Pendahuluan
Bencana teror yang melanda sekian hari, sekian pekan bangsa ini seolah telah meruntuhkan kekuatan negara sebagai medium pemersatu. Ada teror dalam bentuk bom buku yang mengancam tokoh JIL, Ulil Abzar Abdalah, pentolan grup band Dewa Ahmad Dhani. Kemudian tak lama setelah itu dalam sebuah mesjid, malah muncul sosok Papy Fernando melakukan aksi bom bunuh diri. Bibit-bibit teror seperti Fernando, Syahrir dianggap berasal dari kelompok atau gerakan NII, gerakan yang bersimbiosis “model baru” dari nama lama yang disebut DI/TII. Gerakan yang tidak percaya pada ideologi Pancasila. Tidak percaya pada sila Ketuhanan yang Maha Esa, sebagai ideologi yang benar. Ideologi negara harus, bahkan “mutlak” disandarkan pada ideologi “Islam.”
Paradigma radikal tersebut yang berhasrat mengganti ideologi negara disinyalir, sebagai ketidaktahuan, kedangkalan, dan keawaman menilai Pancasila sebagai dasar negara yang tak punya daya dan kekuatan untuk mengikat bangsa dalam multietnik, beragam, majemuk, heterogen dan masayarkat kultural. Padahal Pancasila adalah karya agung bangsa (masterpiece). Sebuah maha karya yang telah menjalani proses alur pikir panjang (common sense), tidak dipaksakan untuk mengikuti “jarum pendulum” pada ideologi liberalisme atau ideologi sosialisme.
Ketidakpercayaan pada Pancasila, membawa pada penyimpangan (deviasi) nilai-nilainya. Sebahagian disebabkan krisis legitimasi atas kekuasaan yang tak lagi memberi harapan keadilam. Demokrasi yang dimpikan sebagai salah satu prinsip negara hukum (rechstaat) berada dalam “ruang hampa.”
Negara dipegang oleh badan atau pejabat publik (pemerintah) lupa pada kesalahan diri sendiri. kesalahan dalam penyalahgunaan kewenangan. Entitas rakyat, kelompok LSM, atau gerakan yang mengancam kesatuan negara (subversif) memang juga nyata adanya. Namun harus diingat bahwa membangun masyarakat yang adil tidak semata adalah peran rakyat, pemerintahpun juga harus turut serta dalam menegakkan keadilan sebagaimana yang ditegaskan dalam sila kelima Pancasila.
Huntington mengemukakan tingkat partisipatif rakyat dalam memberikan kepercayaan untuk turut serta dan andil menyalurkan aspirasi dalam pemilihan umum sebagai realisasi tujuan politik pencapaian jabatan kekuasaan yang “legitimate” berbanding lurus dengan peran serta pejabat penguasa memberikan kesejahteran (welfare) pada rakyat. Oleh karena itu disamping mencari jalan, metode untuk merekonstruksi nilai-nilai Pancasila atas ideologinya, kerap salah diartikan, maka komunikasi partisipatoris seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas, demikan adanya menjadi wahana penting untuk menjamin nilai-nilai Pancasila agar tidak terjadi penyimpangan. Yang penting adalah memperbaiki kesadaran (counscience) dan kerangka pemahaman (verstehen) elemen negara (the element of state), rakyat untuk memahami penting tidaknya Pancasila dalam mengaktualisasikan nilai-nilainya. Dan juga mencari jalan untuk mengakrabkan peran pejabat pemerintah dan rakyat dalam instrumen hukum (legal instrument) dan demokrasi yang komunikatif.
A. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dari Sudut Pandang Internal dan Filsufis
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas dan identitas diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ? dan, unsur nilai Pancasila manakah yang mesti harus kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/ 1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah: Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu.Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat. Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR. Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas. Jika ditinjau dari segi pelaksanaan nilai yang dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu.
Ringkasnya bukan pada rumusan abstrak, dan bukan juga pada kebijaksanaan, strategi, rencana, program atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yang paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi dapat mempunyai rumusan yang amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar dan nilai instrumentalnya. Akan tetapi, jika pada nilai praksisnya rumusan tersebut tidak dapat diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya. Bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) mengemukakan, bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi adalah menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu jika konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu tidak akan ada masalah. Masalah baru timbul jika terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.
Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam praktik hidup berbangsa dan bernegara, maka perlu Pancasila formal yang abstrak-umum-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yang umum kolektif, dan bahkan menjadi Pancasila yang khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila menjadi sifat-sifat dari subjek kelompok dan individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku dalam lingkungan praksisnya dalam bidang kenegaraan, politik, dan pribadi.
