BAB I
PENDAHULUAN
Pada akhir Tahun 2008 media massa diramaikan oleh pemberitaan tentang Syekh Puji dan Lutfiana di Semarang, yang menikahi perempuan berusia 12 tahun dan masih akan menikahi lagi dua anak perempuan yang berusia 7 dan 9 tahun. Komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan K.H. Husein Muhammad menegaskan, dalam konteks Indonesia tidak lagi tepat mengadopsi pandangan lain kecuali Undang-undang perkawinan. Penetapan batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan dapat menikah adalah pandangan fikih yang diadopsi ke dalam hukum negara. Karena itu, di dalam konteks masyarakat saat ini, menikah di bawah usia 16 tahun bagi perempuan dianggap belum siap secara psikologis dan biologis. Dampaknya akan merugikan perempuan, menghasilkan perkawinan yang tidak sehat
Terlepas dari kepentingan yang melatari pemberitaan di atas, tidak dapat dielakkan lagi keterlibatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan (filsafat, sosiologi, psikologi, dan hukum), hal ini dapat dilihat melalui komentar dari beberapa psikolog, komnas perlindungan anak dan akademisi lainnya. Munculnya keterkaitan antara disiplin ilmu tersebut adalah adanya pengkajian antara sifat, karakter, dan ciri khas manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kesadaran manusia yang berpikir (cogito ergo sum) dalam tahap rasional menjadi jawaban atas kekeliruan dari pencarian jati diri manusia. Pengetahuan yang lahir dari kebiasaan melalui mitos dan penyandaran pada teologi juga ikut meramaikan kelahiran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui uji coba (trial and eror), ternyata tidak terlepas dari perkembangan peradaban manusia (civilization).
Pokok dari segala pengetahuan dan pekerjaan sebagai defenisi singkat Immanuel Kant tentang filsafat (Prasetyo, 2002:hal.10) merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan. Betrand Russel (1946) dalam Sejarah Filsafat Barat membagi tahapan filsafat dalam tiga buku: filsafat kuno, filsafat katolik, dan filsafat modern. Psikologi juga terbagi dalam beberapa aliran: psikologi dalam (psikoanalisis, behaviorism, ganzheitpsychologie, psikologi fenomenologis) dan psikologi terapan (Abdul Djamali, 1984:109). ”Demikian juga Ilmu hukum terbagi dalam beberapa aliran: aliran hukum alam, aliran positivisme, aliran utilitas, aliran hukum murni, aliran historis, aliran antropologis, aliran sosiologis, dan aliran realis”. (Achmad Ali: 2002, 256-302).
Setiap aliran tersebut, baik filsafat, psikologi, dan hukum tidak berarti ”menempatkan manusia dikelas pinggiran temuan dan ciptaannya” meminjam istilah Schumacher (1985), sehingga antara ilmu hukum dan ilmu lainnya (sosiologi, ekonomi, antropologi, dan psikologi) masing-masing memiliki keterkaitan (interkoneksitas) dalam pengkajian terhadap suatu permasalahan. Ilmu hukum mempelajari bagaimana menertibkan individu, maka psikologi mempelajari kecenderungan individu, kenapa tidak taat pada peraturan?.
Ilmu pengetahuan belum mampu untuk membedakan objek material dari ilmu yang lain. Objek material dari ilmu hukum adalah gejala-gejala sosial begitu pula halnya dengan objek material psikologi dan ilmu sosial lainnya. Jadi kita tidak dapat mengidentifikasi sebuah ilmu apabila kita hanya merujuk kepada objek materialnya. Hal yang mampu untuk membeda-bedakan satu dari yang lain adalah objek formalnya. Dengan mengetahui objek formal suatu ilmu pengetahuan, kita dapat membeda-bedakan dengan ilmu pengetahuan lain. Akan tetapi perbedaan objek formal dari ilmu pengetahuan tersebut (hukum dan psikologi) tidak menjadi kendala untuk saling mengenal metode-metode pengkajiannya.
Ilmu hukum secara kasuistis hanya mempelajari seperangkat peraturan (kumpulan Undang-undang) namun disisi lain ilmu hukum dikenal memiliki pendekatan, menurut Achmad Ali (1998:2-5) pendekatan ilmu hukum dapat dilihat dari beberapa jenis pendekatan:
”Kajian normatif, memandang hukum dalam wujudnya sebagai kaidah. Kajian filsufis, merupakan kajian yang memandang hukum sebagai seperangkat nilai ideal, yang seyogyanya senantiasa menjadi rujukan dalam setiap pembentukan pengaturan dan pelaksanaan kaidah hukum. Kajian empiris adalah kajian yang memandang hukum sebagai kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain”.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern sejak renaisans, tidak hanya disambut baik oleh rasionalisme melainkan juga pengetahuan yang harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Dengan pendirian dasar itu, pandangan mereka disebut empirisme. Seperti halnya rasionalisme, empirisme berusaha membebaskan diri dari bentuk spekulasi spiritual yang menandai metafisika tradisional. Lama kelamaan aliran empirisme mempelopori kelahiran ilmu-ilmu kemanusiaan modern yang didasarkan pada observasi empiris yaitu psikologi.
Ilmu jiwa yang melahirkan psikologi, berabad-abad yang lalu sebenarnya manusia telah memikirkan tentang hakikat dari jiwa manusia dan jiwa makhluk hidup lainnya. Pikiran itu semula bersifat filsafat dalam arti terutama mencari pengetahuan mengenai dasar-dasar dan hakikat jiwa manusia. Corak pemikiran filsafat waktu itu atomistis, artinya jiwa manusia masih dianggap sebagai sesuatu yang konstan dan tidak berubah, dapat dianalisa ke dalam unsur-unsur tersendiri yang bekerja terpisah antara unsur-unsur itu.
Pandangan atomistis terlihat dari hasil pemikiran sejak filsuf Plato kurang lebih 400 tahun sebelum Masehi sampai pertengahan abad XIX. Mereka memandang ilmu jiwa merupakan cabang dari ilmu filsafat. sejak lahirnya experimental psycology pada abad XIX yang bukan saja berfilsafat mengenai gejala-gejala kejiwaan melainkan juga mencantumkan secara umum dengan menggunakan metode ilmiah yang substantif mungkin, maka lambat laun lahirlah psikologi isu.
Psikolog experimental pada tahun 1875, Wilhelm Wunt terdorong oleh keyakinan bahwa gejala-gejala kejiwaan itu mempunyai sifat dan dalil-dalil yang khas dan yang harus diteliti oleh sarjana illmu jiwa secara khas. Wilhelm Wunt yang menitikberatkan pergolakan jiwa manusia pada alam sadar, dikembangkan oleh Sigmund Freud bahwa kegiatan dan tingkah laku manusia sangat dipengaruhi oleh pergolakan tak sadar bawah sadar tersebut.
Sumbangan yang terbesar Sigmund Freud dalam psikologi hukum yaitu melalui pidatonya di depan hakim Austria tentang ”keputusan hakim yang dipengaruhi oleh proses-proses tak sadar”. ”Even lain yang membuat para psikolog sadar bahwa ide mereka dapat digunakan untuk mentransformasikan sistem hukum adalah terbitnya buku yang berjudul on the witnes stand oleh Hugo Munstenberg (1907)” (Constanzo, 2006:4), demikian juga dengan munculnya beberapa penelitian psikologi dalam lapangan ilmu hukum seperti diskriminasi hukum, hukuman berat, pornografi, perilaku seks, dan syarat penahanan seorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya menanandai kelahiran psikologi dan hukum.
Perhatian psikologi, hukum dan HAM terhadap hak dan kepentingan anak berdasarkan sejarah singkat psikologi dan hukum dapat dilihat melaluii tulisan hakim agung Sail Warren sebagaimana dikemukakan oleh Mark Constanzo (2006: 9)
.... ”Kebijakan pemisahan ras biasanya diinterpretasikan sebagai pertanda menganggap kelompok Negro sebagai kelompok inferior. Perasaan inferioritas ini mempengaruhi motivasi belajar anak, oleh sebab itu segregasi yang disertai dengan sanksi hukum, memiliki tendensi untuk memperlambat perkembangan dan pendidikan mental anak Negro dan membuat mereka tidak dapat memperoleh keuntungan yang mestinya dapat mereka peroleh di dalam sistem persekolahan yang secara rasial terintegrasi”.
Hal tersebut, Mark Constanzo (2006:15) menyimpulkan
”Bahwa pemisahan anak kulit hitam semata-mata karena rasnya melahirkan perasaan inferioritas terhadap statusnya di masyarakat, yang dapat mempengaruhi jiwa dan pemikiran mereka sedemikian rupa sehingga tidak akan pernah mungkin dipulihkan”.
Di indonesia, diskriminasi terjadi dalam stratifikasi sosial yaitu antara kelas kaya dan kelas miskin, kelas kayalah yang lebih banyak memiliki peluang untuk menempuh pendidikan sampai jenjang yang tinggi, hal ini sejalan dengan pertanyaan Mark Galanter (dalam Achmad Ali: 1998) ” why the have come out a head”.
Terhadap diskriminasi tersebut dalam dunia pendidikan telah mengetengahkan hak setiap anak untuk menempuh pendidikan, Undang-undang dasar 1945 memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan (Pasal 31), demikian juga ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 49 ”Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan”.
Hak-hak anak dalam dunia pendidikan merupakan hak prioritas kedua, setelah mendapat hak pemeliharaan dan pengasuhan yang baik. Negara indonesia telah meratifikasi UCRC pada tahun 1990, sebagai tingkat keseriusan dalam memperhatikan hak dan kepentingan anak, kemudian diikuti Undang-undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejateraan Anak dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Instrumen hukum tersebut menjadi landasan untuk melindungi hak dan kepentingan hidup anak. salah satu penjabaran dari perlindungan hak-hak anak yaitu setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Oleh karena itu Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 menjadi pedoman terhadap Pasal 105 dalam Kompilasi Hukum Islam tentang penentuan hak asuh anak.
Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan secara tegas baik dalam bentuk penjelasan maupun peraturan yang akan mengatur kemudian alasan-alasan yang menyebabkan sehingga anak berhak diasuh oleh ibu atau ayahnya. Dengan demikian hakim harus melakukan penemuan hukum, dimana dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik untuk diselesaikan. Hal ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 28 ”hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat”.
Hakim dalam menciptakan/melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor nonhukum baik yang terdapat dalam diri hakim maupun sikap dan respon atas pencapaian putusan oleh hakim.
BAB II
MUATAN DASAR
PSIKOLOGI HUKUM
A. Pengertian, Ruang Lingkup, Krakteristik dan Manfaat Psikologi Hukum
1. Pengertian Psikologi Hukum
Sebelum diuraikan pengertian psikologi hukum, penulis terlebih dahulu akan menjelaskan terminologi tersebut secara terpisah, mengingat metode kajian disiplin ilmu tersebut yang berbeda.
Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian sosiologi. Dalam perjalanan sejarah yang singkat psikologi telah didefenisikan dalam berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, atau sebab tingkah laku manusia yang dilatarbelakangi oleh kondisi jiwa seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses perilaku dan proses mental.
Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:
1. Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita sebut pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.
2. William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental, termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan sebagainya.
3. James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok permasalahannya.
4. John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari maupun yang tidak sebagai pokok masalah.
5. Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk hidup dalam hubungan mereka dengan dunia luar.
6. Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.
7. Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.
8. Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati, seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.
9. Richard Mayer (1981), psikologi merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk memahami perilaku manusia.
Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga seluruh aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya hidup (anima), tingkah laku pada manusia menurut Aristoteles memperlihatkan tingkatan sebagai berikut (Dirgagunarsa dalam Alex Sobur, 2003; Edy Yusuf, 2000)
1. Anima vegetative: yang terdapat pada tumbuhan, yang merupakan kemauan untuk makan, minum, dan berkembang biak.
2. Anima sensitive: yang ada pada hewan, berupa kemampuan yang sama dengan tumbuhan ditambah kemampuan berpindah tempat, nafsu, mengingat, makan, dan merasakan.
3. Anima intelektiva: yang ada pada manusia, selain merupakan kemampuan yang sama pada tumbuhan dan hewan, juga memiliki kemampuan berpikir dan kemauan atau kehendak.
Manusia yang memiliki kemampuan anima vegetative dan anima sensitive, sebagai kekuatan atau pergolakan jiwa juga dipegaruhi aktivitas yang melibatkan alam bawah sadar (Sigmund Freud, 1856-1939). Tegasnya menurut freud, justru kegiatan dan tingkah laku manusia sehari-hari dipengaruhi oleh alam bawah sadar. Secara kiasan, jiwa manusia digambarkan bagai gunung es di tengah-tengah samudera dan yang nampak di permukaan laut hanyalah sepersepuluh saja, sedang sembilan persepuluhnya berada di dalam samudera bawah sadar, proses kejiwaan itu bersumber kepada id, ego, dan superego.
