Humanisme adalah sebuah topik yang ‘licin’. Kata itu bukanlah sebuah istilah dengan pengertian tunggal yang mudah disepakati. Orang kebanyakan di Indonesia mendengar istilah ini sebagai barang asing yang dicangkokan ke dalam bahasa kita. Kalangan-kalangan religius, khususnya yang meyakini eksklusivitas jalan keselamatan menurut doktrin mereka, menganggap humanisme sebagai musuh berbahaya yang harus ditangkal. Sebaliknya bagi mereka yang dicekik oleh doktrin-doktrin fanatik agama, humanisme merupakan lorong pembebasan yang memberi mereka nafas untuk hidup. Topik humanisme juga sangat dekat dengan kita, jika menginsyafi bahwa para pendiri negara kita memandang penting paham ini untuk mewadahi pluralisme dalam masyarakat kita dan mencantumkannya sebagai sila ke-2 Pancasila. Begitu dekat sekaligus begitu jauhnya kita dari paham ini, begitu kaburnya di kepala orang banyak, sehingga kita memuji atau mencercanya tanpa mengerti apa yang kita puji dan cerca serta mengapa kita puji dan cerca.
Untuk mereka yang mencerca humanism, ilustrasi berikut mungkin berfaedah. Dulu dan di mana pun, sebelum modernitas, setiap suku bangsa atau setiap bangsa menurut tanah dan darah memandang diri sebagai manusia, sementara orang-orang di luar dianggap liar, barbar atau ‘bukan manusia’. Etnosentrisme macam itu bahkan mendapatkan legitimasi sakral dalam agama-agama dunia manakala orang-orang di luar umatnya disebut ‘kafir’ – sebuah varian dari ‘bukan manusia’. Sudah sejak dini dalam sejarah peradaban, bangsa Yunani dan Romawi kuno meyakinkan bangsa-bangsa lain akan adanya kemanusiaan universal. ‘Manusia’ memang muncul dalam tradisi agama-agama dunia dan dari wahyu yang mereka terima, namun wahyu illahi hanya dapat ditangkap oleh mereka yang beriman kepadanya, sehingga ‘manusia’ versi wahyu itu berciri partikular. ‘Manusia’ yang dibela oleh para leluhur humanisme tersebut berciri kodrati, dimengerti lewat akal belaka tanpa melibatkan wahyu illahi. Segala yang dapat ditangkap oleh akal manusia dapat diterima oleh semua manusia yang berakal, maka ‘manusia’ yang dimengerti para leluhur humanisme ini sungguh-sungguh universal dan tidak tinggal partikular seperti ‘manusia’ dalam agama-agama. Di zaman Renaisans gagasan Yunani Romawi tentang kemanusiaan universal itu dibangkitkan kembali dan berkembang bersama dengan modernitas kita sehingga kita sekarang dimampukan untuk mengatasi etnosentrisme dengan suatu ide abstrak, yakni humanitas.
Prestasi-prestasi peradaban yang disumbangkan oleh humanisme Barat kita nikmati bersama dewasa ini. Humanisme tidak hanya mendasari ide dan praksis hak-hak asasi manusia, civil society, dan negara hukum demokratis, melainkan juga mendorong aksi-aksi solidaritas global yang melampaui negara, ras, agama, kelas sosial, dst., sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai kegiatan institusi PBB. Gagasan tentang toleransi agama adalah prestasi lain yang disumbangkan oleh humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18 kepada peradaban modern. Peradaban modern itu sendiri, dengan berbagai institusinya yang bekerja secara rasional, seperti sains, teknologi, pendidikan, birokrasi dan pasar kapitalis, dibangun di atas premis-premis humanisme. Tanpa peranan abstraksi kemanusiaan universal dan rasionalitas manusia, sistem hukum modern yang memungkinkan kerjasama antarbangsa dan membangkitkan rasa tanggungjawab global terhadap perdamaian dan keutuhan ekologis kiranya akan sulit dibayangkan. Keyakinan rasional akan adanya akal bersama umat manusia ini melandasi berbagai perjuangan untuk menegakkan keadilan dan perdamaian sampai dewasa ini. Dalam arti ini humanisme tidak tinggal menggantung di langit-langit abstrak; ide itu memberi faedah praktis dalam kehidupan kita.
Untuk mereka yang terlalu memuji humanisme dan memperlakukannya sebagai berhala intelektual yang dikira akan menyelamatkan hidup mereka, kritik-kritik terhadap humanisme yang dilontarkan banyak pemikir sejak paruh pertama abad ke-20 yang lalu akan membantu mencelikkan mata mereka. Kuliah umum saya ini akan dipersembahkan baik kepada mereka yang mencurigai humanisme sebagai musuh berbahaya maupun kepada mereka yang memujanya sebagai berhala intelektual. Dalam segala hal di dunia ini kiranya tidak ada sesuatu yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk sehingga akal kita masih diberi kesempatan untuk memilih dan mengambil yang baik. Hal itu juga terjadi dengan humanisme. Tidak berlebihan kiranya menyatakan bahwa tugas kita di sini adalah memahami kemanusiaan secara lebih baik dengan mengeluarkannya dari jepitan antihumanisme dan humanisme itu sendiri.
1. Mengakarkan Manusia di Dunia-Sini
Marilah kita mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa humanisme, suatu paham yang menitikberatkan pada manusia, kemampuan-kemampuan kodratinya dan nilai-nilai kehidupan duniawi ini tumbuh dalam sejarah peradaban? Kita dapat mulai menjawab perkara ini dari zaman antik karena bangsa Yunani kuno dengan sistem pendidikannya, paidea, yang mengolah bakat-bakat kodrati manusia dan bangsa Romawi kuno dengan gagasannya tentang manusia sebagai animal rationale dipandang sebagai peletak dasar humanisme universal. Akan tetapi para leluhur peradaban Barat itu tidak menghadapi persoalan dengan sistem teror religius seperti yang dihadapi keturunan mereka di Abad Pertengahan, sehingga humanisme kritis dalam pengertian modern tidak muncul di sana. Humanisme kritis itu dimulai dengan gerakan umanisti pada zaman Renaisans abad ke-14 sampai ke-16 dan memuncak pada humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18.
Kita perlu melihat gerakan humanis modern itu sebagai upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang mempersoalkan monopoli tafsir kebenaran yang dahulu kala dipegang oleh kombinasi ajaib agama dan negara. Kekristenan Abad Pertengahan, lewat Agustinus dari Hippo, memang telah menambahkan aspek adikodrati pada pemahaman tentang manusia yang berkembang di zaman kuno, namun sebagaimana diketahui lewat sejarah, tafsir religio-politis itu pada gilirannya mendominasi masyarakat sehingga manusia dan kemanusiaannya dialienasikan dari keduniawiannya yang otentik. Kekristenan memusatkan diri pada keselamatan jiwa manusia dan sejauh itu sebenarnya juga sebuah humanisme, namun manakala doktrin keselamatan berubah menjadi alat kontrol atas kebebasan individu, yang penting di sini tidak lagi manusia nyata, melainkan agama. Di Eropa Abad Pertengahan ditemukan di mana-mana terlalu banyak agama, terlalu banyak ketakutan akan perkara-perkara di balik kubur, namun terlalu sedikit perhatian dan penghargaan terhadap kehidupan di dunia yang nyata ini. Humanisme tumbuh bagai tunas-tunas muda di tengah-tengah himpitan bangunan usang Abad Pertengahan yang mulai retak di sana-sini.
Humanisme modern yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu illahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan tampil ke depan menggeser agama. Manusia terutama dimengerti dari kemampuan-kemampuan alamiahnya, seperti minat intelektualnya, pembentukan karakternya, apresiasi estetisnya. Perhatian lalu diumpahkan pada toleransi, vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan dst. Semua itu dicakup dalam kata humanus. Upaya seperti itu dimulai dengan pendamaian antara filsafat (khususnya Aristoteles dan Plato) dan Kitab Suci, kesusastraan Yunani kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat kita temukan pada Giovanni Pico della Mirandolla (1463-94) atau kadang juga dengan mendukung sistem heliosentrisme yang ditentang otoritas religius waktu itu, sebagaimana dilakukan oleh Giordano Bruno (1548-1600) yang lalu dikejar-kejar sebagai bidaah dan dibakar di Roma. Gerakan humanis ini mulai di Italia, lalu merambat dengan cepat ke Jerman, Prancis, Belanda, dst.
Sulit dipastikan mana yang lebih dahulu berperan dalam modernisasi Barat, humanisme atau ilmu pengetahuan modern, namun kita tidak perlu meragukan bahwa keduanya saling bahu membahu dalam mengokohkan suatu cara berpikir rasional yang menempatkan manusia dan rasionalitasnya sebagai pusat segala sesuatu. René Descartes meletakkan dasar filosofis untuk tendensi baru ini lewat penemuan subyektivitas manusia dalam tesisnya je pense donc je suis (aku berpikir, maka aku ada). Ciri ini lalu disebut ‘antroposentrisme’, untuk menegaskan sikap kritisnya terhadap teosentrisme Abad Pertengahan. Salah satu hal penting yang kerap luput dari perhatian adalah hubungan khas antara perkembangan ilmu-ilmu alam modern dan humanisme modern yang semakin skeptis terhadap agama. Isaac Newton (1643-1727) dengan fisikanya memberi kita suatu keyakinan rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis seperti sebuah arloji, dan akal budi manusia dapat menyingkap hukum-hukum yang bekerja di belakang proses-proses alamiah. Rasionalisme dan empirisme abad ke-17 bahkan sampai pada suatu tilikan yang mencerahkan bahwa hukum-hukum alam itu tidak lain daripada hukum-hukum akal budi itu sendiri, sehingga semakin dalam kita menyingkap proses kerja akal kita, semakin luas pula pengetahuan kita tentang cara kerja semesta. Kaitannya dengan humanisme yang kritis terhadap otoritas wahyu juga jelas karena pencerahan mengenai korelasi antara hukum alam dan hukum akal budi itu juga ditemukan oleh para pemikir abad ke-18 di wilayah moralitas. Kaum agnotis, the deists ataupun ateis pada masa itu yang banyak menulis buku-buku kontroversial mencoba meyakinkan para pembaca mereka bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi dapat dilacaki pada mukjizat-mukjizatNya, melainkan pada arloji semesta yang mencerminkan suatu desain illahi. Karena itu juga moralitas tidak harus diturunkan dari wahyuNya, melainkan cukup disimpulkan dari asas-asas di dalam akal budi kita sendiri dan mekanisme alam. Lalu tidak perlu dijelaskan panjang lebar bahwa sesuatu seperti hukum alam juga bekerja di dalam transaksi pasar, sebagaimana ditemukan oleh Adam Smith dan kaum fisiokrat.