Driyarkara (dalam Suwarno, 1993: 110- 111) mengemukakan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, dengan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) menjadi kategori imperatif (berupa norma-norma) dan kategori operatif (berupa praktik hidup). Proses tranformasi berjalan tanpa masalah apabila tidak terjadi deviasi atau penyimpangan, yang berupa pengurangan, penambahan,dan penggantian.
Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan dan ingin diwujudkan. Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah masalah yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: 2-3) mensinyalir, bahwa masih terdapat beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami dan menghayati negara Pancasila dalam berbagai seginya. Kiranya tidak tepat membuat “sakral” dan taboo berbagai konsep dan pengertian, seakan-akan sudah jelas betul dan pasti benar, tuntas dan sempurna, sehingga tidak boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu membuat berbagai konsep dan pengertian menjadi statik, kaku dan tidak berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin benar bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap dan abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual maupun operasional. Banyak hal harus ditinjau kembali dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu diubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses kemenjadian yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.
Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasalpasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).
Pembaharuan dan perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu akibat yang timbul dari dalam, melainkan bisa terjadi karena pengaruh dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) dalam aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata disebabkan kemampuan dari dalam (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu peristiwa yang terkait atau berrelasi dengan realitas yang lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada aktivitas di dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau
unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling jelas dari terjadinya perubahan transformatif dalam aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan MPR pada tahun 1999, 2000, 2001, dan tahun 2002.
Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hidup masyarakat yang begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup rapat dari pengaruh budaya asing. Demikian juga terhadap masalah ideologi. Dalam kaitan imi, Habib Mustopo (1992: 11 -12) mengemukakan, bahwa pergeseran dan perubahan nilai-nilai akan menimbulkan kebimbangan, terutama didukung oleh kenyataan masuknya arus budaya asing dengan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat dan luas. Kondisi ini di satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yang mengikat kepentingan nasional tidak luput dari pengaruhnya dan dapat menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia telah jauh mempengaruhi tata kehidupan manusia secara menyeluruh.
Dalam keadaan semacam ini, tidak mustahil tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan dengan tumbuhnya faham kebangsaan.Beberapa informasi dalam berbagai ragam bentuk dan isinya tidak dapat selalu diawasi atau dicegah begitu saja.Mengingkari dan tidak mau tahu tawaran atau pengaruh nilai-nilai asing merupakan kesesatan berpikir, yang seolaholah menganggap bahwa ada eksistens yang bisa berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian oleh Whitehead disebut sebagai the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika pengaruh itu tidak sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, atau tidak mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan sikap yang kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, ide-ide yang datang dari luar.
Dalam konteks budaya, masalah pertemuan kebudayaan bukan masalah memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi mengolah dan mengkreasi dalam interaksi dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik adalah sesuatu yang harus terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11).
Kalau ideologi-ideologi besar di dunia sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru dengan corak nilai, ajaran dan konsep kunci mengenai kehidupan yang memiliki perspektif baru.
Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi pengaruh budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi modern dan latar belakang filsafatnya yang berasal dari luar. Notonagoro telah menemukan cara untuk memanfaatkan pengaruh dari luar tersebut,yaitu secara eklektif mengambil ilmu pengetahuan dan ajaran kefilsafatan dari luar tersebut, tetapi dengan melepaskan diri dari sistem filsafat yang bersangkutan dan selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap pengaruh baru dari luar, maka Pancasila bersifat terbuka dengan syarat dilepaskan dari sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yang serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila sebagai struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang dapat menggarap apa yang datang dari luar, dalam arti luas, menjadi miliknya tanpa mengubah identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mempengaruhi dan mengkreasi.
Dinamika Pancasila dimungkinkan apabila ada daya refleksi yang mendalam dan keterbukaan yang matang untuk menyerap, menghargai, dan memilih nilai-nilai hidup yang tepat dan baik untuk menjadi pandangan hidup bangsa bagi kelestarian hidupnya di masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tersebut berdasar pada relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya
Pancasila yang menyerap atau dipengaruhi oleh nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila bisa ditawarkan dan berpengaruh, serta menyokong kepada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila juga tampil sebagai alternatif untuk melandasi tata kehidupan internasional, baik untuk memberikan orientasi kepada negara-negara berkembang pada khususnya, maupun mewarnai pola komunikasi antar negara pada umumnya.
Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yang bebas dan rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila harus bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri terhadap nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna yang positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi sebagai gejala wajar. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yang dinamik, yaitu memiliki kesediaan untuk mengadakan pembaharuan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyeleksi nilai-nilai baru dan mencari alternatif bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila tidak a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan dapat memperkaya dan memperkembangkan kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, sebagai pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif dan tertutup sehingga sesuatu yang berbau asing harus ditangkal dan dihindari karena dianggap bersifat negatif. Sebaliknya tidak diharapkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sehingga segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa pedoman untuk menentukan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.