(a) Id, merupakan unsur landasan dasar dan merupakan sumber energi psikis yang berasal dari instink-instink biologis manusia. Yang terpenting dari semua instink tersebut adalah instink seksual dan agresivitas, kedua instink ini yang mempengaruhi dan membimbing tingkah laku manusia. id mewakili segi-segi instinktual, primitif dan irasional dan menjadi reservoir dari dorongan-dorongan yang tidak disadari (das unbewuszte). Oleh karena itu proses-proses mental dari anak akan mengkostitusikan aktivitas mental dari anak-anak pada tahap awal kehidupannya;
(b)Ego, merupakan proses jiwani yang logis dan mempunyai fungsi untuk mempermudah transaksi/perbuatan manusia dalam menguasai alam lingkungannya. Ego itu mencakup kemampuan untuk merencanakan, memecahkan masalah dan menciptakan tekhnik untuk menguasai dunia di sekitarnya. Ego diperlengkapi dengan kemampuan untuk mengendalikan impuls-impuls manusia, karena ekspresi hiperaktif dari impuls seksual dan dorongan agresivitas bila tidak mampu dikendalikan akan mencelakakan manusia, jadi tugas ego adalah mengekang dan mengontrol kekuatan-kekuatan dari id (ego sebagai alam sadar/das bewuszte) dan menjamin kelancaran interaksi individu dengan dunia sekelilingnya;
(c) Superego, adalah fungsi mental yang disebut sebagai hati nurani. Superego merupakan konsep yang melambangkan internalisasi dari nilai-nilai orang tua pada diri anak. Yaitu nilai yang ditanamkan dengan sanksi hukuman jikalau anak melanggar, dan akan mendapat hadiah jikalau nilai-nilai tersebut ditaati. Norma-norma moral tersebut, yang menjelaskan arti tabu, kesalahan/dosa dan kebenaran. Jadi superego merupakan alat keseimbangan mencakup das bewuszte dan unbewuszte.
Setelah di atas diuraikan beberapa pengertian psikologi, selanjutnya akan diuraikan pengertian “hukum” untuk memperoleh keterpaduan antara psikologi dan hukum.
Karya filsuf Aritoteles (384-322 SM) telah mempopulerkan konsep negara demokrasi yang dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang merosot dan menurutnya (dalam aliran hukum alam oleh Friedman: 1990) sebuah negara pemerintahannya yakni berdasarkan hukum, karena filsuf sulit ditemukan untuk untuk menjadi pemerintah yang bajik.
Satu hal yang menjadi penekanan bagi Aristoteles adalah klasifikiasi dari pada keadillan distributif, keadilan kumulatif, dan keadilan remedialnya (Aristoteles, 2007 dalam La Politica; Faturochman dalam Keadilan Perspektif Psikologi, 2002; Rawls,2000 dalam Teori Keadilan dan Teitel, 2004 dalam Keadilan Transisional). Menurut Achmad Ali (2002: 259) ”formulasi dari hukum alam adalah problem esensial dari keadilan”. Esensi dari keadilan tersebut menjadi renungan filsafat hukum untuk menelorkan beberapa defenisi hukum.
Adanya hukum senantiasa menggerakan daya pikir manusia, sehingga timbul pertanyaan: apa arti hukum? Untuk menjawab pertanyaan ini para ahli hukum akan memberikan defenisi tentang hukum. Akan tetapi belum pernah terdapat defenisi hukum yang memuaskan. Apa yang ditulis Kant lebih dari 150 tahun yang lalu ‘Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht” masih tetap berlaku, karena hukum bukanlah gunung atau kuda yang setelah didefenisikan kita dapat melihatnya. Demikian juga Van Apeldoorn (1973:13) “berpendapat bahwa defenisi hukum itu sangatlah sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakan sesuai dengan kenyataan”.
Meskipun demikian, atas dasar penelitian yang pernah dilakukan Soerjono Soekanto (dalam Wawan Tanggul Alam 2004:10-12) mengidentifikasi paling sedikit sepuluh arti hukum yaitu:
1. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2. Hukum sebagai disiplin yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atas gejala-gejala yang dihadapi.
3. Hukum sebagai kaidah, yakni sebagai pedoman atau patokan perilaku yang pantas dan diharapkan.
4. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu, serta berbentuk tertulis.
5. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegak hukum.
6. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi.
7. Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
8. Hukum sebagai perilaku yang ajeg atau teratur.
9. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
10. Hukum sebagai seni (legal art).
Secara umum, hukum adalah seperangkat aturan baik yang tertulis (dibuat oleh negara yaitu antara presiden dan DPR) maupun yang tidak tertulis (living law: hukum yang hidup dan tumbuh dalam suatu masyarakat) yang dijalankan oleh yang mengatur maupun yang diatur dan masing-masing mengakui daya keberlakuan dan mengikatnya aturan tersebut.
Dari pengertian-pengertian psikologi dan hukum yang telah disebutkan di atas, penulis berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya adalah keduanya mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian hukum secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig Haney menyatakan “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan bagaimana orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia, tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak lebih idealistis, ilmu psikologi menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk memberikan keadilan”.
Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut psikologi hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut”.
Karena hukum dibentuk oleh jiwa manusia seperti putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan, menandakan bahwa psikologi merupakan krakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Aliran pemikiran hukum historis sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (2002: 274) “bahwa G. Puchta, murid Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) menamai hukum volkgeist yaitu hukum merupakan pencerminan dari jiwa rakyat”.
Hukum modern yang cenderung penggunaannya sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang dikehendaki telah memasuki bidang psikologi, seorang ahli filsafat hukum Leon Petrazycki (1867-1931) menggarap unsur psikologi dalam hukum dengan meletakkannya sebagai unsur utama. “Petrazycki berpendapat, bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses-proses psikis yang unik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode interospeksi” (Bodenheimer, 1947: 107). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan itu, maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri. Ia memandang hak-hak dan kewajiban sebagai “phantasmata” yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat olehnya.
Penulis berikutnya yang menganalisis hukum dari sudut psikoanalisis adalah Jerome Frank dalam law and modern Mind. Frank dalam ajaran hukum tradisional, melihat adanya keinginan akan kepastian yang ia samakan dengan kebutuhan bayi yang sangat akan kekuasaan yang sempurna (rasa kebapakan). Dalam hal ini ia menarik pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget. Secara sistematis ia menjelaskan sebagai berikut:
a. Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah ketakutan kepada hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesepakatan dan perubahan, sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak;
b. Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri ke dalam cita-cita rasa kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian yang sempurna, kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang teguh yang penuh kepastian, dan bisa dikontrol;
c. Si anak mendapat kepuasannya akan kerinduannya itu, pada umumnya melalui kepercayaan dan penyandaran dirinya kepada sang ayah yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan selalu berhasil;
d. Sekalipun orang semakin menjadi dewasa, kebanyakan orang pada waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan kekanak-kanakan tersebut di atas. Baik dalam situasi aman, apalagi dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin melarikan diri kepada ayahnya. “ketergantungan kepada ayah” yang semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya berubah menjadi tujuan sendiri;
e. Hukum bisa dengan muda dibuat sebagai sesuatu yang memainkan peranan yang penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah. Sebab secara fungsional tampaknya hukum mirip dengan sang ayah sebagai hakim;
f. Ayah sebagai hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai tingkah laku yang baik. Hukum baginya tampak sebagai mutlak pasti dan dapat diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin menangkap kembali suasana kepuasan dunia anak-anak, tanpa menyadari sepenuhnya akan motivasi dibelakangnya, mencari kewibawaan (authoritativeness), kapasitas dan prediktibilitas dalam sistem-sistem hukum. Anak ini percaya bahwa sang ayah telah meletakkan itu semua di dalam hukum;
g. Dari sinilahlah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah atau bisa dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan.
Pada tahun 1971, juga muncul karya Albert A. Ehrenzweigh, guru besar di universitas California Psychoanalytic Jurisprudence. Tesis yang dikemukakan dalam buku tersebut diringkas dalam kata-katanya “zaman plato telah digantikan oleh zaman freud” (Ehrenzweigh: 1971, 35). Bagian pertama dari bukunya adalah penceritaan kembali suatu daftar panjang dari teori-teori dan pemikiran dalam hukum. Ehrenzweigh menjadikan Freud sebagai titik pusat untuk mengupas semua pemikiran tentang hukum, Freud diterimanya sebagai seorang yang telah mampu menelanjangi apa yang sebetulnya selama ini diperdebatkan di kalangan para teoritisi, sehingga menghasilkan berbagai jenis aliran dan pendekatan dalam ilmu hukum, dengan menggunakan psycoanalysis, mengaitkan dengan persoalan superego, ego, Ehrenzweigh mengupas soal keadilan, kesalahan dalam hukum perdata dan pemidanaan.
Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam berbagai literatur, yaitu:
1. Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono Soekanto,1989; Achmad Ali,1990; R. Ridwan Syahrai,1999; Bernard Arief Sidharta, 2000; Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady, 2006).
2. Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputi Psycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003, hal. 3)
3. Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan (Blackburn: 1996)
4. Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi, pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt R. Bartol:1983)
5. Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum, termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa, korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana). (Achmad Ali, 2008: 9-10).
6. Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh Edward E. Jones: 1996)
7. Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).
8. Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen dalam Sidharta: 2008)
9. psychology and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized broadly, the field encompases diverse approaches to psychology. Each of major psychologycal subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive (e.g. eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g., jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the polygraph), and industrial organizational psychology (e.g, sexual harassment in the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)
10. legal psychology involves empirical, psychology research of the law, legal institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them to issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making, investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only recently come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of legal psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology. (Wikipedia, The Free Encyclopedia)
2. Ruang Lingkup Psikologi Hukum
Lapangan atau riset psikologi hukum, hanya dapat dikemukakan, setelah kita meninjau studi atau objek tinjauan dari psikologi. Olehnya itu akan diuraikan beberapa orientasi lapangan psikologi dari berbagai macam sudut pandang:
Menurut Abdul Jamali (1884: 18-19) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
1. Pandangan masyarakat yaitu bidang kehidupan masyarakat secara umum yang memberikan pandangan terhadap psikologi dalam arti luas, meliputi:
a. Psikologi perusahaan, mempelajari tingkah laku manusia di dalam perusahaan mengenai seleksi calon karyawan, penempatan, pendidikan, dan latihan, penilaian personil dan masalah organisasi.
b. Psikologi sekolah, mempelajari masalah sekolah yang meliputi tentang tingkah laku manusia di sekolah dari sejak seleksi penerimaan calon, cara-cara pendidikan yang baik, mengusahakan cara-cara evaluasi yang obyektif, memberikan bimbingan dan konseling.
c. Psikologi militer, mempelajari tentang tugas-tugas militer.
d. Psikologi kedokteran, mempelajari jabatan kedokteran.
e. Psikologi pastorial, mempelajari jabatan pastor.
f. Psikologi seni.
g. Psikologi musik.
2. Pandangan teori psikologi
Menurut tujuan utama penelitian yang digunakan, terdiri dari:
a. psikologi umum, kalau tujuan penelitian diutamakan untuk menemukan hukum-hukum psikologi yang berlaku bagi semua orang.
b. Psikologi diferensial, kalau tujuan penelitian diutamakan untuk melakukan hukum-hukum psikologi yang menyangkut mengenai perbedaan antar manusia.
Secara teoritis pembagian psikologi terdiri dari:
a) psikologi tingkah laku, termasuk psikologi sosial.
b) Psikologi fungsi, termasuk psikologi eksprimen, psikologi pengamatan, psikologi belajar, dan psikologi berpikir.
c) Psikologi perkembangan.
d) Psikologi kepribadian.
e) Psikologi ajaran metode.
