kedua, pidana tmbahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halanya pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (bisa dijatuhkan maupun tidak). Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP dimana sifatnya menjadi keharusan.
Ketiga, Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.
2. Pidana dan Teori Pemidanaan
2.1. Pidana Dan Pemidanaan
Terminologi pidana sebagai kata yang berdiri sendiri sebenarnya kelihatan dan kedengaran janggal dalam penyebutannya. Oleh karena lebih sering dilekatkan dengan istilah hukum pidana (criminal law). Untuk membedakannya dengan hukum perdata (private law). Hal ini jika menilik kembali pembagian/ klasifikasi hukum dalam dua arti yakni hukum privat dan hukum publik. Maka dalam suatu negara klasifikasi inilah yang kelihatan menonjol.
Pidana atau hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Apabila yang dilanggar norma hukum disiplin. Ganjarannya adalah hukum disiplin. Apabila pelanggarannya adalah masalah pidana maka ganjarannya adalah hukuman pidana. Kalau ditilik dalam arti kamus pidana teridentifikasi sebagai bentuk derita, nestapa, pendidikan, dan penyeimbangan.
Hal ini jika dipandang dari sudut penterjemahan wetbooek van strafrecht, jika straf diterjemahkan dengan hukuman pidana dan recht dengan hukum, maka WvS harus diterjemahkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Hal yang berbeda sebagaimana yang ditegaskan Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak, justru persoalan penghukuman (prosecute) diartikan juga sebagai tindakan. Pada dasarnya, pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa penderitaan. Perbedaannya hanyalah, pada tindakan lebih kecil atau ringan dari pada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana.
Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukuman pidana (dasar filsufis pemidanaan) adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum bagi yang dilindungi.
Dari berbagai permasalahan istilah tersebut, kesimpulannya adalah istilah pidana kelihatan hanya untuk menghemat atau mempersingkat hukum pidana dengan satu kata saja yakni pidana. Namun jarang juga digunakan istilah hukuman, karena menghindari kekacauan dengan istilah recht yang telah diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai hukum.
Hal ini bersesuaian dengan beberapa pendapat dari berbagai pakar hukum pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Lamintang (1985: 47) diantaranya:
1. Van Hammel arti dari pidana itu atau straf menurut hukum positif dewasa ini adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwewenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban umum dari seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
2. Simons mengemukakan bahwa pidana adalah suatu penderitaan yang oleh Undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim yang telah dijatuhkan bagi seseorang yang telah bersalah.
3. Algranjassen mengemukakan pidana sebagai alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia tidak melakukan suatu tindak pidana.
Dari ketiga rumusan mengenai pidana diatas, dapat diketahui bahwa pidana itu hanya merupakan suatu alat belaka. Jadi pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai suatu tujuan. Pemikiran yang ditimbulkan oleh para penulis Belanda secara harfiah menerjemahkan kata doel der straf dengan maksud tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud doel der straf sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.
Sedangkan dalam kamus hukum, pidana adalah hukuman, hal ini ada hubungannya dengan Pasal 5 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yaitu:
1. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang ada diluar Indonesia melakukan:
a. Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal 160, Pasal 161, Pasal 240, Pasal 279, Pasal 450, dan Pasal 451.
b. Salah satu perundangan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan undang-undang negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
2. Penuntutan perkara sebagaimana yang dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi Warga Negara Indonesia sesudah melakukan perbuatan.
Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara normal, bukan terutama karena terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi terpidana, korban, dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga teori konsekuensialisme.
Pemidanaan dapat diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana Hal ini dapat dilihat dalam pendapat Sudarto (1989: 34), “Kata pemidanaan itu adalah sinonim dengan kata penghukuman.” Tentang hal berikut maka beliau mengemukakan bahwa penghukuman berasal dari kata hukum sehingga dapat diartikan sebagai penetapan hukum atau memutuskan tentang hukumannya.”
Selanjutnya Sudarto (1989: 34), mendeskripsikan bahwa hukum pidana memiliki ciri khas yakni:
1. Merupakan sistem sanksi yang negatif. Ia diterapkan jika sarana atau upaya lain sudah tidak memadai.
2. Menggambarkan bahwa pemidanaan merupakan sistem sanksi yang negatif yang dalam beberapa penjelasan sebelumnya disebut penderitaan khusus. Beliau juga sepakat bahwa pemidanaan hanya merupakan alat atau upaya belaka.