Bangsa Indonesia mau tidak mau harus terlibat dalam dialog dengan bangsa-bangsa lain, namun tidak tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi tidak dapat dihindari. Bangsa Indonesia juga dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.Bangsa Indonesia harus mampu ikut bermain dalam interaksi mondial dalam menentukan arah kehidupan manusia seluruhnya.
Untuk bisa menjalankan peran itu, bangsa Indonesia sendiri harus mempunyai kesatuan nilai yang menjadi keunikan bangsa, sehingga mampu memberikan sumbangan yang cukup berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yang tertutup tetapi sesuatu yang terus dibentuk dalam interaksi dengan kelompok masyarakat bangsa, negara, manusia, sistem masyarakat dunia (Sastrapratedja, 1996: 3). Semuanya itu mengharuskan adanya strategi kebudayaan yang mampu neneruskan dan mengembangkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “strategi dialogi antar budaya” dalam menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan dengan budaya asli. Melalui interaksi yang terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu adalah terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan harus diperbaharui secara terus menerus, sehingga mampu memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia dalam memperkembangkan dirinya sebagai bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yang sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya cita-cita di masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, namun kepribadian yang terbentuk pada zaman yang berbeda haruslah mempunyai kesinambungan dari masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76).
Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yang dihasilkan di masa lampau untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yang kreatif dan baru, semuanya harus dirajut dalam satu kesatuan yang integral. Teori hilemorfisme dari Aristoteles bisa mendukung pandangan tersebut. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi nyata bila dibentuk (morfe), namun materi tidaklah pasif. Artinya ada gerak. Setiap relitas yang sudah berbentuk (berdasar materi) dapat juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sehingga setiap realitas mengalami perubahan. Perubahan yang ada bukan kebaharuan sama sekali namun perubahan yang kesinambungan. Artinya, aktualitas yang ada sekarang berdasar pada realitas yang telah ada pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan di masa depan.
Sebagai suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi secara obyektif dan subyektif. Aktualisasi Pancasila secara obyektif yaitu aktualisasi Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara, bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum. Sedangkan aktualisasi Pancasila secara subyektif yaitu aktualisasi Pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat
B. Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Bidang Politik, Ekonomi, Sosial-budaya, dan Hukum di Era Globalisasi
Pancasila itu menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang secara otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara. Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah merumuskan formula alat perekat yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang spektrum kebhinekaannya teramat lebar (multfi-facet natio state) seperti Indonesia. Alat perekat tersebut tiada lain daripada Pancasila yang berfungsi pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri bangsa. Sampai kiniPancasila diyakini sebagai yang terbaik dari sekian alternatif yang ada,merupakan ramuan yang tepat dan mujarab dalam mempersatukan bangsa, sehingga Syafi'i Maarif menyebutnya sebagai “Indonesia Masterpiece” (karya agung bangsa Indonesia). Namun demikian Pancasila tidak akan dapat memberimanfaat apapun manakala keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software belaka. Untuk dapat berfungsi penuh sebagai perekat bangsa. Pancasila harus diimplementasikan dalam segala tingkat kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pancasila), dan dalam segala aspek meliputi politik, ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya.
1. Bidang Politik
Landasan aksiologis (sumber nilai) system politik Indonesia adalah dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV “….. maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemasusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia”. Sehingga sistem politik Indonesia adalah Demokrasi Pancasila
Dimana demokrasi Pancasila itu merupakan system pemerintahan dari rakyat dalam arti rakyat adalah awal mula kekuasaan Negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-cita. Organisasi sosial politik adalah wadah pemimpin-pemimpin bangsa dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan keahliannya, peran dan tanggung jawabnya. Sehingga segala unsur-unsur dalam organisasi sosial politik seperti para pegawai Republik Indonesia harus mengikuti pedoman pengamalan Pancasial agar berkepribadian Pancasila karena mereka selain warga negara Indonesia, juga sebagai abdi masyarakat, dengan begitu maka segala kendala akan mudah dihadapi dan tujuan serta cita-cita hidup bangsa Indonesia akan terwujud.
Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat:
a. Kebebasan,terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika dan norma kehidupan.
b. Kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang memperjuangkan kepentingan rakyat , kontrol publik.
c. Pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya.
d. Supremasi hukum.
Begitu pula standar demokrasinya yang :
a. Bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel,
b. Berpihak kepada ‘social welfare’, serta
c. Meredam konflik dan utuhnya NKRI.