3. Pandangan menurut aliran dalam psikologi
Berdasarkan pandangan ini psikologi dibagi:
a. Psikologi dalam, mempelajari tantang dunia tidak sadar (psikoanalisis, behaviourism, ganzheitspsychologie, psikologi fenomenologi)
b. Psikologi terapan, mempelajari masalah psikologi tanpa ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Gerungan (2004: 19-22) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
1. Psikologi teoritis
a)Psikologi umum, menguraikan dan menyelidiki kegiatan psikis pada manusia dewasa yang normal, termasuk kegiatan pengamatan, pemikiran, intelegensi, perasaan, kehendak, motif-motif dan attitude.
b) Psikologi khusus, menguraikan dan menyelidiki segi-segi khusus pada kegiatan psikis manusia, segi-segi khusus ini antara lain:
a. Psikologi perkembangan (psikologi genetic), menguraikan perkembangan kegiatan psiko manusia sejak kecil sampai dewasa dan selanjutnya psikologi perkembangan ini terbagi-bagi kedalam: psikologi anak, psikologi pemuda, psikologi orang dewasa, dan psikologi orang tua.
b. Psikologi kepribadian dan tipologi, menguraikan struktur kepribadian manusia sebagai suatu keseluruhan, serta mengenai jenis-jenis atau tipe-tipe kepribadian.
c. Psikologi sosial, menguraikan kegiatan-kegiatan dalam hubungannya dengan situasi sosial, seperti situasi kelompok dan situasi masa.
d. Psikologi pendidikan, menguraikan dan menyelidiki kegiatan-kegitan manusia dalam situasi pendidikan, dan situasi belajar.
e. Psikologi diferensial dan psikodiagnostik, menguraikan perbedaan-perbedaan antar individu dalam kecakapan-kecakapan, intelegensi, ciri-ciri kepribadian dan mengenai cara-cara untuk menentukan perbedaan tersebut.
f. Psikopatologi, yang menguraikan kegiatan-kegiatan manusia yang berjiwa abnormal.
2. Psikologi terapan
a. Psikodiagnostik, dengan menggunakan interview, observasi, dan tes psikologi dapat menentukan struktur kepribadian seseorang antara lain struktur intelegensinya, perkembangan bakat, kemampuan dan kecakapannya.
b. Psikologi klinis, bimbingan psikologi untuk menolong orang-orang yang menderita kesulitan psikis yang beragam bentuknya.
c. Psikologi perusahaan, membantu kesulitan yang terjadi di dalam perusahaan, seperti psikologi kepemimpinan, seleksi pegawai dalam perusahaan, menemukan cara-cara pendidikan yang terbaik untuk tenaga terlatih, memperbaiki lingkungan kerja pegawai, menyelesaikan kesulitan-kesulitan (benturan) pegawai, bimbingan dan penyuluhan, usaha meningkatkan produksi.
d. Psikologi pendidikan, berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dalam dunia pendidikan, seperti seleksi dan penyaluran calon-calon, menyelidiki cara-cara pendidikan yang sebaik-baiknya.
e. Mengusahakan cara-cara evaluasi yang objektif, bimbingan dan penyuluhan pelajar dan mahasiswa.
Menurut Rita L. Atkinson Dkk, (1983) membagi orientasi lapangan psikologi sebagai berikut:
a. Psikologi perkembangan, membicarakan perkembangan psyche manusia dari kecil sampai tua, mencakup psikologi anak, psikologi puber, psikologi orang dewasa, psikologi lansia.
b. Psikologi sosial, menguraikan tentang cara berinteraksi dengan orang lain yang mempengaruhi sikap dan perilaku.
c. Psikologi kepribadian, mempelajari cara pengelompokan individu untuk tujuan praktis dan mempelajari kualitas setiap individu yang unik.
d. Psikologi sekolah dan pendididikan, menguraikan kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas manusia dalam hubungannya dengan situasi pendidikan dan sekolah, seperti memberikan dan menafsirkan hasil intelegensi, tes hasil belajar, tes kepribadian dan bagaimana cara menarik perhatian agar pelajaran dengan mudah dapat diterima.
e. Psikologi industri dan rekayasa, psikologi yang berhubungan dengan soal-soal perusahaan dan bagaimana membuat hubungan antara manusia dengan mesin sebaik mungkin, seperti menyusun program pelatihan praktik kerja dan keterlibatan psikolog dalam merancang kapsul untuk astronot.
f. Psikologi forensik, bekerja dalam berbagai sistem pengadilan dan sistem rehabilitasi, seperti berkonsultasi dengan instansi kepolisian dan petugas pengadilan dalam meningkatkan pengertian terhadap masalah manusia yang harus mereka tangani, berhadapan dengan narapidana dan keluarga mereka, berperan dalam mengambil keputusan apakah tertuduh cakap bertindak di peradilan, dan menyiapkan laporan psikologis untuk membantu memutuskan tindakan yang paling sesuai bagi terpidana.
g. Ilmu perilaku dan ilmu sosial, studi yang melakukan kajian pada setiap individu dan tata hubungan kelembagaan dalam keluarga, tetangga, dan masyarakat.
Orientasi lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial, tentunya akan melakukan pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum khususnya dalam penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari riset psikologi juga akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang lingkup antara lain:
Menurut Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:
1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.
2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3. Perilaku menyimpang.
4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi hukum yaitu:
1. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
2. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah hukum.
3. Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.
Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S. Clark, 2007; Stephenson, 2007; dan Achmad Ali, 2008: 7) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:
1. Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak, dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
2. Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
3. Psikologi hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi penurunan kejahatan.
4. Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
5. criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada momen penjatuhan pidana
6. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum. Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban, meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap peningkatan kemampuan otak manusia.
Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1 (2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu psikologi. Beberapa contohnya adalah:
1. Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak asuh anak seperti apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?.
2. Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat tersangka mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di dalam tim juri mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?
3. Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?
4. Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?
Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi kekhususan dari aktifitas psikis manusia.
Berdasarkan hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan dipelajari sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:
1. Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan seorang akan mematuhi hukum.
2. Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat dikesampingkan.
Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya adalah sebagai berikut:
Neurosis psikhosis
Normal x x abnormal Pada titik normal, seseorang mematuhi kaidah hukum dan dalam keadaan tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktor-faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum, dilain pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk melanggar kaedah hukum (Soerjono Soekanto 1989:17-18).
3. krakteristik dan manfaat psikologi hukum
kekuatan berlakunya aturan (hukum) dipengaruhi oleh sifatnya yang mengatur dan memaksa. Tidak semua peserta kelompok yang diatur serta merta patuh atau otomatis menggunakannya sebagai aturan yang sahih dan pasti. Menurut Kelman (Achmad Ali:1998, 193), bahwa orang taat pada hukum dipengaruhi oleh beberapa hal:
(a) Compliance yaitu jika seoarang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut akan sanksi.
(b) Identification yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seorang menjadi rusak.
(c) Internalization yaitu jika seorang taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan itu sudah sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.
Penyebab orang taat atau tidak taat pada hukum merupkan kajian hukum yang bersifat empiris, yang mengkaji hukum dalam kenyataan (law in action), yang dapat dikaji melalui sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum.
Psikologi hukum yang melakukan studi terhadap fenomena hukum yang meliputi kenyataan sosial, kultur, perilaku dan lain-lain adalah kajian hukum yang bersifat deskriptif. Menurut Lawrence Wrigstman (dalam Musakkir, 2005: 47), krakteristik dari pendekatan psikologi terhadap hukum adalah
”psychological approach to the law emphasizes the human determinants of the law. So do sociology and anthropology – but the focus in the psychological approach is on individual as the unit analysis. Individuals are seen as responsible for their own conduct and as contributing to its causation. Psychology looks at the impact of the police officer, the victim, the juror, the lawyer, the judge, the defendant, the prison guard, and the parole officer on the legal system. Psychology assumes that the characteristics of these participants in the legal system effect how the system operates. In “characteristics”, include these persons’ abilities, their perspectives, their values, their experience – all the factors that influence the is behavior”.
(pendekatan psikologis terhadap hukum menekankan determinan manusia terhadap hukum. Demikian juga ilmu antropologi dan sosiologi - tetapi fokus di dalam pendekatan psikologi adalah pada individu sebagai unit analisis. Individu dilihat sebagai yang bertanggung jawab untuk tindakan dan akibat dari apa yang diperbuatnya. Psikologi meneliti pada dampak dari pegawai kepolisian, korban, anggota juri, pengacara, hakim, terdakwa, penjaga tahanan, dan pembebasan bersyarat pegawai dalam sistem hukum. Psikologi berasumsi bahwa karakteristik dari partisipan di dalam sistem yang hukum mempengaruhi bagaimana sistem hukum beroperasi. Di dalam "karakteristik", meliputi kemampuan dari pribadi orang tersebut, perspektif mereka, nilai-nilai yang mereka anut, pengalaman mereka - semua faktor yang mempengaruhi perilaku itu"). (terjemahan bebas oleh penulis)
Selanjutnya Musakkir (2005: 47) menguraikan bahwa kajian psikologi hukum menekankan kepada
“Faktor psikologis yang mempengaruhi perilaku individu ataupun kelompok dalam segala tindakannya di bidang hukum. Misalnya, bagaimana sikap atau perilaku polisi dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran dan kejahatan? Bagaimana perilaku jaksa di dalam melakukan penyidikan, penahanan, dan penuntutan terhadap tersangka? Bagaimana perilaku atau sikap hakim di dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan. Kondisi psikologis hakim dapat memberikan pengaruh kepada putusannya, maupun terhadap tindakan aktor-aktor atau penegak hukum lainnya”.
Psikologi yang memasuki ranah hukum bernaung dalam satu bidang kajian yang dinamakan dengan ‘psikologi dan hukum’ (psychology and law). Psikologi dan hukum memayungi beberapa kajian psikologi dalam ranah hukum. Secara garis besarnya ada sejumlah bidang kajian, yakni psikologi penegakan hukum (law enforcement psychology), psikologi untuk menangani narapidana (correctional psychology), psikologi forensik (forensic psychogy), dan psikologi hukum (legal psychology).
Psikolologi penegakan hukum, psikologi narapidana, dan psikologi forensik adalah turunan dari psikologi klinis. Psikologi penegakan hukum memfokuskan penelitiannya pada aktivitas badan penegakan hukum dan menyediakan layanan psikologis untuk badan tersebut. Misalnya tes psikologis untuk calon polisi, promosi jabatan, pemecatan hubungan kerja, dan intervensi untuk polisi yang terlibat masalah. Tidak heran jika ada pula istilah psikologi polisi yang muncul dari hasil-hasil penelitian psikologi penegakan hukum ini. Sedangkan psikologi narapidana itu berfokus pada penanganan narapidana. Layanan yang diberikan misalnya mengajarkan strategi penanggulangan masalah, manajemen kemarahan, dan sebagainya. Sedangkan psikologi forensik membantu bidang hukum dalam melakukan analisis kompetensi seseorang apakah ia dapat mengikuti persidangan dan bertanggung jawab atas tindakan kejahatannya (criminal competence and responsibility), dampak psikologis yang dialami seseorang dalam persidangan, kompetensi mental seseorang pada situasi nonkriminal (mengatur keuangan, keputusan untuk menerima perawatan medis/psikiatris), otopsi psikologis (psychological autopsies) pada seseorang yang sudah meninggal dunia, criminal profiling, dan analisis kelayakan seseorang sebagai orangtua untuk penentuan hak asuh anak. Sedangkan Craig Haney (dalam Curt R. Bartol:1983) membagi pendekatan psikologi yaitu:
”psychology can relate to law in three ways: psychology in the law, psychology and the law, and psychology o the law”.…the psychology in the law relationship is the most frequent application of psychology to the legal system. In this situation, jurits use psychologists and their knowlegde for spesific cases, as by having them testify about a defendant’s mental condition or consult with attorneys regarding jury selection. …. psychology and the law, neither psychology nor law dominates or dictates to the other. …. psychology of the law, concerns itself with law as a determinant of behavior”.
Craig Haney menjelaskan bahwa keterkaitan antara psikologi dan hukum dapat dikaji melalui tiga metode yaitu psikologi dalam hukum, psikologi dan hukum, dan psikologi terhadap hukum. Hubungan Psikologi dalam hukum merupakan aplikasi psikologi yang paling sering terhadap sistem hukum, seperti penggunaan psikolog oleh yuri untuk sebuah kasus dalam memperoleh kesaksian tentang kondisi mental terdakwa dan konsultasi pengacara berkenaan dengan pemilihan yuri. Psikologi dan hukum , baik psikologi maupun hukum tidak mendominasi dan mendikte kepada yang lainnya. Psikologi terhadap hukum, menganggap dirinya dengan hukum sebagai suatu determinan dari perilaku. Berdasarkan uraian di atas krakteristik psikologi hukum dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Karakteristik dari pada psikologi hukum yaitu pada partisipan penegak hukum yang dipengaruhi oleh perspektif mereka (partisipan hukum),, nilai yang dianut (value), pengalaman (exprience), kemampuan (ability) orang/partisipan hukum tersebut.
2. Penekanan psikologi hukum pada faktor internal (pribadi) partisipan hukum, yang melihat pada fakta-fakta yang bersifat istimewa (idiosyncracy fact) tentang psikologi dan kepribadian individual.