Ditinjau dari sisi tertentu, humanisme seperti berupaya untuk merebut manusia dari alienasi oleh obsesi masyarakat pada dunia-sana dan mengakarkannya kembali ke dunia-sini. Lewat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu kemanusiaan, sejak abad ke-17 dalam empirisme Inggris sampai abad ke-19 dalam romantisme Prancis, gerakan ini menyuburkan penelitian-penelitian atas apa yang disebut ‘manusia alamiah’. Manusia alamiah itu bukanlah makhluk berdosa asal yang diusir dari firdaus yang lalu membutuhkan rahmat Tuhan untuk keselamatannya, melainkan suatu makhluk yang memiliki kebebasan dan akal, sekaligus juga – seperti binatang – didorong oleh naluri-nalurinya. Para teoretikus kontrak dari Hobbes sampai Rousseau ingin menjelaskan ‘mekanisme sosial’ dengan mekanisme kepentingan-diri atau kepentingan sosial yang pada akhirnya dapat dikembalikan pada kecenderungan naluriah untuk mencari kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Dalam biologi abad ke-18, klasifikasi makhluk hidup yang dilakukan oleh Carl von Linné hanyalah awal dari upaya melihat manusia sebagai salah satu spesies hewan, sebelum Charles Darwin di abad ke-19 lewat teori evolusinya sama sekali meruntuhkan gambaran sakral tentang manusia yang berabad-abad diimani dalam agama. Humanisme seakan berkata bahwa manusia berasal dari dunia-sini dan bukan roh dunia-sana yang terperangkap dalam daging.
2. Menimbang Humanisme Ateistis
Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Di sini dapat didaftar, misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dst. yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling getol memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Jika kita mengikuti ulasan di atas, akan jelas bahwa humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18. Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja kita bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab sekarang: Apakah kontribusi humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya?
Sejauh kita mengambil segi positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun perananNya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Bisa dikatakan bahwa humanisme ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian akhir imanensi manusia untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni manusiawi tanpa transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu masyarakat yang ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral rasional itu tidak dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu toleransi di dalam masyarakat modern yang semakin kompleks.
Sumbangan kedua humanisme ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantunya untuk memeriksanya untuk mengambil jarak kritis terhadap penghayatannya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorangpun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya.
Betapapun sucinya, agama melibatkan banyak hal yang bersifat manusiawi dan duniawi, seperti: imajinasi sosial manusia, kepentingan kelasnya, sistem pengetahuannya, tradisi kulturalnya. Dengan hanya percaya saja, yaitu tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan lama kelamaan dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangNya dibangun oleh sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Feuerbach, Marx, Comte, Nietzsche dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang Tuhan. Jika yang dipersoalkan adalah gambaran Tuhan, kritik agama mereka akan sangat menolong umat beragama untuk membersihkan imannya dari delusi-delusi. Dalam arti ini humanisme ateistis justru dapat menjadi jalan untuk mengakui transendensi dan kemutlakan Tuhan yang berada di luar gambaran-gambaran kita. Bukan Tuhan, melainkan gambaran Tuhan yang kelirulah yang sesungguhnya telah mereka bunuh. Jika berhala-berhala pikiran disembah sebagai theos, untuk menjadi seorang teis sejati, diperlukan sikap ateis, yakni menolak meyakini theos palsu itu.
Berkembangnya ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama kiranya merupakan sumbangan ketiga yang bersifat pragmatis dari humanisme ateistis. Jauh sebelum munculnya para ateis itu, apa yang disebut ilmu agama tidak kurang daripada suatu teologi yang menjelaskan, membenarkan dan membela iman sendiri. Dewasa ini dunia ilmu dan pendidikan tinggi telah memiliki dan mengembangkan berbagai ilmu empiris dan percabangan mereka, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama-agama dst. yang memperlakukan gejala-gejala agama, seperti mistik, trance, bahasa roh, penyembuhan lewat iman, kemartiran dst. sebagai gejala-gejala manusiawi yang dijelaskan secara rasional dan empiris. Humanisme ateistis banyak mendorong peralihan sudut pandang dari ‘perspektif penghayat’ ke ‘perspektif pengamat’ yang banyak membantu mengembangkan etos riset ilmiah tentang agama yang hari ini dimiliki dunia ilmu. Bersama dengan moral rasional dan kritik agama, ilmu-ilmu empiris tentang agama banyak membantu umat beragama sendiri dalam menghayati imannya secara dewasa tanpa mengesampingkan peranan akal. Ini terjadi dalam banyak studi baik di kalangan Katholik maupun Protestan di Barat untuk merekonstruksi suatu teologi yang sesuai dengan kompleksitas dunia modern kita dan karenanya juga menolong penghayatan iman yang lebih transformatif dan toleran.
3. Kritik-kritik atas Humanisme
Humanisme sebagai suatu proyek peradaban memiliki karir yang tidak diduga oleh para perintisnya karena ia menjadi eksklusivistis dalam kolonialisme dan totalitarianisme. Kemanusiaan disempitkan pada peradaban tertentu, ras tertentu atau kelas sosial tertentu, sehingga manusia konkret ditindas dengan pembenaran-pembenaran antroposentris. Manusia konkret diremehkan dan digilas oleh kekuatan-kekuatan asing yang bernama peradaban, ideologi atau teror yang semua itu hanya mungkin tumbuh dalam antroposentrisme yang diajarkan humanisme. Dengan kolonialisme dan totalitarianisme itu, dewasa ini muncul sikap skeptis yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap humanisme modern. Kita sedang menapaki suatu era yang dapat kita sebut ‘pasca-humanisme’. Kita memang menikmati hasil-hasil positif gerakan humanisme seperti telah saya sebut pada permulaan kuliah ini. Ketika berbicara tentang hak-hak asasi manusia, misalnya, mau tidak mau mengandaikan banyak hal yang merupakan prestasi gerakan humanisme modern, seperti penghargaan terhadap kebebasan, rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada saat yang sama kita tahu bahwa konsep kemanusiaan universal dan ciri keduniawian yang dibawanya mengandung bahaya yang sama besarnya dengan konsep Tuhan dari agama manapun, jika konsep-konsep itu dimengerti secara eksklusivistis dengan menyingkirkan manusia konkret dalam segala keberlainan kultural, ras, jender maupun kelasnya. Dilema dalam humanisme itu mendesak kita untuk menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Kita akan masuk dalam kritik-kritik atas humanisme dan kemudian memberikan pendirian kita sendiri.
Di dalam sebuah tulisannya, Geheimnis der Sprache Johann Peter Hebels (Rahasia Bahasa Johann Peter Hebel), filsuf besar abad ke-20, Martin Heidegger, menulis – saya kutip aslinya – “Eigentlich spricht die Sprache, nicht der Mensch. Der Mensch spricht erst, insofern er jeweils der Sprache ent-spricht.” (sesungguhnya bahasa berbicara, bukan manusia. Manusia berbicara baru sejauh ia selalu sesuai dengan bahasa). Manusia memang berbicara, yaitu menuturkan bahasa, tetapi bahasa harus didengarkan lebih dahulu, baru kemudian ia bisa berbicara. Yang didengarkan itu tak lain daripada bahasa yang meneguhkan hakikatnya. Bahasa primordial yang membuat manusia menjadi manusia itu adalah bahasa ibu, bahasa yang dituturkan dalam sebuah komunitas konkret. Jika demikian, manusia dan kemanusiaan ditemukan atau – lebih tepat – dibuat lewat percakapan, yaitu yang dituturkan oleh suatu kelompok. Dengan mengucapkannya lagi dan lagi, manusia dan kemanusiaan menjadi semakin nyata. Dalam arti ini kita boleh mengatakan bahwa manusia belum ada sebelum Renaisans karena ia belum menjadi tema tuturan sebagaimana terjadi dalam filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan modern.
Pandangan Heidegger itu ikut menandai linguistic turn di dalam filsafat abad ke-20 yang melihat humanisme sebagai perkara diskursus yang tidak hanya dituturkan dalam sebuah forum, melainkan menjadi pusat tuturan dan pengetahuan suatu zaman, yaitu modernitas. Sejak awal tadi kita terlibat dengan kata-kata abstrak “manusia” dan “kemanusiaan” yang menjadi pokok persoalan dalam humanisme. Kata-kata yang terus dituturkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan itu memiliki asal-usul metafisis sekaligus juga mendasari suatu metafisika. ‘Kemanusiaan’ adalah sebuah diskursus tentang ‘hakikat’ yang dapat kita sebut “metafisika kemanusiaan”. Dalam metafisika kemanusiaan itu menurut Heidegger humanisme melupakan hubungan ‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (Sein). Hakikat tidak sama dengan ‘Ada’, melainkan bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan dirinya akan juga menentukan bagaimana ‘hakikat’ itu ditangkap. Humanisme merupakan bagian dari sejarah pemahaman tentang ‘Ada’ yang menjelaskan ‘hakikat’ sebagai sesuatu yang permanen, tertata rasional dan universal seperti alam semesta yang ditemukan oleh Newton.
Para kritikus humanisme di abad ke-20 ingin membebaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang memahami Manusia sebagai pusat kenyataan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan baru dalam sains kontemporer yang banyak mempersoalkan pandangan dunia Newtonian ikut mempengaruhi skeptisisme terhadap metafisika kemanusiaan itu. Dalam mekanika kuantum dan teori relativitas, misalnya, gambaran dunia yang deterministis dibantah dengan indeterminisme. Kenyataan alamiah itu sendiri, partikel, bukanlah suatu substansi seperti yang dicari dalam metafisika, melainkan suatu gerak yang selalu berubah. Bagaimana konstruksi teoretis tentang obyek alamiah itu juga menentukan bagaimana obyek itu menampakkan diri. Jika demikian, antroposentrisme selama berabad-abad juga dapat dilihat sebagai suatu konstruksi metafisis yang membuat kita secara intelektual terobsesi untuk mengunggulkan universalitas kemanusiaan, dan itu dilakukan dengan meminggirkan kebudayaan, agama, jender, dst. Metafisika kemanusiaan yang mendasari humanisme modern lalu ditantang sekurangnya dari tiga arah yang sejak awal dibangun oleh humanisme, yaitu metafisika, kebudayaan dan masyarakat. Masing-masing diwakili oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Niklas Luhmann.
Derrida belajar banyak dari Heidegger untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan. Filsuf Prancis kontemporer ini memberi penjelasan yang lebih rinci mengenai keadaan manusia setelah dilepaskan dari pusat kenyataan dan menjadi ‘tetangga Ada’ itu (ingat ‘tetangga’ tidak menyiratkan suatu hirarki makna, melainkan kesetaraan makna). Pertama-tama dia menghentikan seluruh upaya untuk menemukan makna asli dari segala sesuatu yang menjadi obsesi peradaban Barat sejak ada filsafat, yaitu menghentikan pencarian ‘hakikat’. Pencarian humanisme akan ‘kodrat’ manusia dengan demikian juga dihentikan. Mengapa? Bukan hanya bahwa pencarian itu sia-sia, melainkan juga bahwa upaya itu – dengan segala ketulusannya sekalipun – akan membangun suatu rezim makna yang bersifat hirarkis yang akan meminggirkan hal-hal yang tidak dapat dimasukkan ke dalam makna yang dianggap asli itu, kolonialisme dan totalitarianisme yang kita bahas di atas? Bukankah dari oposisi antara asli dan tak asli, hakiki dan tak hakiki, muncul marginalisasi, alienasi, represi dan destruksi atas the other sebagai ‘yang tidak asli’ sebagaimana dilakukan tuan-tuan penjajah, komunis dan nazi?