3. Pemidanaan tersebut hanya merupakan upaya alternatif.
4. Dengan mengutip teori/ pendapat filsuf Plato dan Aristoteles bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena seseorang telah berbuat jahat, tetapi agar pelaku kejahatan tidak berbuat jahat lagi dan orang lain takut melakukan kejahatan yang serupa. Dari pernyataan ini, terlihat pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan dan juga sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan yang sama.
Pemidanaan dapat benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan menurut Sudarto (1989: 37) sebagai berikut:
1. Pemberian pidana oleh pembuat Undang-undang.
2. Pemberian pidana oleh badan yang berwewenang.
3. Pemberian pidana oleh instansi pelaksana yang berwewenang.
2.2. Teori Pemidanaan
Dalam berbagai literatur hukum pidana dalam arti hukum pidana formil. Atau dengan kata lain tujuan sekaligus esensi dari sanksi dalam hukum pidana terhadap pelaku kejahatan terbagai dalam tiga golongan besar. Pembagian tersebut tidak terlepas dari kepentingan yang melatari kondisi di mana hukum itu lahir sebagai jiwa suatu bangsa (volkgeist for the nation). Alasan pemidanaan dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan, golongan teori gabungan.
a. Teori pembalasan
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahkan pertimbangan untuk pemidanaan hanyalah untuk masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Masa mendatang yang bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus dipidana. Ibarat pepatah mengatakan darah bersabung darah, nyawa bersabung nyawa. Menurut Sianturi (1986: 59) teori pembalasan terbagi lima yaitu:
1) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica (moral philosophie), teori ini dikemukakan oleh Immanuel kant yang mengemukakan bahwa pemidanaan adalah tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat.
2) Pembalasan bersambut (dialektis), teori ini dikemukakan oleh hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan.
3) Pembalasan demi keindahan dan kepuasan (aesthetisch), teori ini dikemukakan oleh Herbart, yang mengatakan bahwa merupakan tuntutan mutlak dari perasaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan kembali.
4) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama), teori ini dikemukakan oleh Gewin, Stahl, dan Thomas Aquinas yang mengemukakan bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap prikeadilan Tuhan dan harus ditiadakan.
5) Pembalasan sebagai kehendak manusia, teori ini dikemukan oleh Rousseau, Hugo De Groot, dan Beccaria, yang mengatakan bahwa tuntuan alam, siapa saja yang melakukan kejahatan dia akan menerima sesuatu yang jahat.
Jelas kiranya, baik dari empat teori tersebut duluan, yang pada umumnya dikemukakan oleh para sarjana di Jerman, maupun dari teori yang terakhir. Pada pokoknya mengutarakan beberapa dasar pemidanaan yang merupakan tuntutan mutlak, dan yang dalam perwujudannya merupakan pembalasan terhadap penjahat (punitur quia peccatum est).
b. Teori Tujuan (Teori relatif, Teori perbaikan)
Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan (rechtsvaardigen) pemidanaan berdasarkan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terhadap kejahatan (ne peccetur). Perbedaan dari beberapa teori yang termasuk teori tujuan, terletak padanya untuk mencapai tujuan dan penilaian terhadap kegunaan pidana. Diancamkannya suatu pidana dan dijatuhkannnya suatu pidana, dimaksudkan untuk menakuti-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan, untuk memperbaiki penjahat, untuk menyingkirkan penjahat atau prevensi umum.
Berbeda dengan teori pembalasan, maka teori tujuan mempersoalkan akibat-akibat dari pemidanaan kepada penjahat atau kepentingan masyarkat. Dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Dipandang dari tujuan pemidanaan, maka teori ini menurut Sianturi (1986: 61) dapat dibagi sebagai berikut:
1) Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti calon penjahat (Paul Anselm Van Feurbach).
2) Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat (verbeterings theorie), kepada penjahat diberikan pendidikan berupa pidana, agar ia kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna (Grolman, Van Krause, dan Roder).
3) Menyingkirkan penjahat dari lingkungan/ pergaulan masyarakat (onschadelijk maken). Caranya ialah kepada penjahat yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usaha menakut-nakuti (afschrikking), supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan pidana mati (Ferri, Gorofalo).