3. Merupakan kajian yang bersifat logis, empirik dan analitik yang memusatkan pada isu-isu yang sangat luas.
4. Merupakan kajian yang bersifat deskriptif dan menjelaskan pengalaman dan perilaku manusia melalui logika, metode ilmu dan riset.
5. Menekankan determinan-determinan manusia dari hukum (peraturan perundang-undangan dan putusan hakim).
6. Secara umum objeknya adalah manusia dengan kegiatan-kegiatannya dalam hubungan dengan lingkungannya, yaitu perilaku (behaviour) dan fenomena hukum.
7. Mempelajari hukum sebagai pembentukan hasil jiwa manusia (volkgeist) baik putusan pengadilan maupun perundang-undangan.
8. Mempelajari faktor-faktor pribadi yang mendorong orang untuk mematuhi kaedah hukum dan melanggar kaidah hukum.
Psikologi hukum sebagai pendekatan psikologi yang lebih bersifat individual terhadap hukum memiliki beberapa manfaat, menurut Soerjono Soekanto (1989: 54) mengemukakan pentingnya psikologi hukum bagi penegakan hukum sebagai berikut:
1. Untuk memberikan isi atau penafsiran yang tepat pada kaidah hukum serta pengertiannya, seperti pengertian itikad baik, itikad buruk, tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami isteri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Untuk menerapkan hukum, dengan mempertimbangkan keadaan psikologis pelaku.
3. Untuk lebih menyerasikan ketertiban dan ketenteraman yang menjadi tujuan utama dari hukum.
4. Untuk sebanyak mungkin menghindari penggunaan kekerasan dalam penegakan hukum.
5. Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih mengenal diri atau ligkungannya.
6. Untuk menentukan batas-batas penggunaan hukum sebagai sarana pemeliharaan dan penciptaan kedamaian.
Demikan halnya Munir Fuady (2007:14-15), mengemukakan mengapa psikologi penting untuk diterapkan dalam ilmu hukum? Antara lain:
1. Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kondisi psikologis dari para penegak dan para penerap hukum.
2. Menurut ilmu psikologi, khususnya psikologi baru (new psychology), berbagai konsep abstrak dari hukum hanyalah merupakan suatu ilusi yang berasal dari kebutuhan akan kepastian (certainty), perdamaian internal (inner pace), dan ilusi terhadap kebutuhan akan kepastian (exactness)
3. Para penegak hukum dengan bantuan ilmu psikologi dapat mengetahui kebohongan dari saksi atau tersangka ketika diperiksa.
4. Bahwa apa yang disebut perasaan hukum, kesadaran hukum dan jiwa bangsa (Volkgeist) tidak lain merupakan ungkapan-ungkapan yang berkonotasi psikologis.
5. Penganut realisme hukum berpendapat bahwa setiap persolan hukum tidak lain hanya proses psikologi.
6. Dengan bantuan ilmu psikologi, para penegak hukum dapat mengetahui keadaan psikologisnya sendiri ketika menegakkan dan menerapkan hukum. Karena itu mestinya seorang penegak hukum paham dengan konsep-konsep psikologis
Oleh karena psikologi sangat penting bagi ilmu hukum dalam mengetahui latar belakng kejiwaan seseorang, maka mempelajari psikologi hukum dapat diperoleh beberapa manfaat antara lain :
1. Dapat melakukan analisis yang tajam antara fenomena hukum dengan hukum itu sendiri.
2. Dengan memahami faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap penegak hukum maka kita dapat mensinkronkan antara hukum dan perilaku penegak hukum.
Senada dengan Brigham (Rahayu: 2000) juga memandang pentingnya psiklogi hukum karena:
a) Pemahaman perilaku manusia dalam sistem peradilan akan meningkatkan pemahaman tentang manusia secara umum;
b) Pengetahuan psikologi dalam bidang hukum dapat dipergunakan untuk memperbaiki sistem hukum secara khusus dan menaikkan kualitas keadilan
BAB III
APLIKASI PSIKOLOGI
TERHADAP ILMU HUKUM
1. Pendekatan Psikologi Terhadap Hukum
Jika seorang hakim laki-laki atau perempuan memutus perceraian. yang sama-sama menggunakan dasar dan pertimbangan hukum yang sama dalam perceraian, apakah akan sama putusannya? Bagi penganut hukum normatif yang menjadikan Undang-undang sebagai sebagai sumber peraturan belaka (hakim adalah terompet/corong Undang-undang) maka akan menjawab “sama saja putusannya”, tapi seorang psikolog akan menganalisis dan mengatakan hal yang berbeda dengan jawaban tersebut, karena kemungkinan hakim perempuan lebih mempertimbangkan masa depan seoarang perempuan yang menjanda dan harus menjadi single parent untuk membesarkan anak-anaknya.
Pertimbangan psikolog terhadap pertanyaan tersebut, yaitu dapat dikaji melalui pedekatan psikologi terhadap ilmu hukum. Dalam psikologi dikenal beberapa pendekatan, menurut Rita L. Atkinson (1983: 7-15) pendekatan itu terbagi atas:
a) Pendekatan Neurobiology
Suatu pendekatan terhadap studi manusia, berusaha menghubungkan perilaku dengan hal-hal yang terjadi di dalam tubuh, terutama dalam otak dan sistem saraf. Pendekatan ini mencoba mengkhususkan proses neurobiologi yang mendasari perilaku dan kegiatan mental. Contohnya seorang ahli psikologi yang sedang mendalami pendekatan neurobiologi, menaruh perhatian pada perubahan yang terjadi dalam sistem saraf karena adanya proses belajar mengenai hal yang baru.
b) Pendekatan Perilaku
Pendekatan yang mempelajari individu dengan cara mengamati perilakunya sebagi subyek tunggal. Contohnya seseorang makan pagi, naik sepeda, berbicara, memerah mukanya, tertawa, dan menangis.
c) Pendekatan Kognitif
Studi illmiah mengenai proses mental dari persepsi, ingatan, pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan persoalan, dan merencanakan masa depan.
d) Pendekatan Psikoanalitik
Suatu pendekatan yang melihat perilaku sebagai bagian dari proses yang tidak disadari seperti pemikiran, rasa takut, dan keinginan-keinginan yang tidak disadari seseorang tetapi membawa pengaruh terhadap perilakunya.
e) Pendekatan Fenomenologis
Suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pengertian mengenai kehidupan dalam dan pengertian mengenai pengalaman individu. Contohnya, pengamatan terhadap konsep diri seseorang, perasaan harga diri, dan kesadaran akan diri sendiri (self awareness).
Pendekatan psikologi bertugas menghilangkan kesaksian nilai dengan menetapkan keajegan pernyataan yang telah dibuat mengenai sesuatu yang membentuk dunia ini. Dengan menggunakan metode yang akurat akan melibatkan logika, pengumpulan data untuk memberikan penilaian pembuktian yang obyektif. Hal tersebut menurut Abdul Djamali (1984) dilakukan dengan melalui proses ilmiah yang dibentuk melalui:
1. Laboratory experimentation
Eksperimen tentang tingkah laku dilakukan dalam laboratorium untuk mendapatkan hasil yang optimal. Secara sistematik digunakan variasi dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh kepada tingkah laku yang ditelitinya. Selain itu dimungkinkan untuk menutupi situasi eksperimen dan pengaruh luar seperti gangguan suara, kehadiran orang lain yang tidak diperlukan.
2. Field experimentation
Eksperimen dilakukan dalam lingkungan yang wajar, lazim dan nyata, sehingga hasil penelitian tingkah laku itu berjalan wajar.
3. Controlled naturalistic observation
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan:
b. Mengadakan observasi terhadap tingkah laku dalam bermacam-macam situasi yang dipilih dengan cermat, sehingga mewakili pelbagai kemungkinan situasi yang kegiatan tingkah laku itu dapat terjadi.
c. Mengadakan observasi tanpa diketahui kehadiran observatornya yang dilakukan dengan visual seleksi.
d. Membuat kousiener dan mewawancarai objeknya.
e. Merekam pembicaraan dengan menyembunyikan alat rekamannya.
4. Metode klinis
Menggunakan metode klinis dilakukan dengan:
f. Mengumpulkan secara terperinci sejarah dari masalah.
g. Prosedur wawancara khusus
h. Tes intelegensi minat, kepribadian atau aspek lain dari tingkah laku.
i. Tekhnik analisa impian
Pendekatan klinis ini ditujukan untuk menentukan kualitas penyesuain diri individu kepada lingkungan hidup pada umumnya atau lingkungan hidup tertentu dan untuk menambah pengertian mengenai masalah penyesuaian diri.
Kajian psikologi diutamakan pada tingkah laku individu, tetapi karena manusia sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial, maka psikologi tidak dapat melepaskan kajiannya terhadap individu dalam hubungannya dengan situasi massa dan situasi kelompok yang disebut dengan psikologi sosial. Menurut Gerungan (2004:47-51) Keterlibatan psikologi dalam pengkajian massa dan kelompok mengunakan metode antara lain:
1. Metode eksperimen
Wilhelm Wundt pertama kali memakai dan mendasarkan metode ini dengan menetapkan beberapa syarat:
a. Menentukan dengan tepat waktu gejala yang akan diselidiki.
b. Mengukur berlangsungnya gejala yang akan diteliti dari awal hingga akhir dan harus mengamatinya dengan perhatian khusus.
c. Setiap observasi harus dapat diulangi dalam keadaan yang sama.
d. Mengubah-ubah dengan sengaja syarat-syarat keadaan eksperimen.
2. Metode survey
Metode dimana peneliti mengumpulkan keterangan seluas-luasnya mengenai kelompok tertentu yang akan diteliti dengan menggunakan wawancara, observasi dan angket sebagai alat untuk mengumpulkan keterangan.
3. Metode diagnostk psikis
Metode penelitian psikologi dengan meminta responden untuk memberikan keterangan yang sejujur-jujurnya dengan memperhalus sebuah daftar pertanyaan.
4. Metode sosiometri
Metode penelitian terhadap satu kelompok untuk meminta pernyataannya mengenai sikap anggota kelompok lain terhadap kelompoknya.
5. Metode sosiogram
Hasil penelitian sosiometri untuk mendapatkan hubungan antar kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dan bertujuan untuk memilih siapa yang dapat memimpin beberapa kelompok tersebut.
Psikologi sebagai alat bantu dalam ilmu hukum yang dikenal dengan psikologi khusus yaitu suatu cara untuk mendapatkan kebenaran baik secara eksperimen maupun rasional yang memfokuskan pada perilaku manusia yang berkaitan dengan hukum.
Dalam psikolgi hukum, menurut Charles Pierce (dalam Kerlinger, 1973) sebagaimana dikemukakan oleh Curt Bartol (1984:1) mengambil suatu metode penelitian untuk mengembangkan keyakinan dan pengetahuan antara lain:
1. The Method Of Tenacity
Suatu metode dimana orang berpegang teguh pada keyakinannya terhadap orang lain karena ia selalu meyakini bahwa mereka itu sifatnya true and correct. Keyakinan ini dipegang bahkan ketika diperhadapkan pada bukti-bukti yang bertentangan karena dia berpendapat bahwa saya tahu, bahwa saya benar tanpa peduli apa yang dikatakan orang lain atau yang ditunjukan oleh bukti-bukti untuk menentukan keyakinannya.
2. The Method of Authority
Suatu dianggap benar karena individu dan pranata-pranata yang mempunyai otoritas mengatakan kebenaran seperti itu. Misalnya apa yang diputus pengadilan melalui hakim, pendapat seorang pakar yang berpengaruh dan pendapatnya selalu disitir atau dikutip sebagai bukti otoritatif.
3. The A Priori Method
Sumber pengetahuan dengan menggunakan pemikiran logis dan penalaran deduksi dimana akan menjadi universal.
4. The Method Of Science
Mencari kebenaran berdasarkan pengamatan dan eksperimen secara sistematik berdasarkan pengujian empiris yang dapat diuji sehingga dapat disimpulkan bahwa psikologi menggali sumber pengetahuan berdasarkan metode otoritatif kelogisan dan scientific dimana untuk memahami perilaku manusia yang dimulai dari pengamatan langsung yang sederhana sampai dengan eksperimental di laboratorium.
5. Metode Eksperimental
Metode dengan pengendalian dan pengaturan yang cermat ke dalam suatu laboratorium, dimana kondisi-kondisi dapat dimanipulasi dengan menggunakan peralatan tertentu, misalnya bagaimana ukuran dewan yuri, bagaimana mengangkat keabsahan dengan menggunakan alat bukti, pengabsahan dari hasil riset yang cermat dan prosedural.
6. Metode Realibitas
Metode untuk mencari bukti yang dapat dipakai oleh para psikolog, misalnya mengkaji efek kecemasan.