Untuk menghentikan pencarian hakikat – dalam topik kita di sini Manusia dengan huruf besar M dan melepaskan manusia dari pusat kenyataan - Derrida melakukan suatu hermeneutik (penafsiran) radikal yang disebutnya ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi bukanlah destruksi, melainkan suspensi makna atau différance, yaitu menunda untuk mengembalikan sesuatu pada makna aslinya. Kemanusiaan tidak bisa dikembalikan pada satu titik primordial, misalnya, ‘kemanusiaan universal versi humanisme’, karena titik primordial itu tidak ada. Jika tahta tempat segala makna ditentukan itu kosong, tidak ada lagi meta-referensi yang menjadi ukuran untuk menentukan sesuatu itu asli atau tidak. Makna lalu tidak lagi diasalkan pada makna induk yang dianggap menduduki tahta itu, melainkan dihasilkan dengan apa yang disebut ‘intertekstualitas’, yaitu menghubung-hubungkan makna yang satu dengan makna yang lain secara interpretatif. Melakukan dekonstruksi atas metafisika kemanusiaan lalu berarti memahami manusia tidak dengan cara mengasalkannya dari suatu makna induk tentang kemanusiaan, misalnya kemanusiaan yang dianggap telah ditemukan oleh humanisme, melainkan dengan menghubung-hubungkan secara interpretatif pemahaman yang satu dengan yang lain tentang manusia tanpa maksud untuk mencari dan memulihkan hakikat universalnya. Dengan ungkapan lain, Manusia dengan huruf besar M diganti dengan manusia-manusia dengan huruf kecil m yang berdiri setara. Pertukaran M dengan m ini memiliki implikasi yang jauh: Kemanusiaan universal versi humanisme didesentralisasikan dan dipluralisasikan. Untuk memahami manusia kita tidak bisa lain kecuali menafsirkan berbagai pemahaman kultural tentang manusia dengan mengandaikan kesetaraan mereka.
Bersama dengan seluruh filsuf kontemporer yang melakukan linguistic turn, seperti strukturalis dan pasca strukturalis, Rorty, seorang pragmatis Amerika Serikat, memandang humanisme sebagai perkara kontigensi bahasa. Mengacu pada Wittgenstein dan tradisi hermeneutik, dia menolak fungsi bahasa sebagai deskripsi dunia, seolah-olah dunia ada di luar bahasa. Menurutnya bahasa menciptakan dunia, dan sejarah tidak lain daripada perubahan semena-mena dari language game yang satu ke yang lain, maka kenyataan juga berubah menurut perubahan language game itu. Setuju dengan Derrida yang menolak makna asli atau hakikat, Rorty menolak adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat dipakai sebagai tolok ukur bagi kebenaran language games, sebab tak seorangpun memiliki sudut pandang yang mengatasi sejarah, sebagaimana dikira telah dimiliki oleh para humanis yang yakin telah melihat kemanusiaan lebih hakiki daripada orang-orang lain. Kita berada di dalam language game dan mendunia di dalamnya, maka bagaimana kemanusiaan dimengerti juga tergantung pada kontingensi bahasa. Ilmu pengetahuan, seni, kebudayaan dan politik bagi Rorty bergerak dalam horizon language games yang terus berubah dalam sejarah.
Penolakan Rorty terhadap kosakata akhir memiliki konsekuensi bahwa pandangan humanisme tentang adanya ‘inti diri’ yang tetap dan universal, seperti kesadaran atau akalnya, juga harus ditolak. Manusia bergerak atau – lebih tepat – ‘merangkak’ di dalam language games, maka kediriannya juga dicetak oleh dan berubah sesuai berbagai pemakaian metafor yang silih berganti dalam sejarah. Yang ditolak di sini adalah antroposentrisme Kant yang menempatkan subyek sebagai kosakata akhir yang seolah berada di luar language games. “Pandangan Kant tentang kesadaran”, begitu katanya,”membuat kedirian menjadi Tuhan”. Yang sebenarnya terjadi menurut Rorty adalah bahwa penemuan akal sebagai hakikat manusia dalam humanisme tidak lain daripada penemuan bahasa baru atau metafor baru yang juga akan berubah lagi pada suatu ketika dengan ditemukannya metafor lain. Semua argumentasi Rorty ini ditujukan untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang dianut oleh humanisme sehingga manusia tidak lagi berada di pusat kenyataan.
Pertanyaan kita lalu: Untuk apakah decentring of subject ini? Bagi Rorty hal itu bersangkutan dengan masalah pragmatis yang sebenarnya mendasari humanisme modern, yaitu solidaritas sosial. Ia berpendapat bahwa selama kita masih meyakini adanya ’inti diri’ atau Manusia dengan huruf besar M itu, keyakinan itu justru akan menghalangi solidaritas kita dengan orang-orang lain. Tuan-tuan penjajah, orang-orang nazi dan komunis meyakini adanya ‘inti bersama’ kemanusiaan yang justru tidak mereka temukan pada para korbannya. Jika mereka menganiaya orang-orang itu, mereka tidak merasa telah menganiaya manusia. Konsep subyek seperti yang dianut Kant dan humanisme menurut Rorty juga tidak banyak berguna untuk membangkitkan solidaritas dengan para korban. Orang menolong para tetangga Yahudinya bukan karena mereka adalah “makhluk rasional”, melainkan karena mereka sama-sama penduduk Milano, anggota serikat buruh, bapak atau ibu dari anak-anak mereka yang masih kecil dst. Menurut Rorty untuk membangkitkan solidaritas kemanusiaan tidak perlu dirumuskan secara metafisis, melainkan dialami secara sentimental. Di sini Rorty melanjutkan hasil dekonstruksi Derrida atas kemanusiaan. Jika hakikat universal manusia ditolak, memahami manusia harus secara intertekstual, dan intertekstualitas secara konkret bagi Rorty berarti sentimentalitas, yaitu suatu kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat dst. karena mampu melihat dan ikut merasakan kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain. Kemampuan sentimental inilah yang membuat orang-orang di seberang lautan juga bisa “termasuk ke dalam kita”. Metafisika kemanusiaan harus dilampaui dengan kemanusiaan sentimental yang memperluas horizon kemanusiaan lewat “rasa kekitaan”.
Salah seorang kritikus di Jerman kontemporer yang menolak humanisme demi menyelamatkan kemajemukan adalah Niklas Luhmann. Berbeda dari Derrida dan Rorty yang melibatkan diri dengan hermeneutik makna, Luhmann bergerak dalam teori sistem. Antroposentrisme yang disebutnya ‘teori-teori Eropa tua’ bercokol tidak hanya dalam metafisika dan kebudayaan modern, melainkan juga dalam pandangan tentang masyarakat yang sudah dianut sejak Aristoteles, melalui teori-teori kontrak memuncak pada Hegel. Dalam pandangan kuno itu, masyarakat terdiri dari manusia-manusia, dan manusia berada pada pusat masyarakat, yakni bahwa manusia adalah asal dan tujuan masyarakat, maka masyarakat ada demi manusia. Luhmann mengambil jarak terhadap pandangan itu. Jika Darwin dengan teori evolusinya telah mengeluarkan manusia dari pusat alam semesta, dan Freud dengan psikoanalisisnya telah mengeluarkan manusia dari pusat kesadaran, Luhmann dengan teori sistemnya ingin mengeluarkan manusia dari pusat masyarakat.
Luhmann melontarkan kritiknya atas humanisme dengan caranya yang khas, yaitu memahami manusia bukan sebagai bagian masyarakat, melainkan sebagai bagian lingkungan masyarakat. Dalam teori sistemnya termasyhur distingsi antara sistem (System) dan lingkungan (Umwelt). Sistem selalu merupakan reduksi kompleksitas, maka lingkungan selalu lebih kompleks daripada sistem. Masyarakat adalah suatu sistem, sistem komunikasi. Kalau demikian, manusia tidak berada di dalam masyarakat, melainkan di luarnya, yaitu dalam lingkungan. Mengapa? Karena manusia bukan sistem komunikasi saja. Manusia terdiri dari banyak sistem, antara lain; sistem-sistem organis (otak, pencernaan, hormon, otot, dst.), sistem-sistem psikis (kesadaran) dan sistem-sistem semiotis (komunikasi atau bahasa). Hanya sebagian saja dari manusia yang masuk ke dalam masyarakat, yaitu komunikasinya, tetapi komunikasi itu pun akan bergerak sendiri sebagai sistem yang mereproduksi dirinya. Luhmann menyebut kemampuan sistem untuk menghasilkan dirinya itu ‘autopoiesis’. Karena komunikasi, begitu menjadi sistem, lepas dari penuturnya dan menghasilkan dirinya, sistem komunikasi itu subjectless. Komunikasi tidak lagi bisa diasalkan pada manusia; ia menjadi anonim, sehingga kita dapat berkata bahwa bukan manusia-manusia yang berkomunikasi dalam masyarakat, melainkan komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi. Manusia versi humanisme, yaitu subyek atau kesadaran, adalah sistem psikis, suatu sistem tersendiri yang juga autopoietis yang berada di luar masyarakat, yaitu di dalam lingkungan bagi sistem komunikasi.
Di dalam pemikiran Luhmann decentring of subject terjadi dalam dua arti. Pertama, manusia tidak lagi dipahami sebagai pusat masyarakat karena ia qua sistem psikis tidak memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajad dengan mereka. Karena itu, demikian tulis Luhmann, “manusia tidak lagi merupakan ukuran masyarakat. Gagasan humanisme ini tidak dapat berlanjut.” Di dalam kompleksitas sosial pasca humanisme menurutnya tidak ada ukuran yang menjadi pusat segalanya; tiap sistem memiliki ukurannya masing-masing yang tidak dapat diukur oleh suatu – sebut saja – ‘meta-norma’ sebagai ukuran terakhir. Kedua, desentralisasi subyek berarti juga memahami manusia bukan sebagai kesadaran atau rasionalitas belaka, sebagaimana dianut oleh humanisme. Manusia sebagai individu adalah semacam ‘masyarakat’ yang terdiri atas banyak sistem di dalamnya, maka humanisme yang menentukan kemanusiaan pada rasionalitasnya adalah musuh berbahaya bagi kemajemukan. Karena berkat kemajemukan internalnya manusia berada dalam lingkungan dan bukan dalam masyarakat, ia tidak akan dapat ‘dihabisi’ oleh rasionalitas ataupun moralitas yang dituturkan sistem komunikasi. Jadi, manusia bisa irrasional dan immoral terhadap sistem komunikasi atau masyarakat, karena ia berada di luarnya, yaitu menjadi bagian lingkungan. Keadaan itulah yang disebut kebebasan.
4. Humanisme Lentur
Sungguh tidak adakah yang masih dapat dibela dalam ide humanisme itu? Di sini kita perlu membedakan antara dua aspek dalam humanisme. Aspek pertama adalah kekuatan kritis-normatifnya yang mampu menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya. Humanisme etis itu berangkat dari suatu keprihatinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ingin melindungi martabat manusia dari kesewenangan apapun, termasuk kesewenangan yang dapat muncul dari agama, ideologi, sains dan pandangan dunia lainnya yang bisa menjadi eksklusivistis. Aspek normatif dan kritis dari humanisme ini dapat membuat kita waspada terhadap berbagai bentuk penindasan kebebasan dan pelecehan akal manusia yang bisa menyelinap dari pembenaran-pembenaran sakral agama dan kekuatan hegemonialnya. Tuhan yang ditolak oleh banyak humanis ateistis, seperti Feuerbach, Nietzsche dan Sartre, adalah juga Tuhan yang ditolak oleh banyak orang yang memiliki kedewasaan iman.