Perbaikan moral tiap individu yang berimbas pada budaya anti-korupsi serta melaksanakan tindakan sesuai aturan yang berlaku adalah sedikit contoh aktualisasi Pancasila secara Subjektif. Aktualisasi secara objektif seperti perbaikan di tingkat penyelenggara pemerintahan. Lembaga-lembaga negara mesti paham betul bagaimana bekerja sesuai dengan tatanan Pancasila. Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus terus berubah seiring tantangan zaman.(Kompas, 01 April 2003). “Demokrasi sebagai suatu sistem kehidupan didalam masyarakat dijamin keleluasaannya untuk mengekspresikan kepentingan”.
Pada kalimat itulah yang kemudian berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar daripada kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/ partai, mereka rela menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk memperbesar cengkeramannya pada upaya penguasaan bangsa. Pada kenyataannya kepentingan rakyat dan kepentingan Nasional justru diabaikan pada hal mereka itu adalah konstituen yang harusnya mendapat perhatian dan kesejahteraan.
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan mekanisme Undang Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang melahirkan budaya Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.
Ini bisa dilihat betapa banyaknya pejabat yang mengidap penyakit “amoral” meminjam istilah Sri Mulyani-moral hazard. Hampir tiap komunitas (BUMN maupun BUMS), birokrasi, menjadi lumbung dan sarang “bandit” yang sehari-hari menghisap uang negara dengan praktik KKN atau kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sejak Republik Indonesia berdiri, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu muncul ke permukaan. Bermacam-macam usaha dan program telah dilakukan oleh setiap pemerintahan yang berkuasa dalam memberantas korupsi tetapi secara umum hukuman bagi mereka tidak sebanding dengan kesalahannya, sehingga gagal untuk membuat mereka kapok atau gentar. Mengapa tidak diterapkan, misalnya hukuman mati atau penjara 150 tahun bagi yang terbukti.
Para elit politik dan golongan atas seharusnya konsisten memegang dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap tindakan. Dalam era globalisasi saat ini , pemerintah tidak punya banyak pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah menjadi public services management
2. Bidang Ekonomi
Pengaktualisasian Pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan sosial (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan tidak adil yang memosisikan pemerintah memiliki asset produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Sehingga perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM). Selain itu ekonomi yang berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak diharapkan ada atau turut campur.
Ekonomi menurut Pancasila adalah berdasarkan asas kebersamaan, kekeluargaan artinya walaupun terjadi persaingan namun tetap dalam kerangka tujuan bersama sehingga tidak terjadi persaingan bebas yang mematikan. Dengan demikian pelaku ekonomi di Indonesia dalam menjalankan usahanya tidak melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan karena pengamalan dalam bidang ekonomi harus berdasarkan kekeluargaan. Jadi interaksi antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila yang meliputi:
1. Ekonomika etik dan ekonomika humanistik.
2. Nasionalisme ekonomi & demokrasi ekonomi
3. Ekonomi berkeadilan sosial.
Namun pada kenyataannya, sejak pertengahan 1997 krisis ekonomi yang menimpa Indonesia masih terasa hingga hari ini. Di tingkat Asia, Indonesia yang oleh sebuah studi dari The World Bank (1993) disebut sebagai bagian dari Asia miracle economics, the unbelieveble progress of development, ternyata perekonomiannya tidak lebih dari sekedar economic bubble, yang mudah sirna begitu diterpa badai krisis (World Bank, 1993).
Krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia Orde Baru dan Orde Lama yang dialami sekarang ini telah mencuatkan tuntutan reformasi total dan mendasar (radically). Bermula dari krisis moneter (depresi rupiah) merambah ke lingkungan perbankan hingga ke lingkup perindustrian.
Kebijakan perekonomian Indonesia yang diterapkan tidak membumi, hanya sebatas “membangun rumah di atas langit” dan akibatnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat menjadi tersingkirkan. Rakyat masih terus menjadi korban kegagalan kebijakan pemerintah. Potret perekonomian Indonesia semakin buram, memperhatikan kebijakan pemerintah yang selalu “pasrah” dengan Bank Dunia atau pun International Monetary Fund (IMF) dalam mencari titik terang perbaikan ekonomi Indonesia. Belum lagi menumpuknya utang luar negeri semakin menghimpit nafas bangsa Indonesia, sampai-sampai seorang bayi baru lahir pun telah harus menanggung hutang tidak kurang dari 7 juta rupiah.