2. Kontribusi Psikolog Terhadap Bidang Hukum
Suatu sistem pembuktian dalam praktik peradilan baik itu hukum acara pidana maupun hukum acara perdata, menggunakan keterangan ahli sebagai dasar pembuktian hakim dalam menjatuhkan keputusan. Psikolog, seringkali digunakan oleh pengacara sebagai salah satu sumber pembuktian, dengan argumentasi yang didasarkan pada keahlian yang teliti dan cermat. Peran yang sering dimainkan menurut Constanzo (2006:21-27) oleh para psikolog dalam bidang hukum antara lain.
a) Psikolog sebagai penasihat
Diantara kasus yang sering masuk di pengadilan seperti permohonan dispensasi perkawinan, permohonan izin poligami dan gugatan/permohonan perceraian, hakim hanya selalu memakai pertimbangan Undang-undang (Undang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), tanpa pernah meminta tanggapan psikolog untuk menentukan alasan yang patut seorang memperoleh dispensasi perkawinan dan izin poligami. Padahal psikolog dalam kondisi tertentu akan menjadi penasihat dalam perceraian (mediasi perceraian), yang disebabkan oleh perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga. Pecahnya rumah tangga untuk diajukan perceraian di pengadilan, dapat meminta pendapat psikolog, apakah sebuah rumah tangga masih patut dipertahankan?
Di negara Amerika pakar psikolog seringkali disewa oleh pengacara untuk membantu pembuktiannya berdasarkan pengetahuan psikologis dalam bersaksi di pengadilan. Sebagai contoh, seorang psikolog klinis pernah bersaksi kompetensi orang tua untuk mendapat hak asuh anak (Child custody).
b) Psikolog sebagai evaluator
Tanpa disadari seorang hakim yang memutus dengan ketukan palu dalam putusan perceraian, anak-anak dari keluarga yang bercerai akan menjadi anak jalanan, seorang hakim perlu pertimbangan psikologis untuk memutus perceraian, karena putusan cerai adalah sama dengan menghancurkan negara kecil. Olehnya itu psikolog dalam pengadilan perlu mengevaluasi kompetensi orang tua dalam hal hak asuh tunggal, mengenai siapa yang layak untuk mengasuh anak tersebut.
Dalam penjatuhan pidana, apakah dengan hukuman penjara, seorang kriminal, tidak akan jahat lagi setelah keluar dari tahanan? Apakah dengan menangkap preman juga akan mengurangi angka kejahatan? Apakah pengaruh media (televisi, internet, dan handphone) menyebabkan terjadinya kekerasan seksual? Apakah hubungan seksual di luar nikah tidak melanggar hukum? Apakah perlu ada revolusi hukum (meminjam istilah Lawrence M. Friedman) ketika pelacuran dilokalisir?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menjadi bahan evaluasi psikolog dalam pembentukan peraturan dan penegakan hukum.
c) Psikolog sebagai pembaharu
Berita setiap tahun setidaknya 150.000 anak Indonesia menjadi korban pelacuran anak dan pornografi. Jumlah tersebut meningkat dua kali lipat dibanding data Unicef tahun 1998 yang berjumlah 70.000 anak, mereka berusia 14-16 tahun, setingkat anak usia SMP.
Kasus tersebut akan menjadi koreksi tersendiri bagi para peneliti anak, yang tentunya juga menjadi bahan penelitian psikolog, apakah perlu diadakan perubahan/pembaharuan terhadap Undang-undang perlindungan anak?, ataukah para penegak hukum yang kurang jeli memperhatikan kekerasan yang tejadi dalam dunia anak-anak?.
Selain itu psikolog juga dapat megadvokasikan perlunya Undang-undang disahkan berdasarkan temuan-temuan yang diperolehnya melaui penelitian, sebagai contoh pengesahan Undang-undang pornografi memang perlu, karena media banyak menayangkan tayangan sensual yang akan berpengaruh terhadap pembentukan pikiran dan krakter anak.
3. Respon Anak Terhadap Perceraian
Dalam sebuah forum pengadilan, seorang isteri, suami dan anak perempuannya hadir di persidangan, untuk menyampaikan hasil negosiasi mereka tentang pembagian harta bersama pasca perceraian. Saat hakim bertanya tentang pembagian hartanya, cukup sang suami mengatakan, “semua sudah kami atur bersama, yang telah di mediasi oleh orang tua dan mertua saya”. Tapi kejanggalan ketika hakim menunda sidang untuk meminta bukti tertulis persidangan selanjutnya mengenai hasil negosiasi mereka, mala sang isteri menangis. Saat itu juga suaminya datang menjabat tangan isterinya dan memeluknya, namun anak perempuannya malah tidak mau menjabat tangan ayahnya dan ia keluar dari ruang sidang, tapi sang ayah cukup reda dan tegar, berkata “bahwa ibunya pasti bisa membujuknya untuk tetap senang pada ayahnya”.
Ilutrasi di atas menggambarkan bahwa anak sangat sulit menerima keputusan ayah atas perbuatan ayah yang pernah menyakiti ibunya, lebih-lebih kalau harus berakhir di pengadilan melaui perceraian. Kondisi emosional pasca perceraian bisa menjadikan anak yang dulunya lembut akan menjadi pemurung dan mudah marah. Menurut Mulyono (1984:54) Peran ayah dan ibu dalam melaksanakan tanggung jawabnya antara lain sebagai:
a. Sumber kekuasaan dan dasar identifikasi;
b. Bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga;
c. Pelindung ancaman dari luar;
d. Penghubung dunia luar;
e. Pendidik dari segi rasional;
f. Pemberi rasa aman, sumber kasih sayang;
g. Tempat mencurahkan isi hati;
h. Pengatur kehidupan rumah tangga;
i. Pembimbing kehidupan rumah tangga;
j. Pendidk segi emosional;
k. Penyimpan tradisi
Jika peran ayah dan ibu tidak lagi ia dapatkan seperti di atas, bagi anak yang masih rentan/dibawah umur 18 tahun, dimana sang anak masih pada pencarian identitasnya, maka akan terjadi krisis identitas diri pada anak. Krisis identitas khususnya kalangan remaja, dapat mengakibatkan rusaknya tatanan sosial yang hidup di dalam masyarakat, seperti meningkatnya jumlah pelacuran, meningkatnya angka kriminalitas, dan angka kenakalan remaja.
a) Respon positif
Anak yang berkepribadian sehat dan dewasa, sudah mampu menerima keputusan orang tua yang ingin bercerai, dengan alasan tidak ingin membiarkan lagi orang tuanya terus berlarut-larut dalam konflik rumah tangga. Penerimaan perceraian oleh anak, tidak terlepas dari konsolidasi dan saling pengertian antara ayah dan ibu terhadap anaknya, bahwa perceraianlah yang terbaik bagi mereka, dan perceraian tidak menyebabkan hilangnya identitas dan peran orang tua sebagai yang bertanggung jawab terhadap anaknya. Sikap anak yang merespon positif perceraian kedua orang tuanya, juga tidak terlepas dari cara ibu dan ayah mengasuh ketika mereka masih hidup bersama-sama, dalam hal ini mengasuh anak secara demokratis.
b) Respon negatif
Seorang anak biasanya sulit menerima perceraian orang tuanya, jika penyebab perceraian oleh pihak ketiga (perempuan atau lelaki idaman lain) yang berujung pada alasan perceraian karena perzinahan, maka sang anak merespon perceraian sebagai tindakan tercela atas kedua orang tuanya. Bagi anak, bahwa ibu/ayahnya dipandang sebagai orang yang gagal dalam membina rumah tangga. Akibat respon negatif tersebut, anak akan menjadi cemas, terjadi hubungan yang lemah antara teman sebaya, rasa percaya diri yang menurun dan harus menghadapi lebih banyak penyesuain di sekolah.
Terlepas dari respon positif dan respon negatif anak terhadap perceraian, adalah dituntut peran ayah dan ibu yang tidak boleh berhenti pasca perceraian karena anak sangat intens setelah perceraian antara lain memiliki perasaan kehilangan, keterpisahan, amarah dan depresi memburuk karena harus mengatasi masalah logistik yang terkait dengan tata laksana rumah tangga yang terpisah.
BAB IV
PSIKOLOGI PENEGAKAN HUKUM
(Law Enforcement Psychology)
1. Faktor Psikogis yang Mempengaruhi Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Profesi hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara manapun. Di dalam diri hakim dipersonifikasikan berbagai simbol kearifan. Kode kehormatan hakim (Indonesia) memuat janji hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium nobile) ini dengan mengacu pada simbol-simbol: kartika, cakra, candra, sari, dan tirta. Cakra antara lain melambangkan kesungguhan mencari kebenaran dan keadilan dan berpegang teguh pada kepada keyakinan hati nurani, canra bermakna kebijaksanaan dan kewibawaan. Sari menunjukan keluhuran budi, sementara tirta adalah kejujuran, kemerdekaan, keikhlasan, dan ketabahan.
Falsafah yang indah tersebut, ditunjang dengan peraturan Undang-undang dan menempat hakim sebagai lembaga yang bersifat mandiri atau terpisah dari kekuasaan lainnya (Montesqieu dalam Jimli Asshidiqi, 2002) untuk menjadikan hakim netral sebagai lembaga judisial.
Hakim pada posisi pengemban hukum yang mulia dan cendikia, jelas bukan hanya ditempatkan sebagai abdi Undang-undang, tetapi juga adalah abdi kemanusiaan dalam lingkaran kebudayaan dan perubahan sosial yang terjadi di dalam struktur sosial (Saks and Kidd, 1986), oleh karena itu putusan hakim akan menjadi kajian dari penstudi hukum eksternal, yang dapat dimainkan oleh psikologi hukum.
Psikologi hukum sebagai penstudi atau pengamat hukum (bukan partisipan) melihat hukum dari kacamata psikologi. Hakim yang ditinjau dari kondisi psikologisnya, berarti keadaan jiwa atau mental yang mempengaruhi hakim dalam pembuatan putusan (decision making) atau melaksanakan kebijakan (policymaking) yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Menurut Pontier (dalam Munir Fuadi, 2005 dan Achmad Ali 2008) bahwa mustahil penemuan hukum oleh hakim selalu bersifat perspektivistis tapi dia selalu bersifat subjektif, dalam hal ini oleh Cardozo (Achmad Ali, 2006) membenarkan jika hakim dalam putusannya tidak semata-mata berdasarkan hukum, melainkan selalu merupakan kombinasi antara ramuan hukum dan ramuan nonhukum yang diramu di dapur pengadilan. Terjadinya diskriminasi (Donal Black dalam Friedman, 1994) atau Disparitas (Rahayu, 2000) dapat dikaji melalui faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi hakim dalam menerapkan hukum dan menjatuhkan putusan di ruang persidangan. Disparitas bisa terjadi antara beberapa putusan yang berbeda dalam perkara yang sama pada situasi dan kondisi yang sama (Poernomo, 1998 dalam Rahayu, 2000). Salah satu unsur psikologis yang mempegaruhi terjadinya disparitas adalah pengalaman (Constanzo,2006:266), ”bahwa hakim yang melihat orang-orang yang dituduh pelbagai kejahatan yang mengerikan dari hari kehari, mereka semakin lama semakin keras dan kurang bersimpati kepada terdakwa.”
Faktor-faktor psikologis (Azwar, 1988: 17 – 30 dan Sobur, 2003) tersebut dapat dianalisis melalui struktur sikap (kognitif, afektif, dan perilaku) serta interaksi dengan komponen-komponen sikap yang membentuk sikap (pengalaman, media massa, kebudayaan, pendidikan dan faktor-faktor emosional). Di dalam struktur sikap dan pembentuk sikap tersebut erat kaitannya dengan faktor kecerdasan, usia, jenis kelamin, pengalaman dan kepribadian, yang akan mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan atau menerapkan hukum (Rahayu, 2000:113).
Disisi lain hakim cenderung bersikap konservatif (John kaplan, 1973 dalam Bartol 1983) dalam pencapaian keputusan. Menurut Bartol (1983: 250) hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor;
“There is little doubt that the decisional and policymaking activity of judge is related to certain features of their social background, educational expriences, and past political affiliation. Conservatism in legal matters is taught by law schools and is strongly reinforced by colleagues and in legal practice. Increasing age may also be an element in the conservative orientation, as most judge ere appointed or elected at advanced age.”
(Ada sedikit keraguan bahwa putusan dan aktivitas policymaking (pembuatan kebijakan) oleh hakim berkaitan dengan corak tertentu dari latar belakang sosial mereka, pengalaman pendidikan, dan afiliasi (keanggotaan) politik di masa lalu. Konservatisme dalam persoalan hukum diajarkan melalui sekolah hukum dan diperkuat oleh kolega-koleganya di dalam praktik hukum. Bertambahnya umur juga menjadi salah satu unsur dalam orientasi yang konservatif, kebanyakan hakim ditunjuk dan dipilih dengan mengedepankan umur.)