Aspek kedua – bukan sesuatu yang normatif, melainkan faktual - adalah kenyataan bahwa humanisme bagaimanapun sebuah ‘isme’, dan sebagai ‘isme’ ia dapat dilambungkan menjadi sebuah metafisika kemanusiaan yang tidak hanya menjadi total, melainkan juga menjadi ‘kebenaran kaku’ yang eksklusivistis dan hegemonial. Dewasa ini kita memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki para pendahulu kita di masa lalu untuk menyadari bagaimana agama, filsafat, dan gagasan-gagasan besar lain yang mengklaim membela manusia dan kebebasannya telah ikut bersalah terhadap manusia itu sendiri, manakala mereka masuk ke dalam keterlibatan sejarahnya. Di dalam pandangan-pandangan dunia itu, entah itu dari agama (fideisme), sains (saintisme), ataupun filsafat (humanisme), bercokol suatu inti dogmatis atau – seperti telah kita sebut – ‘kebenaran kaku’ yang narsistis, triumphalistis, eksklusivistis dan bahkan patologis. Keyakinan akan kebenaran kaku itu telah membawa manusia ke suatu tempat yang tidak ingin dituju oleh seorangpun yang masih memiliki akal sehat. Metafisika kemanusiaan, seperti juga fanatisme agama, adalah – seperti dianalisis oleh Hermann Broch - gejala hipertrofi (membengkaknya) sebuah nilai yang mengklaim dirinya sebagai pandangan dunia total yang meminggirkan atau menyingkirkan segala yang berbeda dari dirinya.
Yang dapat kita terima di sini adalah aspek kritis dan normatif humanisme yang bagaikan ‘roh’ senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk hegemoni, tidak hanya dari agama, melainkan juga dari sains dan filsafat, yang menindas manusia dan bakat-bakat kodratinya yang tumbuh dari akalnya, rasa perasaannya, dan juga naluri-nalurinya. Aspek kritis-normatif ini bermukim di dalam akal manusia sebagai nilai-nilai kemanusiaan dan dalam hati manusia sebagai ‘perasaan kemanusiaan’ yang bahkan sanggup menilai hipertrofi humanisme dalam nazisme dan komunisme sebagai ‘kejahatan melawan kemanusiaan’. Yang kita tolak adalah hipertrofi nilai humanisme menjadi menjadi metafisika kemanusiaan. Dengan penerimaan dan penolakan itu kita sedang membela suatu bentuk pendirian yang berupaya untuk melepaskan manusia dari tawanan metafisika kemanusiaan dengan cara menyelamatkan aspek kritis-normatif humanisme yang dewasa ini nyata-nyata telah ikut membangun kesadaran akan persaudaraan umat manusia yang melampaui kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama. Karena bertumpu pada kekuatan kritis-normatif humanisme, pendirian itu adalah sebuah humanisme juga yang waspada terhadap totalisasi dan homogenisasi oleh metafika kemanusiaan. Humanisme seperti itu tidak menolak kemungkinan kebenaran agama dan tidak berpegang pada kebenaran-kebenaran kaku dari filsafat (antroposentrisme); ia adalah sebuah bingkai pengetahuan yang ‘lentur’ tempat interseksi berbagai fragmen kebenaran agama, filsafat dan sains. Kita lalu boleh menyebut pendirian itu suatu ‘humanisme lentur’.
Kritik-kritik atas humanisme dari orang-orang yang kita bahas di atas, yaitu dari Heidegger, Derrida, Rorty dan Luhmann, telah membantu kita untuk membongkar bahaya homogenisasi yang dibawa oleh metafisika kemanusiaan. Bagi mereka, humanisme bersifat teroristis karena menindas kemajemukan. Akan tetapi kita menganggap keharusan untuk menghentikan humanisme sepenuhnya sebagai berlebihan. Sekurangnya dua alasan ini dapat kita pikirkan. Pertama, sikap kritis mereka atas humanisme dimungkinkan oleh suatu keprihatinan yang mendasari humanisme, yaitu bagaimana menyelamatkan manusia dari berbagai hegemoni, yang kali ini secara ironis dipraktikkan oleh humanisme. Keprihatinan itu melekat pada aspek kritis-normatif dari humanisme yang di atas kita sebut humanisme etis. Sepenuhnya menghentikan humanisme berarti juga mencekik ‘nyawa’ yang menggerakkan kritik-kritik itu sendiri sehingga kritik-kritik itu menggagalkan tujuannya sendiri. Kedua, kritik-kritik atas humanisme itu sangat sensitif terhadap setiap upaya totalisasi yang dibawa oleh universalisasi kemanusiaan. Penolakan mereka terhadap universalitas kerap disertai kebutaan terhadap bahaya dari sikap mereka sendiri yang condong memuja partikularitas dan heterogenitas, seolah-olah tidak ada sama sekali yang universal dalam kemanusiaan. Narsisme global yang diidap oleh humanisme eksklusivistis peradaban Eropa di sini ditukar dengan narsisme regional aneka kemanusiaan yang takut membangun kebersamaan. Karena dua alasan ini kita tidak ingin menghentikan sepenuhnya ide humanisme. Kita hanya akan menghentikan sebagian saja, yaitu metafisika kemanusiaan yang membuat humanisme menjadi eksklusivistis dan menindas kemajemukan.
Humanisme lentur adalah suatu humanisme tanpa metafisika kemanusiaan. Versi ini tidak bertanya, ukuran-ukuran manakah yang harus kita tetapkan agar seseorang atau suatu kelompok termasuk ke dalam kemanusiaan kita, yaitu ‘orang-orang seperti kita’, melainkan bertanya, bagaimana mencapai titik temu bagi berbagai ukuran yang dimiliki oleh berbagai orang atau kelompok sehingga kita dan mereka dapat mengantisipasi suatu kemanusiaan yang akan datang. Humanisme yang kita bela itu tidak hanya meninggalkan versi eksklusivistis dari humanisme modern, melainkan juga kritis terhadap versi sekularistisnya yang menyangkal semua kebenaran agama.
Dua hal berikut menandai humanisme lentur. Pertama, kelenturannya menyatakan keyakinannya bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin, bukan sebagai ukuran yang ditetapkan sebelumnya secara monologal, melainkan sebagai suatu visi yang diperjuangkan secara dialogal. Seorang humanis yang sudah terbebas dari metafisika kemanusiaan tidak akan memahami tetangganya, pemeluk agama lain atau pendatang asing dengan mengukur mereka dari kodrat umum yang ia yakini sebelumnya, melainkan dengan memasukkan sebanyak mungkin perbedaan untuk memperkaya perspektifnya tentang menjadi manusia. Itulah ‘intertekstualitas’ dalam humanisme yang mencoba memahami manusia tidak dengan menurunkannya dari suatu hakikat atau kodrat, melainkan dengan menganyam berbagai teks atau penafsiran tentang manusia. Humanisme lentur menyelamatkan intuisi kita sehari-hari yang menyebut sikap toleran terhadap perbedaan sebagai ‘manusiawi’, dan sikap kaku yang menyekat-nyekat sesama manusia dalam pagar-pagar suku, agama, ideologi, kelas dst. sebagai ‘tidak manusiawi’. Keterbukaan terhadap perbedaan itu juga diiringi oleh kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, kelas atau ideologi di antara kita karena merasakan kesamaan-kesamaan dalam kenyataan bahwa kita manusia mudah terluka. Dalam humanisme lentur intertektualitas Derrida berpadu dengan sentimentalitas Rorty.
Kedua, kelenturannya juga menyatakan tidak hanya keyakinannya akan potensi epistemis agama-agama yang dapat bertumpang tindih dengan kebenaran-kebenaran yang dicari dalam filsafat dan sains, melainkan juga respeknya pada batas-batas antara iman religius dan rasionalitas. Seorang humanis yang berhasil menolak godaan metafisika kemanusiaan akan menerima religiositas sebagai salah satu dimensi hidupnya tanpa terjerumus ke dalam fideisme. Dia beriman dengan mencari pengertian, dan mengerti tanpa menghalau keyakinan. Akalnya tidak dibebani oleh tugas untuk membuktikan eksistensi Tuhan karena menyadari bahwa tugas seperti itu justru menyangsikan kemahakuasaanNya. Tugas akal bagi seorang humanis pasca metafisika kemanusiaan adalah menunjukkan bahwa manusia itu terbuka terhadap sesuatu yang melampaui dunia ini, dan ini dilakukan tanpa menyangkal keduniawian manusia.
Baginya kebebasan diraih bukan dengan menyingkirkan Tuhan, karena justru misteriNya memberi ruang untuk kebebasan, melainkan lewat keinsyafan akan kontingensi hidupnya. Istilah-istilah, seperti kontigensi ganda (Luhmann), kontigensi bahasa dan diri (Rorty) atau différance (Derrida) menunjukkan bagaimana kebebasan tidak lagi dimengerti dalam kosakata filsafat subyek, seolah-olah manusia adalah pusat yang menentukan segalanya dan menciptakan segalanya, melainkan sebagai kemungkinan-kemungkinan untuk melampaui diri, sebagai keberanian-keberanian untuk mengambil risiko, sebagai kemampuan untuk memberi. Dengan bersikap moderat terhadap akal, kebebasan, dan iman, humanisme yang tanpa narsisme dan triumphalisme kita bela disini menemukan kembali makna ‘kemanusiawian’ di antara puing-puing metafisika kemanusiaan.
[Read More...]
Untuk mereka yang mencerca humanism, ilustrasi berikut mungkin berfaedah. Dulu dan di mana pun, sebelum modernitas, setiap suku bangsa atau setiap bangsa menurut tanah dan darah memandang diri sebagai manusia, sementara orang-orang di luar dianggap liar, barbar atau ‘bukan manusia’. Etnosentrisme macam itu bahkan mendapatkan legitimasi sakral dalam agama-agama dunia manakala orang-orang di luar umatnya disebut ‘kafir’ – sebuah varian dari ‘bukan manusia’. Sudah sejak dini dalam sejarah peradaban, bangsa Yunani dan Romawi kuno meyakinkan bangsa-bangsa lain akan adanya kemanusiaan universal. ‘Manusia’ memang muncul dalam tradisi agama-agama dunia dan dari wahyu yang mereka terima, namun wahyu illahi hanya dapat ditangkap oleh mereka yang beriman kepadanya, sehingga ‘manusia’ versi wahyu itu berciri partikular. ‘Manusia’ yang dibela oleh para leluhur humanisme tersebut berciri kodrati, dimengerti lewat akal belaka tanpa melibatkan wahyu illahi. Segala yang dapat ditangkap oleh akal manusia dapat diterima oleh semua manusia yang berakal, maka ‘manusia’ yang dimengerti para leluhur humanisme ini sungguh-sungguh universal dan tidak tinggal partikular seperti ‘manusia’ dalam agama-agama. Di zaman Renaisans gagasan Yunani Romawi tentang kemanusiaan universal itu dibangkitkan kembali dan berkembang bersama dengan modernitas kita sehingga kita sekarang dimampukan untuk mengatasi etnosentrisme dengan suatu ide abstrak, yakni humanitas.