Seorang pengamat Ekonomi Indonesia, Laurence A. Manullang, mengemukakan bahwa selama bertahun-tahun berbagai resep telah dibuat untuk menyembuhkan penyakit utang Internasional, tetapi hampir disepakati bahwa langkah pengobatan yang diterapkan pada krisis utang telah gagal. Fakta yang menyedihkan adalah Indonesia sudah mencapai tingkat ketergantungan (kecanduan) yang sangat tinggi terhadap utang luar negeri. Sampai sejauh ini belum ada resep yang manjur untuk bisa keluar dari belitan utang. Penyebabnya adalah berbagai hambatan yang melekat pada praktik yang dijalankan dalam sistem pinjaman internasional, tepatnya negara-negara donor (Bogdanowicz-Bindert, 1993).
Keputusan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan untuk segera memasuki industrialisasi dengan meninggalkan agraris, telah menciptakan masalah baru bagi national economic development. Bahkan menurut sebagian pakar langkah Orde baru dinilai sebagai langkah spekulatif seperti mengundi nasib, pasalnya, masyarakat Indonesia yang sejak dahulu berbasis agraris Sebagai konsekuensinya, hasil yang didapat, setelah 30 tahun dicekoki ideologi ‘ekonomisme’ itu justru kualitas hidup masyarakat Indonesia semakin merosot tajam (dekadensia).
Jika hingga saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang signifikan, tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan mahadasyat dari arus globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses pemberdayaan masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara kemanjaan (ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan akomodasi bentuk perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy style) di seluruh pelosok negeri tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang telah dibangun oleh para Founding Father terdahulu. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus, misalnya, pencabutan subsidi di tengah masyarakat yang sedang sulit mencari sesuap nasi, mengelabuhi masyarakat dengan raskin (beras untuk rakyat miskin), atau jaring pengaman sosial (JPS) lain yang selalu salah alamat.
3. Bidang Sosial Budaya
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 172) Aktualisasi Pancasila dalam bidang social budaya berwujud sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/ dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi, serta penguatkan kembali proses integrasi nasional baik secara vertical maupun horizontal.
Begitu luasnya cakupan kebudayaan tetapi dalam pengamalan Pancasila kebudayaan bangsa Indonesia adalah budaya ketimuran, yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, ramah tamah, kesusilaan dan lain-lain. Budaya Indonesia memang mengalami perkembangan misalnya dalam hal Iptek dan pola hidup, perubahan dan perkembangan ini didapat dari kebudayaan asing yang berhasil masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Semua kebudayaan asing yang diterima adalah kebudayaan yang masih sejalan dengan Pancasila. Walaupun begitu tidak jarang kebudayaan yang jelas-jelas bertentangan dengan budaya Indonesia dapat berkembang di Indonesia. Seperti terjadinya pergeseran gaya hidup (life style) yang oleh sejumlah pakar gejala ini termasuk jenis kemiskinan sosial-budaya. Beberapa indikasi dapat dikemukakan di sini, antara lain: manusia hidup cenderung materialistik dan individualistik,menurunnya rasa solidaritas, persaudaraan, rasa senasib-sepenanggungan, keharusan mengganti mata pencaharian, pelecehan terhadap institusi adat, dan bahkan pengikisan terhadap nilai-nilai tertentu ajaran agama. Ciri ini telah ada dan berkembang hingga ke daerah-daerah. Dulu masih dapat dinikmati indahnya hubungan kekeluargaan (silaturrahim), realitas sekarang semua itu sudah tergantikan dengan komunikasi jarak jauh. Misalnya, kebiasaan berkunjung ke daerah untuk merayakan lebaran atau hari-hari penting lainnya, telah tergantikan dengan telpon atau e-mail. Mestinya kondisi ini tidak perlu terjadi pada bangsa yang dikenal ramah, santun, dan religius.
Perubahan sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa yang akan datang kemajemukan masyarakt Indonesia yang sangat heterogen ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka berprestasi.
Ini menunjukan bahwa filter Pancasila tidak berperan optimal, itu terjadi karena pengamalan Pancasila tidak sepenuhnya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu harus ada tindakan lanjut agar budaya bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila. Pembudayaan Pancasila tidak hanya pada kulit luar budaya misalnya hanya pada tingkat propaganda, pengenalan serta pemasyarakatan akan tetapi sampai pada tingkat kemampuan mental kejiwaan manusia yaitu sampai pada tingkat akal, rasa dan kehendak manusia.
4. Bidang Hukum
Pertahanan dan Keamanan Negara harus berdasarkan pada tujuan demi tercapainya hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, harus menjamin hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan hankam. Pertahanan dan keamanan harus diletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai suatu negara hukum dan bukannya suatu negara yang berdasarkan kekuasaan.
Pertahanan dan Keamanan, Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation akan mengandung fungsi-fungsi sebagai: the line at which supervision should give way to State’s discretion in enacting or enforcing its law, striking (menemukan) a balance between a right quaranteed and a permitted derogation (limitation), Move principle of justification than interpretation, Preventing unneccesarry restriction, To avoid damaging dispute, A Uniform Standard of Protection, Gives flexibility needed to avoid damaging confrontantions.
Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation di bidang hukum akan mewarnai segala sub sistem di bidang hukum, baik substansi hukum yang bernuansa “law making process”, struktur hukum yang banyak bersentuhan dengan “law enforcement” maupun budaya hukum yang berkaitan dengan “law awareness”. Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation yang mengendalikan kontekstualisasi dan implementasinya telah terjadi pada:
1. Pada saat dimantabkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada saat 4 kali proses amandemen
2. Pada saat merumuskan HAM dalam hukum positif Indonesia
3. Pada saat proses internal di mana The Founding Fathers menentukan urutan Pancasila.
Mengingat TNI sebagai bagian integral bangsa Indonesia senantiasa memegang teguh jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional berperan serta mewujudkan keadaan aman dan rasa aman masyarakat, sesuai perannya sebagai alat petahanan NKRI. TNI sebagai bagian dari rakyat berjuang bersama rakyat, senantiasa menggugah kepedulian TNI untuk mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi, juga terwujudnya hubungan sipil militer yang sehat dan persatuan kesatuan bangsa melalui pemikiran, pandangan, dan langkah-langkah reformasi internal ini.
Beberapa arah kebijakan negara yang tertuang dalam GBHN, dan yang harus segera direlisasikan, khususnya dalam bidang hukum antara lain:
1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui Undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidak sesuaiaannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan para penegak hukum, termasuk Kepolisian RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
3. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
4. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya semua lembaga, institusi maupun person yang ada di dalamnya harus tunduk dan patuh pada hukum. Maka ketika hukum di Indonesia betul-betul ditegakkan dengan tegas, dan dikelola dengan jujur, adil dan bijaksana, insya Allah negeri ini akan makmur dan tentram.
Namun saat ini betapa rapuhnya sistem dan penegakkan hukum (law enforcement) di negeri ini dan karena itu merupakan salah satu kendala utama yang menghambat kemajuan bangsa, sistem hukum yang masih banyak mengacu pada sistem hukum kolonial, penegakkan hukum yang masih terkesan tebang pilih, belum konsisten merupakan mega pekerjaan rumah serta jalan panjang yang harus ditempuh dalam bidang hukum, Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum, termasuk lembaga-lembaga penegak hukum, kian terpuruk . contohnya setelah putusan Kasasi Akbar Tanjung, sebagian besar masyarakat menganggap putusan Mahkamah Agung itu mengusik keadilan masyarakat sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang sangat besar. Akibatnya, kini ada kecenderungan munculnya sinisme masyarakat terhadap setiap gagasan dan upaya pembaharuan hukum yang dimunculkan oleh negara maupun civil society.
Patut kita jadikan referensi tersendiri kasus-kasus menarik MA, berawal dari isu kolusi dalam kasus Ghandi Memorial School (GMS), yang menjadi sangat menarik karena kasus ini justru berasal dari Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Dan kasus korupsi dana non bagiter bulog senilai 40 miliar, yang menjadi tersangka utama ketua DPR RI, yang sekaligus Ketua Umum Partai yang berlambang pohon beringin, Akbar Tanjung. Yang kesemuanya itu merupakan representasi dari berbagai putusan pengadilan atas kasus-kasus korupsi lainnya yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan sense of crisis. Sejak komitmen reformasi dicanangkan tahun 1998, mandat reformasi hukum paling utama adalah membersihkan sapu kotor agar mampu membersihkan lantai kotor. Sapu kotor menggambarkan institusi penegak hukum kita kepolisian, kejaksaan, dan peradilan yang belum steril dari praktek korupsi sehingga menyulitkan untuk melaksanakan mandat penegakan hukum secara tidak diskriminatif.
C. Membangun Kembali Paradigma Pancasila Melalui Komonikasi Partisipatoris
Komonikasi yang partisipatoris adalah kritik yang dibangun atas krisis legitimasi terhadap corak kepemimpinan negara yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. Kritik itu pertama kali dalam ideologi Marxian, ideologi neo-Marxian, Teo Adorno, Horkeimer, bahkan mereka yang sekarang tergolong dalam Mazhab Frankfrut.
Kritik diatas kritik dicari dalam menyetarakan atau memberi jalan keseimbangan antara komonikasi dengan tindakan. Antara pejabat dan rakyat dalam kerangka undang-undang yang tidak multitafsir dan pemihakan pada satu kepentingan. Undang-undang dibuat konkret dengan melibatkan secara langsung rakyat, dengan alur komonikasi partisipatoris antara rakyat dengan pejabat perancang undang-undang. Maka diperlukan organ yang dapat mewakili kepentingan rakyat dan parlemen.