Dibawah ini dikemukakan beberapa hal dalam diri hakim yang berpengaruh dalam persidangan (Rahayu, 2003) antara lain:
a) Kemampuan berpikir logis
Kemampuan berpikir logis merupakan kemampuan kognitif (Azwar, 1988) yang dimiliki oleh hakim, yang akan melahirkan persepsi atau pernyataan dalam bentuk pertimbangan-pertimbangan yang tertera di dalam putusan.
Kemampuan berpikir logis dipengaruhi oleh kecerdasan hakim yang diperoleh sejak menempuh pendidikan seperti kebiasaan melakukan penalaran hukum, merancang surat-surat pengadilan, dan analisis terhadap putusan pengadilan.
Dalam kaitannya dengan kemampuan berpikir logis (Hans kelsen dalam Sidharta: 2006) terdiri atas penalaran hukum deduktif dan penalaran hukum induktif. Penalaran hukum deduktif yaitu hakim akan melihat suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum dalam suatu kesimpulan khusus berdasarkan pernyataan yang berlaku umum. Sebaliknya penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yang berlaku umum (universal) dari rangkaian kejadian yang bersifat khusus (partikular).
Adapun penalaran yang lain yaitu penalaran abduktif dan penalaran evaluatif. Charlers Pierce (dalam Sobur: 2003, 209) mendefenisikan penalaran abduktif sebagai penalaran yang terjadi dalam merumuskan suatu hipotesis berdasarkan kemungkinan adanya korelasi antara dua peristiwa yang sebelumnya sudah diketahui. Sedangkan penalaran evaluatif yaitu penalaran yang didasarkan pada kemampuan berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan, dalam hal ini tidak menambah atau mengurangi gagasan, kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat: 1994).
b) Kepribadian
Dalam terminology kepribadian terdapat berbagai istilah, seperti motif , sifat dan tempramen, yang menunjukan kekhasan permanen pada perseorangan (Berry, et al., 1999: 141). Kepribadian merupakan organisasi dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalm individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik/khas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya (Alport 1971 dalam Sobur, 2003, 300).
Hakim sebagai pribadi penegak hukum memilki kepribadian otoritarian (Rahayu: 2000) dan kepribadian demokratis (kepribadian berempati tinggi) yang memungkinkan berpengaruh dalam menjatuhkan putusan. Menurut Alteyemer (dalam Rahayu, 2000: 114-130), hakim yang menjatuhkan putusan dalam kaitannya dengan kepribadian hakim tidak terlepas dari pengaruh otoritas yang ada, cara berpikir konvensionalisme, kesetian pada otoritas (dalam Erich Fromm: 2004) dan agresi otoritarian (Krahe: 2005).
c) Jenis kelamin
Perbedaan jenis kelamin, atau gender (dalam krahe: 2005) tampak dalam kajian menempatkan laki-laki memilki tingkat agresi tinggi, jika dibandingkan dengan perempuan. Salah satu citra yang melekat pada diri laki-laki “macho” (dalam Piliang, 2004), persepsi bahwa kekerasan itu lambang kejantanan, pandangan bahwa bahaya itu menggairahkan.
Sifat yang melekat dalam diri perempuan ”kelembutan” dan laki-laki dengan ”kekerasan”, akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Hakim tidak terlepas dari faktor ini, karena salah satu tugasnya adalah mengadili perkara dan menjatuhkan putusan. Thomton (dalam Rahayu, 2000: 129), meneliti kasus pemerkosaan, hasilnya menunjukan ada perbedaan beratnya putusan antara pria dan wanita, bahwa wanita memberi hukuman yang lebih berat dibanding pria.
d) Usia.
Psikologi perkembangan (pertumbuhan) memandang bahwa semakin tua usia seseorang semakin arif dalam menyikapi permasalahan. John Clause (dalam Bradbury: 1987) bahwa tahap kematangan hakim yaitu pada usia tua, dimana pendapatnya dapat diterima sebagai pesan-pesan yang bajik. Sehingga tak heran jika terkadang putusan hakim tua lebih berat dan terasa janggal, mungkin hakim melihat sebagai kasus yang mempunyai efek/dampak yang besar terhadap perbuatan dari siterdakwa.
e) Pengalaman.
Konsistensi hakim dalam menjalankan aturan tidak hanya dapat dilihat pada ruang pengadilan, tetapi juga pada tutur kata, sikap, pergaulan dan tingkah lakunya (Imanuel kant dalam Wulfgaf Friedman, 1990).
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembentukan sikap seorang. Pertama, adanya akumulasi pengalaman dari tanggapan tipe yang sama. Seorang mungkin berinteraksi dengan pelbagai pihak yang mempunyai sikap yang sama terhadap suatu hal. Kedua, pengamatan terhadap sikap lain yang berbeda. Seorang dapat menentukan sikap pro atau anti terhadap gejala tertentu. Ketiga, pengalaman buruk atau baik yang pernah dilami. Keempat, hasil peniruan terhadap sikap pihak lain (baik secara sadar atau tidak sadar).
Seberapa banyak hakim berpraktik dan belajar dari kesalahan serta mengacu pada hakim senior, merupakan pengalaman yang diperoleh yang akan berpengaruh terhadap berbagai kasus yang dihadapinya
2. Putusan hak asuh anak
Apabila hakim diajukan perkara kepadanya, maka ia harus menerima perkara tersebut walaupun tidak ada hukum yang mengaturnya (ius curia novit), apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihak-pihak yang berperkara tidak lagi menyampaikan suatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Menurut Andi Hamzah (1986: 485) putusan adalah hasil atau kesimpulan dari perkara yang dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan. Demikian juga Sudikno Mertokusumo (1988:167-168) mengemukakan bahwa putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara atau sengketa antara pihak yang berperkara. Ditinjau dari segi sifatnya (dalam Abdul Manan: 2006, 297-298), putusan pengadilan terdiri atas:
1. Putusan declaratoir, putusan pengadilan yang amarnya menyatakan suatu kedaan dimana kedaan tersebut dinyatakan sah menurut hukum.
2. Putusan constitutive, putusan yang bersifat menghentikan atau menimbulkan hukum baru.
3. Putusan condemnatoir, putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi yang ditetapkan oleh hakim.
Putusan hak asuh anak oleh hakim termasuk dalam kategori putusan yang bersifat constitutif yaitu, menciptakan hukum baru/keadaan baru tentang siapa yang berhak untuk mengasuh anak dari para pihak. Para pihak dalam sengketa penentuan hak asuh anak adalah antara ayah dan ibu yang memposisikan diri sebagai tergugat dan penggugat.
Berdasarkan hasil analisis psikologi tentang hak asuh anak untuk menentukan siapa yang berhak atas pengasuhan tersebut (dalam Constanzo: 2004, 368), terbagi atas lima kriteria:
1. Keinginan orang tua anak.
2. Keinginan anak.
3. Hubungan antara anak, orang tua, sudara kandung dan orang lain yang memberikan pengaruh signifikan pada kepentingan terbaik anak.
4. Penyesuaian anak di rumah, sekolah, dan masyarakat.
5. Kesehatan fisik dan mental orang-orang yang terlibat dengan anak.
Tetapi yang lebih sering terjadi, pengadilan selalu memakai pertimbangan Undang-undang seperti Kompilasi Hukum Islam yang menetapkan hak asuh anak pada ibu jika anak berada dibawa umur 12 tahun. Padahal hakim dimungkinkan untuk menggali hukum bahkan menciptakan hukum yang baru, karena tidak selamanya hak asuh ibu yang ditetapkan dalam Undang-undang dapat menjamin apa yang terbaik (the best interes of the children)untuk seorang anak selama bertahun-tahun kedepan.
Dalam sistem peradilan Amerika, pengaturan hak asuh anak dibedakan antara legal custody dan physical custody. Legal custody (hak asuh legal) berhubungan dengan hak dan tanggung jawab orang tua. Sebagai contoh orang tua yang memiliki hak asuh legal memiliki wewenang untuk menentukan wewenang untuk menentukan anaknya harus sekolah di sekolah mana dan, bila perlu penanganan medis seperti apa yang harus diterima anak. Physical custody mengacu pada seberapa lama seorang anak dapat menghabiskan waktu bersama salah satu orang tuanya. Physical custody menjadi alternatif dasar atas penentuan hak asuh tunggal dan hak asuh bersama. Di dalam hak asuh tunggal, salah satu orang tua memiliki hak asuh legal dan fisik, sementara yang lainnya hanya diberi hak-hak terbatas untuk mengunjungi anaknya dengan interval yang teratur. Sedangkan hak asuh bersama yaitu memberikan kesempatan kepada anak untuk menghabiskan waktu yang sama dengan masing-masing orang tuanya.
Secara psikologis yang lebih menguntungkan baik bagi anak maupun orang tuanya yaitu hak asuh bersama, karena dukungan finansial untuk anak lebih stabil dibanding penatalaksanaan hak asuh tunggal, dimana orang tua yang diberi hak asuh harus selalu meminta pembayaran biaya pengasuhan anak dari orang tua yang tidak memiliki hak asuh. Hak asuh tunggal digunakan, jika salah satu orang tua tidak kompeten, seperti mengalami ketergantungan obat, suka menganiaya anak secara fisik dan emosional.
Sedangkan negara Indonesia, dalam pengaturan hak asuh anak dapat dilihat pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yaitu
1. Pemeliharaan anak yang belum Mumayyis atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya.
Berdasarkan Pasal tersebut berarti indonesia, hanya menganut hak asuh tunggal yaitu hak asuh ibu (mother custody) atau hak asuh ayah (father custody), padahal kedua-duanya (ayah dan ibu) tetap mempunyai hak untuk mengasuh dan menjalankan hak/kewajibannya sebagai orang tua dari anak tersebut..
BAB V
DASAR HUKUM
GUGATAN/PERMOHONAN PERCERAIAN
Munculnya hukum perceraian, menunjukan bagaimana hukum menyesuaikan dengan fakta kehidupan masyarakat. Budaya perkawinan yang berlaku pada masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari keterlibatan negara mengatur hukum dan kebiasaan dalam pergaulan masyarakat. Hukum sebagai kaidah yang imperatif yang mengatur, mengandung kata patuh (obey) dengan tidak patuh (disobey) tidak selamanya tepat untuk diterapkan dalam menjalankan hukum. Perceraian sebagai hubungan hukum yang bersifat privat, tidak menjadikan orang yang bercerai harus patuh, tetapi terletak pada kemauan orang untuk menggunakan atau tidak menggunakan peraturan tentang perceraian. Pasangan suami isteri memang telah mengikuti prosedur formal dan aturan. Namun tidak bisa mengatakan bahwa mereka “mematuhi” hukum. Hukum perceraian tidak bersifat memerintahkan orang untuk bercerai. Hukumnya hanya menjelaskan bagaimana melakukan perceraian.
Persoalan menggunakan atau tidak mengunakan hukum, sering diartikan sebagai perilaku hukum, yaitu perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau Undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Perilaku hukum tidak terlepas dari unsur-unsur sistem hukum seperti struktur, substansi dan budaya hukum.
Dalam praktik pengadilan, hakim dalam menerima dan memeriksa gugatan dipengaruhi oleh perilakunya yaitu komunikasi hukum dan pengetahuan hukum (dalam Lawrence M. Friedman: 2001). Komonikasi hukum yaitu terletak pada kemampuan hakim untuk mengkomonikasikan aturan hukum pada pencari keadilan. Sedangkan pengetahuan hukum yaitu kemampuan hakim dalam melaksanakan, menalar, menerapkan dan menemukan hukum untuk penyelesaian perkara.
Berdasarkan kemampuan hakim dalam menerapkan hukum, akan memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Perkara yang masuk di pengadilan terbagi dalam dua jenis yaitu permohonan dan gugatan. Adapun perbedaan diantara keduanya bahwa dalam perkara gugatan ada suatu sengketa yang harus diselesaikan dan diputus oleh pengadilan, hakim berfungsi sebagai hakim yang mengadili dan memutus siapa diantara pihak-pihak yang benar dan siapa yang tidak benar. Sedangkan dalam perkara permohonan, tidak ada sengketa, hakim hanya sekedar memberikan jasa-jasa sebagai seorang pejabat negara, hakim mengeluarkan penetapan yang lazim disebut putusan declaratoir, suatu putusan yang bersifat menetapkan dan menerangkan saja.
1. Pengertian Gugatan/Permohonan Perceraian
Gugatan dalam perceraian terbagi atas dua yaitu gugatan cerai dan permohonan perceraian, gugatan perceraian sering disebut cerai gugat sedang permonan perceraian disebut cerai talak.