4) Menjamin ketertiban hukum (rechtsorde), caranya ialah mengadakan norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma tersebut, negara menjatuhkan pidana. Ancaman pidana akan bekerja sebagai peringatan (waarschuwing) dan mempertakutkan (Frans Von Lits, Van Hammel, Simmon).
Senada dengan Chazawi (2002: 161) juga mengemukakan teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat.
Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu, pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu diadakan.
c. Teori gabungan
Kemudian timbul golongan ketiga yang mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan, yang disebut sebagai teori gabungan. Dikatakan bahwa teori pembalasan dan teori relatif masing-masing memiliki kelemahan. Menurut Sianturi (1986: 62) mengemukakan masing-masing kelemahan teori tersebut, kelemahan teori absolut:
a. Sukar menentukan berat ringannya pidana, atau ukuran pembalasan tidak jelas.
b. Diragukan adanya hak negara untuk mejatuhkan pidana sebagai pembalasan.
c. Hukuman/ pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat
Disamping itu, Kelemahan teori tujuan pada dasarnya juga memilki kelemahan diantaranya:
a. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, sehingga dijatuhkan pidana yang berat bagi baik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus.
b. Jika ternyata kejahatan itu yang ringan, maka penjatuhan pidana yang berat, tidak akan memenuhi rasa ketidakadilan.
c. Bukan hanya masyarakat yang harus diberikan kepuasan, tetapi juga kepada pejabat itu sendiri.
Oleh karena itu tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan) tetapi juga harus bersamaan mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksud pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri, disamping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang dilakukan.
3. Double Track System (Sanksi Pidana dan Tindakan)
Sebagagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam hukum pidana yakni penerapan sanksi pidana. Tidak hanya dikenal sanksi dalam bentuk pemidanaan tapi juga terbagi dalam bentuk sanksi tindakan.
Dalam perkembangan sanksi pidana, tampak bahwa sanksi di dalam hukum pidana semain dihumanisasikan dan sedapat mungkin diterapkan, sehingga bermanfaat dalam rangka usaha resosialisasi dari pelaku tindak pidana. Sementara pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan semakin tidak populer dan ketinggalan zaman, jenis sanksi berupa tindakan serta rehabilitasi narapidana semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi. Bahkan terdapat pembaharau-pembaharu yang bersifat radikal yang ingin mengadakan perombakan hukum pidana secara total yakni dengan menggantikannya dengan sistem tindakan. Terhadap pandangan yang radikal tersebut Johannes Andenaes (1974: 157-158) mengemukana beberapa sanggahan dengan alasan sebagai berikut:
a) Di dalam masyarakat modern terdapat perkembangan bentuk kejahatan yang berbeda dengan kejahatan-kejahatan terdisional. Kelompok pertama adalam tindak-tindak pidana lalu lintas dan kelompok yang lain adalah kejahatankejahatan yang menyangkut kesejahteraan umum yang terdiri dari pelanggaran-pelenggaran terhadap peraturan-peraturan ekonomi. Terhadap tindak pidana semacam ini tidak mungkin diterapkan sistem tindak pidana perseorangan.
b) Terdapat jenis-jenis tindak pidana yang berat yang memerlukan pidana yang sangat berat denagn tujuan pencegahan umum, misalnya espionage, pembunuhan, perdagangan narkotik, pembajakan udara dan penculikan anak.
c) Sistem tindakan tersebut kemungkinan hanya bisa diterapkan terhadap jenis-jenis tindak pidana tradisional biasa, terutama kejahatan-kejahatan terhadap harta benda, kejahatn kerjahatan seksual dan kejahatan-kejahatan kekerasan. Tetapi sekalipun demikian di dalam kejahatan-kejahatn tersebut timbul kesulitan yang sangat besar untuk menerapkan tindakan itu di dalam praktik.