Prestasi-prestasi peradaban yang disumbangkan oleh humanisme Barat kita nikmati bersama dewasa ini. Humanisme tidak hanya mendasari ide dan praksis hak-hak asasi manusia, civil society, dan negara hukum demokratis, melainkan juga mendorong aksi-aksi solidaritas global yang melampaui negara, ras, agama, kelas sosial, dst., sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai kegiatan institusi PBB. Gagasan tentang toleransi agama adalah prestasi lain yang disumbangkan oleh humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18 kepada peradaban modern. Peradaban modern itu sendiri, dengan berbagai institusinya yang bekerja secara rasional, seperti sains, teknologi, pendidikan, birokrasi dan pasar kapitalis, dibangun di atas premis-premis humanisme. Tanpa peranan abstraksi kemanusiaan universal dan rasionalitas manusia, sistem hukum modern yang memungkinkan kerjasama antarbangsa dan membangkitkan rasa tanggungjawab global terhadap perdamaian dan keutuhan ekologis kiranya akan sulit dibayangkan. Keyakinan rasional akan adanya akal bersama umat manusia ini melandasi berbagai perjuangan untuk menegakkan keadilan dan perdamaian sampai dewasa ini. Dalam arti ini humanisme tidak tinggal menggantung di langit-langit abstrak; ide itu memberi faedah praktis dalam kehidupan kita.
Untuk mereka yang terlalu memuji humanisme dan memperlakukannya sebagai berhala intelektual yang dikira akan menyelamatkan hidup mereka, kritik-kritik terhadap humanisme yang dilontarkan banyak pemikir sejak paruh pertama abad ke-20 yang lalu akan membantu mencelikkan mata mereka. Kuliah umum saya ini akan dipersembahkan baik kepada mereka yang mencurigai humanisme sebagai musuh berbahaya maupun kepada mereka yang memujanya sebagai berhala intelektual. Dalam segala hal di dunia ini kiranya tidak ada sesuatu yang sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk sehingga akal kita masih diberi kesempatan untuk memilih dan mengambil yang baik. Hal itu juga terjadi dengan humanisme. Tidak berlebihan kiranya menyatakan bahwa tugas kita di sini adalah memahami kemanusiaan secara lebih baik dengan mengeluarkannya dari jepitan antihumanisme dan humanisme itu sendiri.
1. Mengakarkan Manusia di Dunia-Sini
Marilah kita mulai dengan sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa humanisme, suatu paham yang menitikberatkan pada manusia, kemampuan-kemampuan kodratinya dan nilai-nilai kehidupan duniawi ini tumbuh dalam sejarah peradaban? Kita dapat mulai menjawab perkara ini dari zaman antik karena bangsa Yunani kuno dengan sistem pendidikannya, paidea, yang mengolah bakat-bakat kodrati manusia dan bangsa Romawi kuno dengan gagasannya tentang manusia sebagai animal rationale dipandang sebagai peletak dasar humanisme universal. Akan tetapi para leluhur peradaban Barat itu tidak menghadapi persoalan dengan sistem teror religius seperti yang dihadapi keturunan mereka di Abad Pertengahan, sehingga humanisme kritis dalam pengertian modern tidak muncul di sana. Humanisme kritis itu dimulai dengan gerakan umanisti pada zaman Renaisans abad ke-14 sampai ke-16 dan memuncak pada humanisme Pencerahan Eropa abad ke-18.
Kita perlu melihat gerakan humanis modern itu sebagai upaya untuk menghargai kembali manusia dan kemanusiaannya dengan memberikan penafsiran-penafsiran rasional yang mempersoalkan monopoli tafsir kebenaran yang dahulu kala dipegang oleh kombinasi ajaib agama dan negara. Kekristenan Abad Pertengahan, lewat Agustinus dari Hippo, memang telah menambahkan aspek adikodrati pada pemahaman tentang manusia yang berkembang di zaman kuno, namun sebagaimana diketahui lewat sejarah, tafsir religio-politis itu pada gilirannya mendominasi masyarakat sehingga manusia dan kemanusiaannya dialienasikan dari keduniawiannya yang otentik. Kekristenan memusatkan diri pada keselamatan jiwa manusia dan sejauh itu sebenarnya juga sebuah humanisme, namun manakala doktrin keselamatan berubah menjadi alat kontrol atas kebebasan individu, yang penting di sini tidak lagi manusia nyata, melainkan agama. Di Eropa Abad Pertengahan ditemukan di mana-mana terlalu banyak agama, terlalu banyak ketakutan akan perkara-perkara di balik kubur, namun terlalu sedikit perhatian dan penghargaan terhadap kehidupan di dunia yang nyata ini. Humanisme tumbuh bagai tunas-tunas muda di tengah-tengah himpitan bangunan usang Abad Pertengahan yang mulai retak di sana-sini.
Humanisme modern yang mengambil sikap kritis terhadap monopoli tafsir kebenaran yang dipegang oleh persekutuan ajaib negara dan agama itu mekar seiring dengan perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Kaum humanis ditandai oleh pendekatan rasional mereka terhadap manusia yang tidak terburu-buru melakukan ‘hubungan singkat’ dengan otoritas wahyu illahi, melainkan lebih dahulu lewat penelitian yang cermat atas ciri keduniawian dan alamiah manusia. Kebudayaan tampil ke depan menggeser agama. Manusia terutama dimengerti dari kemampuan-kemampuan alamiahnya, seperti minat intelektualnya, pembentukan karakternya, apresiasi estetisnya. Perhatian lalu diumpahkan pada toleransi, vitalitas jiwa, keelokan raga, persahabatan dst. Semua itu dicakup dalam kata humanus. Upaya seperti itu dimulai dengan pendamaian antara filsafat (khususnya Aristoteles dan Plato) dan Kitab Suci, kesusastraan Yunani kuno dan ajaran-ajaran wahyu, sebagaimana dapat kita temukan pada Giovanni Pico della Mirandolla (1463-94) atau kadang juga dengan mendukung sistem heliosentrisme yang ditentang otoritas religius waktu itu, sebagaimana dilakukan oleh Giordano Bruno (1548-1600) yang lalu dikejar-kejar sebagai bidaah dan dibakar di Roma. Gerakan humanis ini mulai di Italia, lalu merambat dengan cepat ke Jerman, Prancis, Belanda, dst.
Sulit dipastikan mana yang lebih dahulu berperan dalam modernisasi Barat, humanisme atau ilmu pengetahuan modern, namun kita tidak perlu meragukan bahwa keduanya saling bahu membahu dalam mengokohkan suatu cara berpikir rasional yang menempatkan manusia dan rasionalitasnya sebagai pusat segala sesuatu. René Descartes meletakkan dasar filosofis untuk tendensi baru ini lewat penemuan subyektivitas manusia dalam tesisnya je pense donc je suis (aku berpikir, maka aku ada). Ciri ini lalu disebut ‘antroposentrisme’, untuk menegaskan sikap kritisnya terhadap teosentrisme Abad Pertengahan. Salah satu hal penting yang kerap luput dari perhatian adalah hubungan khas antara perkembangan ilmu-ilmu alam modern dan humanisme modern yang semakin skeptis terhadap agama. Isaac Newton (1643-1727) dengan fisikanya memberi kita suatu keyakinan rasional bahwa alam bekerja secara mekanistis seperti sebuah arloji, dan akal budi manusia dapat menyingkap hukum-hukum yang bekerja di belakang proses-proses alamiah. Rasionalisme dan empirisme abad ke-17 bahkan sampai pada suatu tilikan yang mencerahkan bahwa hukum-hukum alam itu tidak lain daripada hukum-hukum akal budi itu sendiri, sehingga semakin dalam kita menyingkap proses kerja akal kita, semakin luas pula pengetahuan kita tentang cara kerja semesta. Kaitannya dengan humanisme yang kritis terhadap otoritas wahyu juga jelas karena pencerahan mengenai korelasi antara hukum alam dan hukum akal budi itu juga ditemukan oleh para pemikir abad ke-18 di wilayah moralitas. Kaum agnotis, the deists ataupun ateis pada masa itu yang banyak menulis buku-buku kontroversial mencoba meyakinkan para pembaca mereka bahwa kekuasaan Tuhan tidak lagi dapat dilacaki pada mukjizat-mukjizatNya, melainkan pada arloji semesta yang mencerminkan suatu desain illahi. Karena itu juga moralitas tidak harus diturunkan dari wahyuNya, melainkan cukup disimpulkan dari asas-asas di dalam akal budi kita sendiri dan mekanisme alam. Lalu tidak perlu dijelaskan panjang lebar bahwa sesuatu seperti hukum alam juga bekerja di dalam transaksi pasar, sebagaimana ditemukan oleh Adam Smith dan kaum fisiokrat.
Ditinjau dari sisi tertentu, humanisme seperti berupaya untuk merebut manusia dari alienasi oleh obsesi masyarakat pada dunia-sana dan mengakarkannya kembali ke dunia-sini. Lewat ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu kemanusiaan, sejak abad ke-17 dalam empirisme Inggris sampai abad ke-19 dalam romantisme Prancis, gerakan ini menyuburkan penelitian-penelitian atas apa yang disebut ‘manusia alamiah’. Manusia alamiah itu bukanlah makhluk berdosa asal yang diusir dari firdaus yang lalu membutuhkan rahmat Tuhan untuk keselamatannya, melainkan suatu makhluk yang memiliki kebebasan dan akal, sekaligus juga – seperti binatang – didorong oleh naluri-nalurinya. Para teoretikus kontrak dari Hobbes sampai Rousseau ingin menjelaskan ‘mekanisme sosial’ dengan mekanisme kepentingan-diri atau kepentingan sosial yang pada akhirnya dapat dikembalikan pada kecenderungan naluriah untuk mencari kenikmatan dan menghindari rasa sakit. Dalam biologi abad ke-18, klasifikasi makhluk hidup yang dilakukan oleh Carl von Linné hanyalah awal dari upaya melihat manusia sebagai salah satu spesies hewan, sebelum Charles Darwin di abad ke-19 lewat teori evolusinya sama sekali meruntuhkan gambaran sakral tentang manusia yang berabad-abad diimani dalam agama. Humanisme seakan berkata bahwa manusia berasal dari dunia-sini dan bukan roh dunia-sana yang terperangkap dalam daging.
2. Menimbang Humanisme Ateistis
Humanisme kerap disejajarkan dengan ateisme, sekularisme atau bahkan filsafat Barat itu sendiri. Anggapan seperti itu tidak seluruhnya tepat, karena humanisme memiliki cakupan yang lebih luas dan dalam daripada sekedar humanisme ateistis. Di sini dapat didaftar, misalnya, humanisme Kristiani, humanisme Islam, humanisme kultural, humanisme eksistensial-teistis dst. yang memaknai pentingnya kemanusiaan dan kehidupannya di dunia-sini tanpa mengesampingkan kepercayaan akan Tuhan. Kiranya justru kalangan-kalangan agamalah yang paling getol memberi pengertian sempit itu karena mereka berangkat dari suatu kecurigaan terhadap pendekatan-pendekatan rasionalistis sebagai ancaman bagi iman akan wahyu illahi. Penggunaan akal dalam beragama dianggap dapat menerjang batas-batas doktriner dan bahkan dapat menggiring pada kesangsian terhadap otoritas sakral dan tradisi religius yang dijaga selama berabad-abad. Jika kita mengikuti ulasan di atas, akan jelas bahwa humanisme yang mereproduksi kecurigaan terhadap agama itu berbalas kecurigaan terhadapnya yang pada gilirannya menyempitkan pengertiannya pada ateisme dan sekularisme. Sudah barang tentu sikap saling curiga itu tidak menolong dan bahkan merugikan kemanusiaan itu sendiri.