Cerai talak yaitu seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya, disertai alasan-alasan serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Cerai gugat yaitu seorang isteri menggugat suaminya di depan pengadilan berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Undang-undang yang diajukan di depan pengadilan tempat tinggalnya dengan permintaan agar memeriksa perkaranya dan menjatuhkan putusan perceraian.
2. Alasan Perceraian
2.1 Alasan Perceraian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Dalam Pasal 209 K.U.H. perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah:
1. Zinah, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinahan itu sendiri harus dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan perzinahan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut melakukan perzinahan.
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 K.U.H. perdata gugatan itu baru dapat diajukan setelah lampau lima tahun dihitung dari saat pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah. Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang kembali dalam rumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 bulan sesudah saat perginya yang kedua kali.
3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih, pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka, sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Alasan ini semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Pasal 5 ditegaskan “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkungan rumah tangganya dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga”.
2.2. Alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Dengan lahirnya Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 sebagai hukum positif dan berlaku efektif setelah disahkannya peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 yang merupakan pelaksanaan Undang-undang perkawinan, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan dengan semena-mena seperti yang terjadi sebelumnya.
Alasan-alasan perceraian menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 disebutkan dalam Pasal 39, penjelasan Undang-undang perkawinan yang diulangi dalam Pasal 19 peraturan pelaksanaan P.P No. 9 tahun 1975 yang mengatakan:
1. Salah satu pihak berbuat zinah atau pemabuk, pejudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami isteri.
6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3. Akibat Perceraian
Menurut Subekti (2005, hal. 46 – 47) tujuan pengaturan secara yuridis dari akibat perkawinan yaitu bermaksud melindungi suatu hasil perkawinan agar dapat memberi kepuasan terhadap pihak-pihak.
Suatu perkawian dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia tentunya mempunyai hasil yang sudah dicapai setelah sekian lama membangun rumah tangga. Hasil tersebut harus dilindungi bahkan dijamin kelangsungan hidupnya di masa depan.
Terhadap isteri misalnya, sesuai dengan kodrat kewanitaannya harus diberi perlindungan dan jaminan ekonomi yang sesuai dengan kesejahteraan hidupnya. Demikian terhadap anak-anak pula harus diperhatikan pendidikan serta kelangsungan hidupnya hingga dapat berdiri sendiri dan berkeluarga pula. Bahkan terhadap harta benda sekalipun, agar tidak hancur berantakan dan dapat terus berfungsi harus diurus dengan baik.
Karena itulah hukum positif mencoba menanggulangi secara prefentif suatu tindakan perceraian khususnya dalam K.U.H perdata dan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
a. Akibat Perceraian Menurut K.U.H. Perdata
a) Akibat terhadap isteri/suami
Dengan adanya suatu perceraian, setelah keputusan hakim didaftarakan dalam daftar catatan sipil, maka tidak ada kewajiban untuk hidup bersama antara bekas suami dan isteri, dengan kata lain mereka hidup terpisah secara sendiri-sendiri.
Akibatnya si isteri menjadi cakap untuk bertindak sendiri, bekas isteri dapat melakukan tindakan hukum tanpa bantuan suami. Masalah pemberian tunjangan nafkah, dalam Pasal 225 K.U.H. perdata menentukan kepada pihak yang menang dalam perkara perceraian itu ada kemungkinan untuk mendapatkan nafkah dari pihak yang kalah, bilamana ia tidak mempunyai penghasilan yang cukup. Pasal 329 K.U.H. perdata menentukan bahwa dalam hal menentukan jumlah uang nafkah, maka hakim harus menentukan imbangan antara kebutuhan pihak yang menuntut nafkah itu, dengan pendapatan serta kekayaan pihak yang dituntut, dihubungkan dengan jumlah dan keadaan orang-orang lain yang harus diberi nafkah olehnya.
Pemberian tunjangan tersebut dapat berakhir, dengan menikahnya bekas isteri dengan pihak lain. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa bekas isteri dengan menikahnya lagi dengan pihak lain telah berarti memilih suatu jalan baru, suatu hidup baru, maka logis apabila suami yang baru pula menjamin kesejahteraan hidupnya.
b) Akibat terhadap harta kekayaan
Dengan adanya perceraian maka hapuslah keadaan harta bersama dan untuk itu dapat diadakan pembagian yang umumnya dilakukan secara fifty-fifty.
Dalam hal satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak lain, maka berdasarkan Pasal 222 dan 223, K.U.H. perdata maka keuntungan dari pihak yang menjanjikan itu harus tetap diberikan kepada pihak yang berhak kecuali pihak yang berhak itu adalah pihak yang bersalah.
Keuntungan yang telah dan dijanjikan merupakan suatu pemberian keuntungan yang akan diberikan oleh pihak ketiga, maka menurut Pasal 228 K.U.H. perdata, perceraian itu tidak menjadikan hapusnya pemberian keuntungan itu. Demikian juga dengan keuntungan yang dijanjikan yang akan diberikan pada anak-anak dari hasil perkawinan itu atau yang menurut hakim harus diberikan kepada anak-anak itu, maka pelaksanaan pemberian keuntungan itu harus dijalankan dengan tidak dipengaruhi oleh perceraian kedua orang tuanya.
c) Akibat terhadap anak yang berada di bawah umur
Dengan jatuhnya putusan perceraian, mempunyai akibat pula terhadap kekuasaan orang tua berakhir dan berubah menjadi perwalian. Karena itu, jika perkawinan itu dipecahkan oleh hakim harus pula diatur tentang perwalian itu terhadap anak-anak yang masih di bawah umur. Penetapan wali oleh hakim dilakukan setelah mendengar keluarga dari pihak ayah maupun dari pihak ibu yang rapat hubungannya dengan anak tersebut. Hakim merdeka untuk menetapkan ayah atau ibu menjadi wali, tergantung dari siapa yang dipandang paling cakap atau baik mengingat kepentingan anak-anak. Penetapan wali ini juga dapat ditinjau kembali oleh hakim atas permintaan ayah atau ibu berdasarkan perubahan keadaan.
b. Akibat Perceraian Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Dalam Undang-undang perkawinan unsur suami isteri, harta kekayaan dan anak-anak merupakan unsur yang dilindungi sebagai mana pula halnya dalam K.U.H. Perdata, hanya dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kedudukan anak lebih terjamin, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 41 akibat putusnya perceraian ialah:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB VI
DASAR HUKUM PUTUSAN
HAK ASUH ANAK
Perlindungan hukum bagi sang anak, tidak terlepas dari hak asasi manusia khususnya hak anak. Pada dasarnya terdapat dua hak dasar pada manusia yaitu pertama hak yang melekat pada manusia dan secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Ia berkaitan dengan eksistensi hidup manusia, bersifat tetap dan utama, tidak dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada tidaknya orang lain disekitarnya. Dalam skala yang lebih luas hak asasi menjadi asas Undang-undang. Wujud hak ini diantaranya berupa: kebebasan batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi, atas nama baik, melakukan pernikahan, kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, emansipasi wanita. Kedua, hak Undang-undang (legal right) yaitu hak yang diberikan oleh Undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia. Hak khusus yang diberikan oleh Undang-undang diantaranya: hak seseorang menjadi pegawai negeri sipil, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu, hak untuk memperoleh jaminan pensiun dan jaminan hari tua, dan hak untuk memperoleh upah yang layak dalam hubungan kerja.
Hak asasi manusia yang paling banyak melekat dalam diri anak yaitu hak dasar, yang melindungi anak sejak ia lahir sampai ia berumur dewasa seperti hak untuk hidup dan hak untuk mendapat pemeliharaan. Penekanan hak-hak anak pertama kali dirumuskan melaui Instrument The United Nations Convention On The Right Of The Child pada Pasal 2 yang menegaskan bahwa “anak adalah semua manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak itu. “Kedewasaan dicapai lebih dini”. Diantara hak yang dilindungi adalah:
1. Hak atas sebuah nama.
2. Hak untuk mengetahuai orang tuanya dan diasuh oleh mereka.
3. Dipertahankan identitasnya.
4. Kebebasan dari perlakuan buruk seksual dan eksploitasi seksual dari obat-obat perdagangan narkotik.
Di dalam konvensi tersebut sudah dicantumkan masalah hak asuh/ mendapat pemeliharaan yang layak. Pengaturan hak dan kepentingan anak juga diatur lebih lanjut melalui Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ketika Undang-undang tersebut ditetapkan dalam lembaran Negara 109 TLN 4235 pemerintah menyandarkan sejumlah pertimbangan mengapa disusun Undang-undang ini. Diantaranya adalah bahwa negara kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan Hak Asasi Manusia; bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan yang maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; bahwa anak adalah tunas, potensi, ganerasi muda, penerus cita-cita perjuangan bangsa. Memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan; bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk berkembang dan tumbuh secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, dan berahlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.
Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Negara juga telah menempatkan hak dasar dalam diri anak sebagai subjek hukum sejak ia berada di dalam kandungan, yang dianggap cakap untuk bertindak secara hukum dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, yang dapat diwakili oleh orang tuanya.
Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak, Undang-undang No. 23 tahun 2002 telah meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas nodiskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Perlindungan terhadap hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembanganya atau dengan kata lain hak untuk mendapat pemeliaharaan/hak asuh di atur dalam Pasal 7 Undang-undang No. 23 Tahun 2002:
1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
2. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian diatur lebih lanjut jika karena alasan terpaksa anak harus berpisah dengan orang tuanya maka diangkat wali/kuasa asuh melalui penetapan pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-undang No. 23 tahun 2002 “ dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan, anak berhak memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya”.
Putusan pengadilan tentang penentuan hak asuh anak selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam:
1. Pemeliharaan anak yang belum Mumayyis atau belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai hak pemeliharaannya.
Sekumpulan peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka hakim sebelum menjatuhkan putusan harus memperhatikan peraturan perundang-undangan tersebut sebagai satu kesatuan atau dengan kata lain dalam penjatuhan putusan tentang penetapan hak asuh anak hakim perlu menggunakan interpretasi hukum secara sistematis.
BAB VII
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN ANAK
Theodere Lids (dalam Bradbury: 1987) adalah seorang ahli psikoanalisis yang pertama kali menulis suatu laporan mendetil tentang perkembangan manusia selama hidupnya dalam laporan tersebut diilustrasikan seperti berikut ini:
“prosesnya tidak seperti mendaki sebuah bukit dan turun lewat sisinya, melainkan lebih mirip suatu ekspedisi pendakian gunung Himalaya yang mengharuskan orang mendirikan kemah pada ketinggian yang berbeda-beda, mencari pemandu, menjelajahi daerah yang dilalui, menguasai keterampilan dan beristirahat sebelum pendakian berIkutnya……Turunnya pun dilakukan secara bertahap”
Begitulah pendapat Lidz ketika ia berbicara tentang jalannya perkembangan kehidupan, ia menggambarkan bagaimana orang tumbuh dari bayi merah menjadi orang dewasa dan kemudian secara berangsur kuncup kembali menuju kematian.
Pada abad keenam sebelum masehi juga muncul filsafat cina yang menulis suatu skema dalam menekankan perkembangan psikologi selama masa dewasa. “ pada umur 15 tahun, saya bertekad untuk belajar” demikian ajaran Kung Fu-tse. “pada umur 30 tahun saya telah menginjakan kaki dengan mantap di tanah. Pada umur 40 tahun saya tidak lagi mengalami kebingungan. Pada umur 50, saya mengetahui perintah-perintah dari surga. Pada umur 60, saya mendengar perintah-perintah itu dengan sikap menurut. Pada umur 70, saya dapat mengikuti suara hati itu sendiri; ini disebabkan karena apa yang saya inginkan tidak lagi melampaui batas kebenaran”.
Diantara daur kehidupan perkembangan, yang paling populer adalah yang diberikan oleh Shakespeare dalam as you like it. John Clause menganalisisnya dengan mengingat pandangan yang berlaku pada waktu itu tentang jangka waktu hidup manusia: dari tujuh daur kehidupan yang dipaparkan Shakespeare, dua tahap pertama dan tahap yang terakhir sangat erat kaitannya dengan umur. Mula-mula tahap bayi yang, ngompol dan muntah-muntah dalam timangan, lalu tahap anak sekolah yang merengek-rengek, dan pada ujung yang lain tahap keenam ketika orang mengenakan celana panjang yang ketat dan licin, dengan kacamata dihidung serta kantung disisinya. Dan kemudian tahap terakhir tahap masa kekanak-kanakan kedua dan masa dilupakan. Ketiga tahap yang lain sebenarnya adalah peranan dalam masyarakat seperti pencinta, prajurit dan hakim yang berhubungan erat dengan umur, terutama jika orang memandang tiap peranan itu sebagai semacam tipe ideal. Romeo, sang pencinta dalam sandiwara Shakespeare, jelas-jelas orang remaja. Sang prajurit “ penuh sumpah aneh-aneh” adalah pria muda dewasa tanpa tanding. Dan ahli hukum sering baru bisa menjadi hakim setelah ia memperoleh kearifan serta perut gendut setengah baya. Menurut Claussen, ketujuh tahap umur Shakespeare adalah pernyataan dramatis tentang kenyataan bahwa orang berubah dengan amat menyolok dari tahap umur yang satu keumur yang lain dalam gambaran yang mereka bangkitkan dan dalam pribadi yang mereka tampilkan pada dunia.