Menurut Johannes Andenaes pandangan tersebut dipengaruhi oleh perkiraan yang meremehkan fungsi pencegahan umum hukum pidana dan bahkan lebih penting lagi perkiraan yang terlalu tinggi atas kemampuan serta di dalam membina dan memperkirakan perilaku kriminal. Beda halnya dengan pendapat fillipo Gramatica mengemukakan, hukum perlindungan masyarakat harus menggantikan hukum pidana dalam tertib sosial dan tidak menjauhkan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Terhadap kedua pendapat tersebut Van Bemellen mengemukakan bahwa mereka yang hanya melakukan kejahatan ringan akan sangat dirugikan dalam kebebasan mereka apabila mereka diserahkan kepada perawatan sosial. Denda hal ini akan lebih menguntungkannnya.
Sehubungan dengan ini Marc Ancel (1966: 79) mengemukakan bahwa di Benua Eropa kurun waktu antara 1939 merupakan saat kompromi antara aliran klasik dan aliran positif yang ditandai dengan pengakuan legislatif di berbagai negara terhadap tindakan-tindakan preventif, sistem dualis, individualisasi pembinaaan narapidana, dan pemberian hak kepada pengadilan untuk melaksanakan kebijaksanaan yang luas.
Indonesia yang KUIHP-nya merupakan turunan WvS Belanda 1886 sejak semula menerapkan sistem dua jalur (double track system) dalam pengaturan sanksi. Sistem ini mungkin akan dipertahankan dalam pembahrauan hukum pidana nasional indonesia. Menurut Muladi (1992: 27) hal ini dapat disimpulkan dari adanya tindakan yang lebih diperinci, disamping pidana di dalam konsep rancangan KUHP baru tahun 1982/ 1983 yang disusun oleh badan pembina hukum nasional. Pengaturan mengenai tindakan tersebut diatur dalam pasal 3.05.02 usul rancangan KUHP buku II 1982/ 1983 yang menyatakan sebagai berikut:
1. Tindakan yang dengan keputusan hakim dapat dijatuhkan kepada mereka yang memenuhi ketentuan dalam pasal yang memuat ketidakmampuan atau kekurangan kemampuan beratnggung jawab adalah perawatn di rumah sakit jiwa, dan penyerahan kepada pemerintah.
2. Tindakan yang dengan putusan hakim dapat dijatuhkan bersana-sama dengan pidana adalah pencabutan surat izin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan perbaikan akibat-akibat tindak pidana.
Jenis-jenis tindakan yang kedua tersebut masih akan ditambahkan dengan jenis-jenis yang bersifat latihan kerja, rehabilitasi, dan pengawasan dari suatu lembaga.
KUHP yang menganut double track system. Sistem sanksi yang terdiri atas dua macam yakni pidana dan tindakan, masih ditmabha dengan lembaga kebijkaksanaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Lamintang, sebagai berikut:
a) Lembaga pengembalian terdakwa kepada orang tuanya atau kepada walinya seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal 45 KUHP.
b) Lembaga pembebasan bersyarat seperti yang dimaksud di dalam ketentuan pasal 15 KUHP yang pengaturan lebih lanjut terdapat dalam ordonansi tanggal 27 desember 1917 STB. 1917 No. 740 yang juga dikenal sebagai ordonanntie op de voorwaardelijke invrijheid stelling atau peraturan mengenai pembebasan bersayarat.
c) Lembaga izin bagi terpidana untuk hidup secara bebas di luar lemabaga pemasyarakatan setelah jam kerja seperti dimaksud di dalam ketententuan paal 20 ayat 1 KUHP.
d) Lembaga mengusahakan perbaikan nasib sendiri bagi orang-orang yang dijatuhi pidana kurungan sebagaimana yang dimaksud di dalam ketentuan pasal 23 KUHP dan kemudian telah diatur lebih lanjut di dalam ketentuan pasal 94 ayat 1 samapi ayat 4 ordonansi 10 Desember 1917, STB. 1917 No. 708.
Perkembangan hukum pidana di Indonesia dalam hal penerapan sistem pemidanaan dua jalur (sanksi pidana dan tindakan) telah bayak diterapkan dalam untuk tindak pidana diluar kodifikasi KUHP. Penerapan sanksi pidana dan tindakan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana (Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak).
Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Bab III Pidana dan Tindakan Pasal 22, menegaskan Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini. Mengenai tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal (juvenile deliquency) terbagi atas; mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; dan menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
Olehnya itu dalam sistem peradilan anak, maka dikenal beberapa asas yang mengikat bagi kepolisian, kejaksaan maupun hakin dalam pengadilan untuk menerapkan asas-asas hukum pidana yang merupakan realisasi dari pelaksanaan sanksi dalam kategori tindakan. Asas-asas pengadilan anak itu terdiri atas; adanya pembatasan umur anak, peradialn anak sebagai kompetensi dari peradilan umum, pengadilan anak memeriksa anak dalamm suasana kekeluargaan, pengadilan anak mengahruskan adanya splitsing perkara, penjatuhan pidana yang lebih ringan dari pada orang dewasa, diperlukan kehadiran orang tua, wali, atau orang tua asuh serta diakuinya pembimbing kemasyarakatan, adanya kehadiran penasihat hukum, dan penahanan anak lebih singkat dari pada orang dewasa.
PENUTUP
Eksisitensi hukum penitensir menjadi penting, untuk mengenal sanksi pidana bukan hanya sebagaimana yang dikenal dalam sanksi pidana pokok dan tambahan, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 10 KUHP. Tetapi juga dikenal sanksi tindakan yang terdapat dalam delik-delik diluar KUHP, seperti tindak pidana lingkungan dan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Semua kembali, pada bagaimana kompetensi pertanggungjawaban pidana bagi pelaku tindak pidana. Dengan berdasarkan juga pada alasan pemidanaan. Apakah bermaksud sebagai efek jera ? dengan motif balas dendam atas kejahatan yang dilakukan sebagaimanan yang dianut oleh teori pemidanaan klasik (absolut), ataukah mengembalikan pada keadaan semula (teori relatif). Sehingga sanksi dalam hukum pidana bukan hanya seperti pidana mati, penjara, kurungan atau pidana denda. Dengan teori gabungan sebagai alasan pemidanaan, maka sanksi tindakan demikian penting sebagai langkah dalam pembaharuan hukum pidana nasional.
Secara singkat yang dapat ditarik mengenai kegunaan dari HUKUM PENITENSIR berdasarkan lintasan sejarah hukum pemidanaan dan awal munculnya sanksi tindakan, maka faedah mempelajari hukum penitensir yakni;
Pertama, untuk mengetahui bahwa dari tahun ketahuan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan semakin diperhalus (lebih manusiawi). Kedua, Pada hakekatnya pidana merupakan suatu kesengajaan untuk memberikan suatu penderitaan kepada pelaku tindak pidana, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan memberikan ketertiban kepada masyarakat. Ketiga, sedangkan mengenai tindakan yang baru dikenal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan tetapi telah diterapkan dalam jenis kejahatan-kejahatan di luar kodifikasi KUHP seperti dalam undang-undang pengadilan anak. Pada hakekatnya suatu unsur kesengajaan yang diberikan kepada pelaku tindak pidana yang tidak mengandung unsur penderitaan. Yang bertujuan untuk memperbaiki sikap pelaku kejahatan tersebut agar tidak melakukan tindak pidana untuk ke dua kalinya. Keempat, untuk memberikan pengetahuan yang lebih konkrit dan komprenshif kepada para mahasiswa hukum sehingga mereka dapat memahami masalah pidana dan pemidanaan tidak saja dalam konteks ius costitutum, melainkan juga dalam konteks ius constituendum.
Reference:
Chazawi. (2002). Pelajaran Hukum Pidana. (Jilid I, Jilid II, Jilid III). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Damang. (2011). http/www.www.Psyco-legal.blogspot.com
Effendy, Rusli. (1986). Asas-Asas Hukum Pidana. Ujung Pandang: Loppen UMI.
Hamzah, Andi. (1999). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Lamintang. (1985). Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
Moeljatno. (1985). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
Poernomo, Bambang. (1983). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara
Rahayu, Yusti Probowati. (2000). Dibalik Putusan Hakim (Suatu Kajian Psikologis). Sidoarjo: Citra Media
Sianturi. (1986). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Aheam.
Soesilo. (1996). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (serta komentar-komentar Pasal demi Pasal). Bogor: Politea.
Sudarto. (1989). Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty
Tolib Setiady. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensir Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Lamintang. 1984. Hukum Penitensir Indonesia. Bandung: Armico.
Responses
0 Respones to "KEGUNAAN HUKUM PENITENSIR"
Posting Komentar