Semua humanisme dapat dipandang sebagai suatu upaya intelektual yang gigih untuk memaknai kemanusiaan dan keterlibatan manusia di dalam dunianya. Upaya ini dilakukan dengan menggali tradisi kultural, seperti yang terjadi dalam humanisme Renaisans, untuk mengimbangi obsesi pada aspek-aspek adikodrati manusia sebagaimana banyak ditekankan oleh agama. Untuk lepas dari dogmatisme agama, tidak jarang humanisme memilih strategi yang lebih tegas, yaitu mendekati gejala-gejala manusia dengan ilmu-ilmu empiris yang berujung pada penjelasan-penjelasan naturalistis tentang manusia, sebagaimana banyak dijumpai pada para fisiokrat, the deists, dan kaum materialis di abad ke-18. Dalam upayanya untuk merebut manusia dari tafsiran-tafsiran teosentris agama, humanisme bahkan juga mengambil strategi yang ekstrem dengan menolak keyakinan religius dan peranannya dalam kesadaran manusia, sebagaimana dilakukan oleh para humanis ateistis yang baru saja kita bahas. Pertanyaan kita di atas harus kita jawab sekarang: Apakah kontribusi humanisme ateistis bagi pemahaman tentang manusia dan kemanusiaannya?
Sejauh kita mengambil segi positifnya, radikalisasi ‘moral rasional’ adalah sumbangan pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the deists di abad ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun perananNya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali. Bisa dikatakan bahwa humanisme ateistis membawa moral rasional itu sampai ke tepian akhir imanensi manusia untuk menemukan prinsip-prinsip kebaikan yang murni manusiawi tanpa transendensi. Moral rasional seperti ini dapat memberi platform bersama suatu masyarakat yang ditandai oleh persaingan berbagai doktrin religius. Moral rasional itu tidak dikhususkan pada iman religius tertentu, maka membantu toleransi di dalam masyarakat modern yang semakin kompleks.
Sumbangan kedua humanisme ateistis adalah kritik agama itu sendiri sebagai suatu pendekatan rasional untuk memurnikan iman religius. Ateisme adalah satu hal, tetapi kritik agama adalah hal lain. Orang yang percaya pada Tuhan dapat memanfaatkan kritik agama tanpa harus mengambil sikap ateistis. Kritik agama membantunya untuk memeriksanya untuk mengambil jarak kritis terhadap penghayatannya. Sebagai pandangan dunia total, agama mengklaim kebenaran absolutnya sehingga tak seorangpun berani mempersoalkannya. Akalpun dikebiri demi iman yang buta yang pada gilirannya menginduk pada otoritas yang disakralkan. Keadaan itu tidak bisa disebut manusiawi, karena bakat-bakat rasional manusia ditindas. Bagaikan bubuk mesiu yang meletus dan mengganggu telinga, kritik agama menggugah orang beragama untuk – meminjam istilah Kant – “terjaga dari tidur dogmatis”nya.
Betapapun sucinya, agama melibatkan banyak hal yang bersifat manusiawi dan duniawi, seperti: imajinasi sosial manusia, kepentingan kelasnya, sistem pengetahuannya, tradisi kulturalnya. Dengan hanya percaya saja, yaitu tanpa juga berpikir, gambaran tentang Tuhan lama kelamaan dipercaya sebagai Tuhan itu sendiri, padahal gambaran tentangNya dibangun oleh sejarah, kekuasaan dan kebudayaan manusia. Feuerbach, Marx, Comte, Nietzsche dan Sartre benar bahwa sesuatu yang dihasilkan oleh pikiran telah mengasingkan manusia dan memasung kebebasannya. Mereka menyebut itu “Tuhan”, tetapi kita menyebutnya dengan lebih tepat, yaitu: gambaran tentang Tuhan. Jika yang dipersoalkan adalah gambaran Tuhan, kritik agama mereka akan sangat menolong umat beragama untuk membersihkan imannya dari delusi-delusi. Dalam arti ini humanisme ateistis justru dapat menjadi jalan untuk mengakui transendensi dan kemutlakan Tuhan yang berada di luar gambaran-gambaran kita. Bukan Tuhan, melainkan gambaran Tuhan yang kelirulah yang sesungguhnya telah mereka bunuh. Jika berhala-berhala pikiran disembah sebagai theos, untuk menjadi seorang teis sejati, diperlukan sikap ateis, yakni menolak meyakini theos palsu itu.
Berkembangnya ilmu-ilmu empiris yang meneliti agama kiranya merupakan sumbangan ketiga yang bersifat pragmatis dari humanisme ateistis. Jauh sebelum munculnya para ateis itu, apa yang disebut ilmu agama tidak kurang daripada suatu teologi yang menjelaskan, membenarkan dan membela iman sendiri. Dewasa ini dunia ilmu dan pendidikan tinggi telah memiliki dan mengembangkan berbagai ilmu empiris dan percabangan mereka, seperti psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, sejarah agama-agama dst. yang memperlakukan gejala-gejala agama, seperti mistik, trance, bahasa roh, penyembuhan lewat iman, kemartiran dst. sebagai gejala-gejala manusiawi yang dijelaskan secara rasional dan empiris. Humanisme ateistis banyak mendorong peralihan sudut pandang dari ‘perspektif penghayat’ ke ‘perspektif pengamat’ yang banyak membantu mengembangkan etos riset ilmiah tentang agama yang hari ini dimiliki dunia ilmu. Bersama dengan moral rasional dan kritik agama, ilmu-ilmu empiris tentang agama banyak membantu umat beragama sendiri dalam menghayati imannya secara dewasa tanpa mengesampingkan peranan akal. Ini terjadi dalam banyak studi baik di kalangan Katholik maupun Protestan di Barat untuk merekonstruksi suatu teologi yang sesuai dengan kompleksitas dunia modern kita dan karenanya juga menolong penghayatan iman yang lebih transformatif dan toleran.
3. Kritik-kritik atas Humanisme
Humanisme sebagai suatu proyek peradaban memiliki karir yang tidak diduga oleh para perintisnya karena ia menjadi eksklusivistis dalam kolonialisme dan totalitarianisme. Kemanusiaan disempitkan pada peradaban tertentu, ras tertentu atau kelas sosial tertentu, sehingga manusia konkret ditindas dengan pembenaran-pembenaran antroposentris. Manusia konkret diremehkan dan digilas oleh kekuatan-kekuatan asing yang bernama peradaban, ideologi atau teror yang semua itu hanya mungkin tumbuh dalam antroposentrisme yang diajarkan humanisme. Dengan kolonialisme dan totalitarianisme itu, dewasa ini muncul sikap skeptis yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap humanisme modern. Kita sedang menapaki suatu era yang dapat kita sebut ‘pasca-humanisme’. Kita memang menikmati hasil-hasil positif gerakan humanisme seperti telah saya sebut pada permulaan kuliah ini. Ketika berbicara tentang hak-hak asasi manusia, misalnya, mau tidak mau mengandaikan banyak hal yang merupakan prestasi gerakan humanisme modern, seperti penghargaan terhadap kebebasan, rasionalitas dan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Pada saat yang sama kita tahu bahwa konsep kemanusiaan universal dan ciri keduniawian yang dibawanya mengandung bahaya yang sama besarnya dengan konsep Tuhan dari agama manapun, jika konsep-konsep itu dimengerti secara eksklusivistis dengan menyingkirkan manusia konkret dalam segala keberlainan kultural, ras, jender maupun kelasnya. Dilema dalam humanisme itu mendesak kita untuk menimbang ulang makna manusia dan kemanusiaan dalam humanisme. Kita akan masuk dalam kritik-kritik atas humanisme dan kemudian memberikan pendirian kita sendiri.
Di dalam sebuah tulisannya, Geheimnis der Sprache Johann Peter Hebels (Rahasia Bahasa Johann Peter Hebel), filsuf besar abad ke-20, Martin Heidegger, menulis – saya kutip aslinya – “Eigentlich spricht die Sprache, nicht der Mensch. Der Mensch spricht erst, insofern er jeweils der Sprache ent-spricht.” (sesungguhnya bahasa berbicara, bukan manusia. Manusia berbicara baru sejauh ia selalu sesuai dengan bahasa). Manusia memang berbicara, yaitu menuturkan bahasa, tetapi bahasa harus didengarkan lebih dahulu, baru kemudian ia bisa berbicara. Yang didengarkan itu tak lain daripada bahasa yang meneguhkan hakikatnya. Bahasa primordial yang membuat manusia menjadi manusia itu adalah bahasa ibu, bahasa yang dituturkan dalam sebuah komunitas konkret. Jika demikian, manusia dan kemanusiaan ditemukan atau – lebih tepat – dibuat lewat percakapan, yaitu yang dituturkan oleh suatu kelompok. Dengan mengucapkannya lagi dan lagi, manusia dan kemanusiaan menjadi semakin nyata. Dalam arti ini kita boleh mengatakan bahwa manusia belum ada sebelum Renaisans karena ia belum menjadi tema tuturan sebagaimana terjadi dalam filsafat dan ilmu-ilmu kemanusiaan modern.
Pandangan Heidegger itu ikut menandai linguistic turn di dalam filsafat abad ke-20 yang melihat humanisme sebagai perkara diskursus yang tidak hanya dituturkan dalam sebuah forum, melainkan menjadi pusat tuturan dan pengetahuan suatu zaman, yaitu modernitas. Sejak awal tadi kita terlibat dengan kata-kata abstrak “manusia” dan “kemanusiaan” yang menjadi pokok persoalan dalam humanisme. Kata-kata yang terus dituturkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan itu memiliki asal-usul metafisis sekaligus juga mendasari suatu metafisika. ‘Kemanusiaan’ adalah sebuah diskursus tentang ‘hakikat’ yang dapat kita sebut “metafisika kemanusiaan”. Dalam metafisika kemanusiaan itu menurut Heidegger humanisme melupakan hubungan ‘hakikat’ itu dengan ‘Ada’ (Sein). Hakikat tidak sama dengan ‘Ada’, melainkan bagaimana ‘Ada’ menyingkapkan dirinya akan juga menentukan bagaimana ‘hakikat’ itu ditangkap. Humanisme merupakan bagian dari sejarah pemahaman tentang ‘Ada’ yang menjelaskan ‘hakikat’ sebagai sesuatu yang permanen, tertata rasional dan universal seperti alam semesta yang ditemukan oleh Newton.
Para kritikus humanisme di abad ke-20 ingin membebaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang memahami Manusia sebagai pusat kenyataan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan baru dalam sains kontemporer yang banyak mempersoalkan pandangan dunia Newtonian ikut mempengaruhi skeptisisme terhadap metafisika kemanusiaan itu. Dalam mekanika kuantum dan teori relativitas, misalnya, gambaran dunia yang deterministis dibantah dengan indeterminisme. Kenyataan alamiah itu sendiri, partikel, bukanlah suatu substansi seperti yang dicari dalam metafisika, melainkan suatu gerak yang selalu berubah. Bagaimana konstruksi teoretis tentang obyek alamiah itu juga menentukan bagaimana obyek itu menampakkan diri. Jika demikian, antroposentrisme selama berabad-abad juga dapat dilihat sebagai suatu konstruksi metafisis yang membuat kita secara intelektual terobsesi untuk mengunggulkan universalitas kemanusiaan, dan itu dilakukan dengan meminggirkan kebudayaan, agama, jender, dst. Metafisika kemanusiaan yang mendasari humanisme modern lalu ditantang sekurangnya dari tiga arah yang sejak awal dibangun oleh humanisme, yaitu metafisika, kebudayaan dan masyarakat. Masing-masing diwakili oleh Jacques Derrida, Richard Rorty, Niklas Luhmann.