Kepentingan ini harus dibawah oleh seorang pejabat yang tidak membawa embel partai, mereka diangkat adalah karena keahlian akademik, disamping itu diperlukan organ atau lembaga dari elemen teleologik. Hanya dengan cara demikian, ground norm Pancasila akan tampak dalam kerangka abstraksi teoritikal untuk semua rancangan peraturan perundang-undangan sebagaiman yang dikemukan oleh Hans Kelsen dalam stuffen ban theory- nya.
Disamping itu, setiap nilai-nilai filsufis dan aktualisasi Pancasila yang dikonkretkan dalam bidang politik, ekonomi, budaya, dan hukum. Memerlukan cara radikal dan keseriusan untuk, tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai “slogan”, lambang, dan “simbol mati” untuk diparaktikan dalam tatanan politik, ekonomi, budaya, dan hukum.
Kesenjangan, korupsi yang “membudaya” dan deviasi keuangan yang terjadi disetiap lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif adalah hari dimana akan lahir sejarah ketidak-percayaan pada ideologi Pancasila. Oleh karena itu dari kacamata penulis sendiri kegoncangan nilai persatuan yang dibalut dalam pakem agama, tidak sah sila pertama. Semata-mata tidak disebabkan oleh faktor karakter individu yang radikal dan dipandang ekstrim atas agama yang dianutnya.
Dengan komonikasi yang partisipatoris, peningkatan kesejahteraan, penguatan institusi hukum melalui re-aktualisasi kepercayaan publik atas penegakan hukum penting dihadirkan agar tidak terjadi mafia poltik, mafia hukum, mafia demokrasi, dan mafia pajak.
Kita sepertinya hilang sosok “pejabat yang teladan” untuk dijadikan alat ukur, dalam menilai bahwa ia telah membawa harapan menegakkan semua nilai-nilai aktual yang diabstraksikan dan diejawantahkan oleh Pancasila sebagai landasan filsufis, normatif, dan praktis.
Hanya dengan komonikasi yang partisipatif, akan terlahirkan pluralisme dan multikulturalisme yang termaktub dalam sila pertama. Hanya dengan demokrasi yang mensejahterakan akan tercipta persatuan dalam negara yang terdiri dari beberapa kepulauan. Hukum yang tegak akan menciptakan kesejahteraaan dalam memulihkan luka lama dari tidur panjang, karena telah melupakan nilai Pancasila agar diaktualisasikan demi tegaknya keadilan seperti yang diurai oleh “ semiotik” dewi Themis keadilan sejak pertama kali term “adil,” ramai diimpikan oleh bangsa Yunani dan Romawi kuno.
D. PENUTUP
1. Dinamika dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara adalah suatu keniscayaan, agar Pancasila tetap selalu relevan dalam fungsinya memberikan pedoman bagi pengambilan kebijaksanaan dan pemecahan masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar loyalitas warga masyarakat dan warganegara terhadap Pancasila tetap tinggi. Di lain pihak, apatisme dan resistensi terhadap Pancasila bisa diminimalisir.
2. Tidak ada yang dapat mengelakan arus globalisasi yang menghampiri kita bahkan negeri ini, globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang bermula dari luar dan tentunya memberikan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi bangsa ini. Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ini akan mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.
Indonesia sesungguhnya memiliki satu pamungkas yang menyatukan sekian potensi lokal dalam sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni Pancasila. namun dengan begitu derasnya arus globalisasi yang menerpa bangsa ini, seakan memudarkan nilai-nilai Pancasila yang seharusnya dapat diaktualisasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan hukum.
3. Dengan aktulisasi nilai-nilai Pancasila baik secara internal maupun dalam sudut praktik (politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum) penting untuk membangun komonikasi yang partisipatoris antara pejabat pemerintah dan rakyat agar pelaksanaan nilai-nilai Pancasila tercapai dalam keseimbangan (balance) antara pemerintah dan rakyat sebagai elemen yang penting bagi negara (state).
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Besar. 1994. Pancasila dan Alam Pikiran Integralistik (Kedudukan dan Peranannya dalam Era Globalisasi). Yogyakarta: Panitia Seminar “Globalisasi Kebudayaan dan Ketahanan Ideologi” 16-17 November 1994 di UGM.
Bachtiar, Harsja W. (Peny.).1976. Percakapan dengan Sidney Hook tentang Masalah Filsafat. Jakarta: Jambatan.
Bakker, Anton.1992. Ontologi atau Metafisika Umum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Bertens. Kess. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Bracher, Karl Dietrich. 1984. The Age of Ideologies. New York: St.Martin’s Press.