Derrida belajar banyak dari Heidegger untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan. Filsuf Prancis kontemporer ini memberi penjelasan yang lebih rinci mengenai keadaan manusia setelah dilepaskan dari pusat kenyataan dan menjadi ‘tetangga Ada’ itu (ingat ‘tetangga’ tidak menyiratkan suatu hirarki makna, melainkan kesetaraan makna). Pertama-tama dia menghentikan seluruh upaya untuk menemukan makna asli dari segala sesuatu yang menjadi obsesi peradaban Barat sejak ada filsafat, yaitu menghentikan pencarian ‘hakikat’. Pencarian humanisme akan ‘kodrat’ manusia dengan demikian juga dihentikan. Mengapa? Bukan hanya bahwa pencarian itu sia-sia, melainkan juga bahwa upaya itu – dengan segala ketulusannya sekalipun – akan membangun suatu rezim makna yang bersifat hirarkis yang akan meminggirkan hal-hal yang tidak dapat dimasukkan ke dalam makna yang dianggap asli itu, kolonialisme dan totalitarianisme yang kita bahas di atas? Bukankah dari oposisi antara asli dan tak asli, hakiki dan tak hakiki, muncul marginalisasi, alienasi, represi dan destruksi atas the other sebagai ‘yang tidak asli’ sebagaimana dilakukan tuan-tuan penjajah, komunis dan nazi?
Untuk menghentikan pencarian hakikat – dalam topik kita di sini Manusia dengan huruf besar M dan melepaskan manusia dari pusat kenyataan - Derrida melakukan suatu hermeneutik (penafsiran) radikal yang disebutnya ‘dekonstruksi’. Dekonstruksi bukanlah destruksi, melainkan suspensi makna atau différance, yaitu menunda untuk mengembalikan sesuatu pada makna aslinya. Kemanusiaan tidak bisa dikembalikan pada satu titik primordial, misalnya, ‘kemanusiaan universal versi humanisme’, karena titik primordial itu tidak ada. Jika tahta tempat segala makna ditentukan itu kosong, tidak ada lagi meta-referensi yang menjadi ukuran untuk menentukan sesuatu itu asli atau tidak. Makna lalu tidak lagi diasalkan pada makna induk yang dianggap menduduki tahta itu, melainkan dihasilkan dengan apa yang disebut ‘intertekstualitas’, yaitu menghubung-hubungkan makna yang satu dengan makna yang lain secara interpretatif. Melakukan dekonstruksi atas metafisika kemanusiaan lalu berarti memahami manusia tidak dengan cara mengasalkannya dari suatu makna induk tentang kemanusiaan, misalnya kemanusiaan yang dianggap telah ditemukan oleh humanisme, melainkan dengan menghubung-hubungkan secara interpretatif pemahaman yang satu dengan yang lain tentang manusia tanpa maksud untuk mencari dan memulihkan hakikat universalnya. Dengan ungkapan lain, Manusia dengan huruf besar M diganti dengan manusia-manusia dengan huruf kecil m yang berdiri setara. Pertukaran M dengan m ini memiliki implikasi yang jauh: Kemanusiaan universal versi humanisme didesentralisasikan dan dipluralisasikan. Untuk memahami manusia kita tidak bisa lain kecuali menafsirkan berbagai pemahaman kultural tentang manusia dengan mengandaikan kesetaraan mereka.
Bersama dengan seluruh filsuf kontemporer yang melakukan linguistic turn, seperti strukturalis dan pasca strukturalis, Rorty, seorang pragmatis Amerika Serikat, memandang humanisme sebagai perkara kontigensi bahasa. Mengacu pada Wittgenstein dan tradisi hermeneutik, dia menolak fungsi bahasa sebagai deskripsi dunia, seolah-olah dunia ada di luar bahasa. Menurutnya bahasa menciptakan dunia, dan sejarah tidak lain daripada perubahan semena-mena dari language game yang satu ke yang lain, maka kenyataan juga berubah menurut perubahan language game itu. Setuju dengan Derrida yang menolak makna asli atau hakikat, Rorty menolak adanya ‘kosakata akhir’ yang dapat dipakai sebagai tolok ukur bagi kebenaran language games, sebab tak seorangpun memiliki sudut pandang yang mengatasi sejarah, sebagaimana dikira telah dimiliki oleh para humanis yang yakin telah melihat kemanusiaan lebih hakiki daripada orang-orang lain. Kita berada di dalam language game dan mendunia di dalamnya, maka bagaimana kemanusiaan dimengerti juga tergantung pada kontingensi bahasa. Ilmu pengetahuan, seni, kebudayaan dan politik bagi Rorty bergerak dalam horizon language games yang terus berubah dalam sejarah.
Penolakan Rorty terhadap kosakata akhir memiliki konsekuensi bahwa pandangan humanisme tentang adanya ‘inti diri’ yang tetap dan universal, seperti kesadaran atau akalnya, juga harus ditolak. Manusia bergerak atau – lebih tepat – ‘merangkak’ di dalam language games, maka kediriannya juga dicetak oleh dan berubah sesuai berbagai pemakaian metafor yang silih berganti dalam sejarah. Yang ditolak di sini adalah antroposentrisme Kant yang menempatkan subyek sebagai kosakata akhir yang seolah berada di luar language games. “Pandangan Kant tentang kesadaran”, begitu katanya,”membuat kedirian menjadi Tuhan”. Yang sebenarnya terjadi menurut Rorty adalah bahwa penemuan akal sebagai hakikat manusia dalam humanisme tidak lain daripada penemuan bahasa baru atau metafor baru yang juga akan berubah lagi pada suatu ketika dengan ditemukannya metafor lain. Semua argumentasi Rorty ini ditujukan untuk melepaskan manusia dari metafisika kemanusiaan yang dianut oleh humanisme sehingga manusia tidak lagi berada di pusat kenyataan.
Pertanyaan kita lalu: Untuk apakah decentring of subject ini? Bagi Rorty hal itu bersangkutan dengan masalah pragmatis yang sebenarnya mendasari humanisme modern, yaitu solidaritas sosial. Ia berpendapat bahwa selama kita masih meyakini adanya ’inti diri’ atau Manusia dengan huruf besar M itu, keyakinan itu justru akan menghalangi solidaritas kita dengan orang-orang lain. Tuan-tuan penjajah, orang-orang nazi dan komunis meyakini adanya ‘inti bersama’ kemanusiaan yang justru tidak mereka temukan pada para korbannya. Jika mereka menganiaya orang-orang itu, mereka tidak merasa telah menganiaya manusia. Konsep subyek seperti yang dianut Kant dan humanisme menurut Rorty juga tidak banyak berguna untuk membangkitkan solidaritas dengan para korban. Orang menolong para tetangga Yahudinya bukan karena mereka adalah “makhluk rasional”, melainkan karena mereka sama-sama penduduk Milano, anggota serikat buruh, bapak atau ibu dari anak-anak mereka yang masih kecil dst. Menurut Rorty untuk membangkitkan solidaritas kemanusiaan tidak perlu dirumuskan secara metafisis, melainkan dialami secara sentimental. Di sini Rorty melanjutkan hasil dekonstruksi Derrida atas kemanusiaan. Jika hakikat universal manusia ditolak, memahami manusia harus secara intertekstual, dan intertekstualitas secara konkret bagi Rorty berarti sentimentalitas, yaitu suatu kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, ras, adat dst. karena mampu melihat dan ikut merasakan kesamaan-kesamaan dalam penderitaan dan pelecehan yang dialami orang lain. Kemampuan sentimental inilah yang membuat orang-orang di seberang lautan juga bisa “termasuk ke dalam kita”. Metafisika kemanusiaan harus dilampaui dengan kemanusiaan sentimental yang memperluas horizon kemanusiaan lewat “rasa kekitaan”.
Salah seorang kritikus di Jerman kontemporer yang menolak humanisme demi menyelamatkan kemajemukan adalah Niklas Luhmann. Berbeda dari Derrida dan Rorty yang melibatkan diri dengan hermeneutik makna, Luhmann bergerak dalam teori sistem. Antroposentrisme yang disebutnya ‘teori-teori Eropa tua’ bercokol tidak hanya dalam metafisika dan kebudayaan modern, melainkan juga dalam pandangan tentang masyarakat yang sudah dianut sejak Aristoteles, melalui teori-teori kontrak memuncak pada Hegel. Dalam pandangan kuno itu, masyarakat terdiri dari manusia-manusia, dan manusia berada pada pusat masyarakat, yakni bahwa manusia adalah asal dan tujuan masyarakat, maka masyarakat ada demi manusia. Luhmann mengambil jarak terhadap pandangan itu. Jika Darwin dengan teori evolusinya telah mengeluarkan manusia dari pusat alam semesta, dan Freud dengan psikoanalisisnya telah mengeluarkan manusia dari pusat kesadaran, Luhmann dengan teori sistemnya ingin mengeluarkan manusia dari pusat masyarakat.
Luhmann melontarkan kritiknya atas humanisme dengan caranya yang khas, yaitu memahami manusia bukan sebagai bagian masyarakat, melainkan sebagai bagian lingkungan masyarakat. Dalam teori sistemnya termasyhur distingsi antara sistem (System) dan lingkungan (Umwelt). Sistem selalu merupakan reduksi kompleksitas, maka lingkungan selalu lebih kompleks daripada sistem. Masyarakat adalah suatu sistem, sistem komunikasi. Kalau demikian, manusia tidak berada di dalam masyarakat, melainkan di luarnya, yaitu dalam lingkungan. Mengapa? Karena manusia bukan sistem komunikasi saja. Manusia terdiri dari banyak sistem, antara lain; sistem-sistem organis (otak, pencernaan, hormon, otot, dst.), sistem-sistem psikis (kesadaran) dan sistem-sistem semiotis (komunikasi atau bahasa). Hanya sebagian saja dari manusia yang masuk ke dalam masyarakat, yaitu komunikasinya, tetapi komunikasi itu pun akan bergerak sendiri sebagai sistem yang mereproduksi dirinya. Luhmann menyebut kemampuan sistem untuk menghasilkan dirinya itu ‘autopoiesis’. Karena komunikasi, begitu menjadi sistem, lepas dari penuturnya dan menghasilkan dirinya, sistem komunikasi itu subjectless. Komunikasi tidak lagi bisa diasalkan pada manusia; ia menjadi anonim, sehingga kita dapat berkata bahwa bukan manusia-manusia yang berkomunikasi dalam masyarakat, melainkan komunikasi berkomunikasi dengan komunikasi. Manusia versi humanisme, yaitu subyek atau kesadaran, adalah sistem psikis, suatu sistem tersendiri yang juga autopoietis yang berada di luar masyarakat, yaitu di dalam lingkungan bagi sistem komunikasi.
Di dalam pemikiran Luhmann decentring of subject terjadi dalam dua arti. Pertama, manusia tidak lagi dipahami sebagai pusat masyarakat karena ia qua sistem psikis tidak memiliki kedudukan istimewa di atas sistem-sistem lainnya, melainkan sederajad dengan mereka. Karena itu, demikian tulis Luhmann, “manusia tidak lagi merupakan ukuran masyarakat. Gagasan humanisme ini tidak dapat berlanjut.” Di dalam kompleksitas sosial pasca humanisme menurutnya tidak ada ukuran yang menjadi pusat segalanya; tiap sistem memiliki ukurannya masing-masing yang tidak dapat diukur oleh suatu – sebut saja – ‘meta-norma’ sebagai ukuran terakhir. Kedua, desentralisasi subyek berarti juga memahami manusia bukan sebagai kesadaran atau rasionalitas belaka, sebagaimana dianut oleh humanisme. Manusia sebagai individu adalah semacam ‘masyarakat’ yang terdiri atas banyak sistem di dalamnya, maka humanisme yang menentukan kemanusiaan pada rasionalitasnya adalah musuh berbahaya bagi kemajemukan. Karena berkat kemajemukan internalnya manusia berada dalam lingkungan dan bukan dalam masyarakat, ia tidak akan dapat ‘dihabisi’ oleh rasionalitas ataupun moralitas yang dituturkan sistem komunikasi. Jadi, manusia bisa irrasional dan immoral terhadap sistem komunikasi atau masyarakat, karena ia berada di luarnya, yaitu menjadi bagian lingkungan. Keadaan itulah yang disebut kebebasan.
4. Humanisme Lentur
Sungguh tidak adakah yang masih dapat dibela dalam ide humanisme itu? Di sini kita perlu membedakan antara dua aspek dalam humanisme. Aspek pertama adalah kekuatan kritis-normatifnya yang mampu menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya. Humanisme etis itu berangkat dari suatu keprihatinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ingin melindungi martabat manusia dari kesewenangan apapun, termasuk kesewenangan yang dapat muncul dari agama, ideologi, sains dan pandangan dunia lainnya yang bisa menjadi eksklusivistis. Aspek normatif dan kritis dari humanisme ini dapat membuat kita waspada terhadap berbagai bentuk penindasan kebebasan dan pelecehan akal manusia yang bisa menyelinap dari pembenaran-pembenaran sakral agama dan kekuatan hegemonialnya. Tuhan yang ditolak oleh banyak humanis ateistis, seperti Feuerbach, Nietzsche dan Sartre, adalah juga Tuhan yang ditolak oleh banyak orang yang memiliki kedewasaan iman.
Aspek kedua – bukan sesuatu yang normatif, melainkan faktual - adalah kenyataan bahwa humanisme bagaimanapun sebuah ‘isme’, dan sebagai ‘isme’ ia dapat dilambungkan menjadi sebuah metafisika kemanusiaan yang tidak hanya menjadi total, melainkan juga menjadi ‘kebenaran kaku’ yang eksklusivistis dan hegemonial. Dewasa ini kita memiliki hak istimewa yang tidak dimiliki para pendahulu kita di masa lalu untuk menyadari bagaimana agama, filsafat, dan gagasan-gagasan besar lain yang mengklaim membela manusia dan kebebasannya telah ikut bersalah terhadap manusia itu sendiri, manakala mereka masuk ke dalam keterlibatan sejarahnya. Di dalam pandangan-pandangan dunia itu, entah itu dari agama (fideisme), sains (saintisme), ataupun filsafat (humanisme), bercokol suatu inti dogmatis atau – seperti telah kita sebut – ‘kebenaran kaku’ yang narsistis, triumphalistis, eksklusivistis dan bahkan patologis. Keyakinan akan kebenaran kaku itu telah membawa manusia ke suatu tempat yang tidak ingin dituju oleh seorangpun yang masih memiliki akal sehat. Metafisika kemanusiaan, seperti juga fanatisme agama, adalah – seperti dianalisis oleh Hermann Broch - gejala hipertrofi (membengkaknya) sebuah nilai yang mengklaim dirinya sebagai pandangan dunia total yang meminggirkan atau menyingkirkan segala yang berbeda dari dirinya.
Yang dapat kita terima di sini adalah aspek kritis dan normatif humanisme yang bagaikan ‘roh’ senantiasa waspada terhadap berbagai bentuk hegemoni, tidak hanya dari agama, melainkan juga dari sains dan filsafat, yang menindas manusia dan bakat-bakat kodratinya yang tumbuh dari akalnya, rasa perasaannya, dan juga naluri-nalurinya. Aspek kritis-normatif ini bermukim di dalam akal manusia sebagai nilai-nilai kemanusiaan dan dalam hati manusia sebagai ‘perasaan kemanusiaan’ yang bahkan sanggup menilai hipertrofi humanisme dalam nazisme dan komunisme sebagai ‘kejahatan melawan kemanusiaan’. Yang kita tolak adalah hipertrofi nilai humanisme menjadi menjadi metafisika kemanusiaan. Dengan penerimaan dan penolakan itu kita sedang membela suatu bentuk pendirian yang berupaya untuk melepaskan manusia dari tawanan metafisika kemanusiaan dengan cara menyelamatkan aspek kritis-normatif humanisme yang dewasa ini nyata-nyata telah ikut membangun kesadaran akan persaudaraan umat manusia yang melampaui kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama. Karena bertumpu pada kekuatan kritis-normatif humanisme, pendirian itu adalah sebuah humanisme juga yang waspada terhadap totalisasi dan homogenisasi oleh metafika kemanusiaan. Humanisme seperti itu tidak menolak kemungkinan kebenaran agama dan tidak berpegang pada kebenaran-kebenaran kaku dari filsafat (antroposentrisme); ia adalah sebuah bingkai pengetahuan yang ‘lentur’ tempat interseksi berbagai fragmen kebenaran agama, filsafat dan sains. Kita lalu boleh menyebut pendirian itu suatu ‘humanisme lentur’.
Kritik-kritik atas humanisme dari orang-orang yang kita bahas di atas, yaitu dari Heidegger, Derrida, Rorty dan Luhmann, telah membantu kita untuk membongkar bahaya homogenisasi yang dibawa oleh metafisika kemanusiaan. Bagi mereka, humanisme bersifat teroristis karena menindas kemajemukan. Akan tetapi kita menganggap keharusan untuk menghentikan humanisme sepenuhnya sebagai berlebihan. Sekurangnya dua alasan ini dapat kita pikirkan. Pertama, sikap kritis mereka atas humanisme dimungkinkan oleh suatu keprihatinan yang mendasari humanisme, yaitu bagaimana menyelamatkan manusia dari berbagai hegemoni, yang kali ini secara ironis dipraktikkan oleh humanisme. Keprihatinan itu melekat pada aspek kritis-normatif dari humanisme yang di atas kita sebut humanisme etis. Sepenuhnya menghentikan humanisme berarti juga mencekik ‘nyawa’ yang menggerakkan kritik-kritik itu sendiri sehingga kritik-kritik itu menggagalkan tujuannya sendiri. Kedua, kritik-kritik atas humanisme itu sangat sensitif terhadap setiap upaya totalisasi yang dibawa oleh universalisasi kemanusiaan. Penolakan mereka terhadap universalitas kerap disertai kebutaan terhadap bahaya dari sikap mereka sendiri yang condong memuja partikularitas dan heterogenitas, seolah-olah tidak ada sama sekali yang universal dalam kemanusiaan. Narsisme global yang diidap oleh humanisme eksklusivistis peradaban Eropa di sini ditukar dengan narsisme regional aneka kemanusiaan yang takut membangun kebersamaan. Karena dua alasan ini kita tidak ingin menghentikan sepenuhnya ide humanisme. Kita hanya akan menghentikan sebagian saja, yaitu metafisika kemanusiaan yang membuat humanisme menjadi eksklusivistis dan menindas kemajemukan.
Humanisme lentur adalah suatu humanisme tanpa metafisika kemanusiaan. Versi ini tidak bertanya, ukuran-ukuran manakah yang harus kita tetapkan agar seseorang atau suatu kelompok termasuk ke dalam kemanusiaan kita, yaitu ‘orang-orang seperti kita’, melainkan bertanya, bagaimana mencapai titik temu bagi berbagai ukuran yang dimiliki oleh berbagai orang atau kelompok sehingga kita dan mereka dapat mengantisipasi suatu kemanusiaan yang akan datang. Humanisme yang kita bela itu tidak hanya meninggalkan versi eksklusivistis dari humanisme modern, melainkan juga kritis terhadap versi sekularistisnya yang menyangkal semua kebenaran agama.
Dua hal berikut menandai humanisme lentur. Pertama, kelenturannya menyatakan keyakinannya bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin, bukan sebagai ukuran yang ditetapkan sebelumnya secara monologal, melainkan sebagai suatu visi yang diperjuangkan secara dialogal. Seorang humanis yang sudah terbebas dari metafisika kemanusiaan tidak akan memahami tetangganya, pemeluk agama lain atau pendatang asing dengan mengukur mereka dari kodrat umum yang ia yakini sebelumnya, melainkan dengan memasukkan sebanyak mungkin perbedaan untuk memperkaya perspektifnya tentang menjadi manusia. Itulah ‘intertekstualitas’ dalam humanisme yang mencoba memahami manusia tidak dengan menurunkannya dari suatu hakikat atau kodrat, melainkan dengan menganyam berbagai teks atau penafsiran tentang manusia. Humanisme lentur menyelamatkan intuisi kita sehari-hari yang menyebut sikap toleran terhadap perbedaan sebagai ‘manusiawi’, dan sikap kaku yang menyekat-nyekat sesama manusia dalam pagar-pagar suku, agama, ideologi, kelas dst. sebagai ‘tidak manusiawi’. Keterbukaan terhadap perbedaan itu juga diiringi oleh kemampuan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan suku, agama, kelas atau ideologi di antara kita karena merasakan kesamaan-kesamaan dalam kenyataan bahwa kita manusia mudah terluka. Dalam humanisme lentur intertektualitas Derrida berpadu dengan sentimentalitas Rorty.
Kedua, kelenturannya juga menyatakan tidak hanya keyakinannya akan potensi epistemis agama-agama yang dapat bertumpang tindih dengan kebenaran-kebenaran yang dicari dalam filsafat dan sains, melainkan juga respeknya pada batas-batas antara iman religius dan rasionalitas. Seorang humanis yang berhasil menolak godaan metafisika kemanusiaan akan menerima religiositas sebagai salah satu dimensi hidupnya tanpa terjerumus ke dalam fideisme. Dia beriman dengan mencari pengertian, dan mengerti tanpa menghalau keyakinan. Akalnya tidak dibebani oleh tugas untuk membuktikan eksistensi Tuhan karena menyadari bahwa tugas seperti itu justru menyangsikan kemahakuasaanNya. Tugas akal bagi seorang humanis pasca metafisika kemanusiaan adalah menunjukkan bahwa manusia itu terbuka terhadap sesuatu yang melampaui dunia ini, dan ini dilakukan tanpa menyangkal keduniawian manusia.
Baginya kebebasan diraih bukan dengan menyingkirkan Tuhan, karena justru misteriNya memberi ruang untuk kebebasan, melainkan lewat keinsyafan akan kontingensi hidupnya. Istilah-istilah, seperti kontigensi ganda (Luhmann), kontigensi bahasa dan diri (Rorty) atau différance (Derrida) menunjukkan bagaimana kebebasan tidak lagi dimengerti dalam kosakata filsafat subyek, seolah-olah manusia adalah pusat yang menentukan segalanya dan menciptakan segalanya, melainkan sebagai kemungkinan-kemungkinan untuk melampaui diri, sebagai keberanian-keberanian untuk mengambil risiko, sebagai kemampuan untuk memberi. Dengan bersikap moderat terhadap akal, kebebasan, dan iman, humanisme yang tanpa narsisme dan triumphalisme kita bela disini menemukan kembali makna ‘kemanusiawian’ di antara puing-puing metafisika kemanusiaan.