Damang, A’al. 2007. Agama: Pancasila dan Kesalehan Multikultural. Makalah dalam Kumpulan Tulisan Tahun 2007. Disampaikan dalam diskusi lepas di HMI MPO, Tema “Rekonstruksi Paradigma Kesalehan di Negara Pancasila”
Damardjati Supadjar. 1990. Konsep Kefilsafatan tentang Tuhan Menurut Alfred Nort Whitehead. Yogyakarta: Disertasi Doktor di UGM.
Dibyasuharda. 1990.Dimensi Metafisik dalam Simbol: Ontologi mengenai Akar Simbol. Yogyakarta: Disertasi Doktor di UGM.
Driyarkara, N.1959. Pantjasila dan Religi. Yogyakarta: Makalah disampaikan pada Seminar Pantjasila I di Yogyakarta tanggal 16 sampai 20 Februari.
-----------------.1993 (Cet.ke-12). Filsafat Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. Jakarta: LP3ES.
Habib Mustopo, M.1992. Ideologi Pancasila dalam Menghadapi Globalisasi dan Era Tinggal Landas. Bandungan-Ambarawa: Panitia Seminar dan Loka Karya Nasional MKDU Pendidikan Pancasila Dosen-dosen PTN/PTS dan Kedinasan Pada tanggal 29 – 30 September 1992.
Hardono Hadi, P. 1994. Hakikat dan Muatan Filsafat Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kansil, C.S.T.1971. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita.
Kattsoff, Louis O.1953. Elements of Philosophy. New York: The Ronald Press Comp.
Kendall, G.A. 1981. “Ideology: An Essay in Definition” dalam majalah Philophy Today No.25, hal. 262 – 276.
Koento Wibisono. 1988. Pancasila Ideologi Terbuka. Magelang: Panitia Temu Karya Dosen-Dosen PTN Se-Jawa Tengah dan Kopertis Wil.VI.
Leahy, Louis. 1993. “Ideologi Tinjauan Historis dan Kritis”. Yogyakarta: dalam Majalah Basis No.42, halaman 130 – 135.
Liek Wilardjo. 1990.Realita dan Desiderata. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Lorens Bagus. 1991. Metafiska. Jakarta: PT Gramedia.
Magnis Suseno, Franz. 1991. Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Utopia (Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Moerdino. 1995/1996. “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka Menghadapi Era Globalisasi dan Perdagangan Babas”, dalam Majalah Mimbar No.75 tahun XIII.
------------. 1995/1996. “Masalah Filsafati dan Ideologi dalam Membangun Negara Hukum di Indonesia”, dalam Majalah Mimbar No. 74 tahun XIII.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdence. 1990. Megatrends 2000 (Sepuluh Arah Baru untuk Tahun 1990-an). Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Notonagoro. 1974 (Cet.Kelima). Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila. Jakarta: Universitas Pancasila.
--------------. 1975. Pancasila secara Ilmiah Populer. Jakarta: Pantjuran Tudjuh.
-------------. 1984 (Cet.Keenam). Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Bina Aksara.
Popkin, Richard, dan Avrum Stroll. 1958. Philosophy Made Simple. New York: Made Sample Books, Inc.
Pranarka A.M.W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila. Jakarta: CSIS.
Sartono Kartodirdjo. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sastrapratedja,M. 1996. Pancasila dan Globalisasi. Magelang: Panitia Seminar Nasional Pendidikan Pancasila di Universitas Tidar pada 29-31 Juli 1996.
Slamet Sutrisno. 1986. Pancasila sebagai Metode. Yogyakarta: Liberty.
Snyder, Louis L. 1954. The Meaning of Nationalism. New Brunswick-New Jersey: Rutger University Press.
Soedjati Djiwandono, J. 1995. Setengah Abad Negara Pancasila (Tinjauan Kritis ke Arah Pembaharuan. Jakarta: CSIS.
Soerjanto Poespowardojo. 1989. Filsafat Pancasila. Jakarta: Gramedia.
Sudarmanto, JB. 1987. Agama dan Ideologi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sudarminta, J. 1991. Filsafat Proses (Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Whitehead).Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suwarno, P.J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Team Dosen Pancasila. 2003. Pendidikan Pancasila Perguruan Tinggi Berbasisi Kompetensi. Makassar: universitas hasanuddin.
Traer, Robert. 1991. Faith in Human Rights. Washington DC: Georgetown Univ.Press.
Whitehead, Alfred North. 1979. Process and Reality. New York: The Free Press.
William Ebenstein & Edwin Fogelman. 11985. Today’s Isms. London: Prentice-Hall,Inc.
Responses
1 Respones to "MEMBANGUN KEMBALI AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA"
Nice Info gan thanks !
12 Desember 2015 pukul 19.01
Posting Komentar