Ternyata daur kehidupan yang diungkapkan oleh para ahli psikologi, tidak hanya pada daur kehidupan kelahiran sampai pada kematian. Kini para peneliti melakukan penelitian secara mendetil tentang daur kehidupan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah melakukan penelitian terhadap perkembangan anak dari remaja sampai dewasa.
Untuk penelitian tentang perkembangan anak mengenai aktivitas anak dan perkembangan kecerdasannya, adalah Erik Erikson yang lahir di Denmark adalah pengamat Freud yang kemudian melangkainya. Menurut Erikson (dalam Bradbury:1987,hal. 15) masa kanak-kanak terdiri dari empat tahap yaitu:
1. Tahap harus memilih antara percaya dan tidak percaya;
2. Antara berdikari dan bimbang;
3. Antara inisiatif dan rasa bersalah;
4. Antara ketekunan dan perasaan rendah diri;
Apakah pada setiap akhir setiap tahap itu yang menang unsur positif atau unsur negatifnya? Sangat bergantung pada hubungan si anak dengan tokoh-tokoh penting dalam hidupnya, orang, guru, kakak dan kawan-kawanya. Jika tokoh-tokoh itu memberikan alasan kepada anak untuk mempercayai dunia, untuk percaya kepada diri sendiri, untuk melakukan kegiatan baru dan membuat serta melakukan hal-hal praktis, maka ia akan mengembangkan keutamaan harapan, kemauan, tekad serta kemampuan.
Ahli lain yang juga berpengaruh sesudah Freud adalah Jean Piaget. Teori-teoi yang dikemukakannya disimpulkannya atas dasar penelitian yang sangat cermat terhadap anak-anak lebih dari 40 tahun. Dia telah menulis 30 buku dan ratusan artikel-artikel di berbagai penerbitan. Menurut Piaget disamping faktor umur ada faktor lain yang sangat penting dalam perkembangan kognitif anak yaitu adanya pengalaman kongkrit atau kontak langsung si anak dengan objek-objek di sekitarnya, serta hubungan antara keduanya. Pengalaman-pengalaman ini merupakan makanan bagi pertumbuhan jiwa.
FJ Monks (1984:184), mengutip pendapat Piaget, bahwa perkembangan anak dapat dibagi menjadi beberapa stadium, yaitu fungsi kognitif pada umur yang berlain-lainan dapat dibedakan satu sama lain sebagai berikut:
a) Stadium sensori motorik (0- 18 bulan)
Mula-mula si bayi hanya dikuasai oleh badan dan gerak refleksnya saja yang di bawah sejak lahir. Jadi bila dia melihat sesuatu hanyalah suatu kebetulan, sebab matanya terbuka tanpa ada suatu tujuan tertentu. Selama stadium ini nampaklah perkembangan pada anak mulanya bergerak melulu atas dasar nivo tingkah laku refleksi murni.
Dunianya belum kongkrit, tapi hanya merupakan pengalaman-pengalaman sesaat dari panca-indera dan gerak-gerik dari badannya saja. Apa yang ada baginya hanya yang kelihatan saja. Suatu objek hanya merupakan suatau perpanjangan tindakan tersendiri. Bagi anak umur 8 bulan, obyek tidak ada eksistensinya lagi bila misalnya disembunyikan di belakang layar. Baru sekitar 9-12 bulan anak mampu untuk menemukan kembali obyek-obyek bila mereka disembunyikan. Anak pada usia ini hanya mencarinya di tempat obyek tadi disembunyikan pertama kali. Dengan perkataan lain bila suatu obyek untuk pertama kalinya di bawah bantal A dan kemudian di bawah bantal B, maka anak umur 12 bulan pertama-tama mencarinya di bawah bantal A.
Baru pada tahun kedua, anak mencari obyek tadi di tempat yang terakhir kali ia melihatnya menghilang atau disembunyikan (di bawah bantal B). Pada umur 18 - 24 bulan, dia sudah mempunyai sebuah gambaran mental yang terlepas dari bendanya, Piaget menamakan proses ini proses desentrasi artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungannya sebagai dua entitas yang berbeda.
b) Stadium pra-operasional (18 bulan -7 tahun)
Stadium ini dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi serta bayangan dalam mental. Dari 2-4 tahun anak belajar nama-nama benda, belajar mengerjakan suruhan-suruhan sederhana, dan juga senang melakukannya pada orang lain. Merekapun giat bertanya tentang segala sesuatu yang menarik perhatiannya.
Sifat yang paling menonjol pada tahap ini adalah egosentrisme. Anak belum mampu baik secara persepsual, emosional, motivational, maupun konsepstual untuk mengambil perspektif orang lain.
Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multidimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini, contoh: sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan air yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi dari yang satunya, anak belum melihat dua dimensi sekaligus.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversible) anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya.
Berpikir pra-operasional juga bersifat statis. Bila situasi A beralih kesituasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan perpindahannya dari B ke A, contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tongkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambarkan tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat sedang jatuh diabaikan oleh anak.
Jadi jalan pikirannya yang egosentris tidak memungkinkannya untuk melihat kemungkinan-kemungkinan lain. Baru pada umur 7 tahun dia mulai lebih bebas dan melihat adanya kemungkinan-kemungkinan lain. Maka diapun beralih ketahap perkembangan berikutnya.
c) Stadium operasional kongkret (7-11 tahun )
Pencapaian pada tahap operasi konkret memungkinkan anak mampu melibatkan diri dalam operasi mental yang fleksibel dan bisa dibalikkan sepenuhnya. Anak-anak pada stadium ini mengerti kaidah logis tertentu yang disebut grouping dan dengan demikian mampu bernalar secara logis dan kuantitatif dengan cara yang tidak jelas pada tahap pra-operasional. Anak-anak dalam tahap operasi konkret bergerak bebas dari satu sudut pandang ke sudut pandang yang lain, jadi mereka mampu bersikap cukup objektif dalam menilai peristiwa. Mereka juga mampu melakukan decenter yaitu memusatkan perhatian mereka pada beberapa sifat suatu objek atau peristiwa secara serentak dan mengerti hubungan diantara dimensi-dimensi.
Meskipun dia sudah lebih bebas dari kungkungan egosentrismenya, tapi dia masih sangat tergantung pada keadaan yang konkret, jadi belum melihat adanya kemungkinan sebagai penyebab suatu keadaan. Misalnya, dia berpendapat bahwa semua anak yang lebih tinggi itu lebih tua umurnya dari anak yang lebih pendek. Tidak dilihatnya kemungkinan-kemungkinan adanya pertumbuhan fisik yang lain.
d) Stadium operasional formal (mulai 11 tahun)
Anak dalam stadium operasional konkrit sangat terikat pada masa kini. Ia belum mampu untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ada. Hal ini berubah dengan datangnya stadium operasional formal. Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat penting:
1. Sifat deduktif hipotesis: bila anak yang berpikir operasional konkret harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkret dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu. Anak yang berpikir operasional formal akan melakukan suatu yang lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoritik. Ia menganalisa masalahnya dengan penyelesaian-penyelesaian hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisanya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisa teoritis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu, juga disebut preposisi-preposisi, kemudian mencari hubungannya antara proposisi yang berbeda-beda tadi.
2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris.
Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisanya. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh dimana peneliti memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan berwarna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini.
Anak yang berpikir operasional konkret mencoba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematik, secara trial and eror sampai secara kebetulan ia menemukan kombinasinya tadi. Tapi sesudahnya ia tidak mampu untuk memproduksinya. Kalau anak tidak dapat mencapai kombinasi yang betul, hal ini berarti bahwa ia secara kebetulan juga tidak mencoba secara empirik kombinasi yang betul itu. Anak operasional yang formal lebih dahulu secara teoritik membuat matriksnya mengenai segala macam kombinasi yang mungkin, kemudian secara sistematik mencoba setiap sel matriks tersebut secara empirik. Bila ia mencapai penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya.
Stadium operasional formal merupakan dasar-dasar intelektual yang dimiliki seorang ilmuwan. Adanya kemampuan untuk memikirkan sebanyak kemungkinan yang akan terjadi dalam memecahkan persoalan adalah bentuk tertinggi dari perkembangan kecerdasan seseorang.
Meskipun dari uraian di atas tampaknya perkembangan anak terjadi dengan lancar dan sederhana, tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Kemampuan yang kelihatannya sangat sederhana diperoleh anak dengan susah payah melalui usahanya yang tidak kenal jemu dan putus asa, yang diulangnya berpuluh bahkan beratus-ratus kali, mungkin pula lebih dalam pergaulannya yang langsung dengan objek-objek di sekitarnya. Kadang seorang anak telah menguasai suatu kepandaian tertentu, tapi hilang lagi. Ini hanya merupakan suatu kebetulan saja dari berbagai aktivitas anak yang sedang mencoba-coba. Dan memang sering terjadi dengan adanya kebetulan semacam ini timbullah pengertian. Tidak heran bila Piaget berkesimpulan bahwa aktivitas anak yang berhubungan langsung dengan benda-benda yang konkret itu merupakan makanan bagi perkembangan kecerdasan anak. Aktivitas motoriknyalah yang kemudian dimasukkan ke dalam dirinya sebagai aktivitas mental.
Dan adalah kewajiban bagi orang tua, guru atau orang dewasa lainnya yang berkepentingan untuk menyediakan kemungkinan yang optimal bagi perkembangan si anak, baik di rumah maupun di sekolah.
Selain faktor di atas, ada lagi faktor lain yang tidak kala pentingnya, yaitu umur. Pada tiap umur tertentu anak mereaksi secara tertentu. Meskipun umur yang disebut Piaget hanya merupakan patokan yang umum, artinya anak yang lebih cerdas akan lebih cepat sampai pada suatu kemampuan tertentu, dan kebalikannya yang akan terjadi pada anak-anak yang lambat. Kemampuan anak ini harus disertai dengan adanya kematangan, baik dari segi biologis maupun kematangan mental. Jadi tidak dapat kita paksakan pada mereka sesuatu yang belum dapat dikerjakannya, hal ini hampir sama seperti memaksa si lumpuh untuk berjalan. Tapi si anak akan benar-benar menjadi lumpuh perkembangan kecerdasannya, apabila dia tidak mendapat kesempatan yang baik.
BAB VIII
ETIKA PROFESI DAN
PERILAKU HAKIM
Etika merupakan cabang aksiologi yang membicarakan masalah nilai “betul” (right) dan “salah” (wrong) dalam arti susila (moral) dan tidak susila (immoral). Etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik. Kebajikan sering dilawankan dengan kejahatan-kejahatan (vices), yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang mempunyainya dikatakan sebagai orang yang tidak susila. Untuk mengetahui suatu tindakan itu susila atau tidak susila oleh Louis O. kattsoff (2004) menggunakan pendekatan kognitif terhadap sebuah pernyataan, yaitu:
a. Kalimat-kalimat yang kebenarannya tergantung pada makna yang dikandung oleh kata-kata yang menyusunnya disebut analitis. Kalimat sepereti “segi tiga mempunyai tiga sisi” bersifat analitis karena secara defenisi memang suatu segitiga mempunyai tiga sisi.
b. Kalimat-kailimat yang kebenarannya yang tergantung pada hasil pengamatan yang bersifat empiris atau secara inderawi disebut sintetis. Kalimat seperti “hujan turun” bersifat sintetis, dan kebenarannya tergantung pada acuannya yang bersifat empiris.
Tetapi jika sebuah kalimat seperti “alangkah indahnya matahari terbenam, maka itu hanya merupakan suatu respon kejiwaan (emosional) yang tidak bisa dianalisis secara empiris dan analitis.
Terhadap pendekatan yang digunakan oleh Kattsof (2004), dapat diterapkan pada pertanyaan oleh seorang dokter “apakah akan saya bunuh saja pasien yang sedang menderita penyakit kanker yang tidak dapat lagi disembuhkan? Dalam hal ini kita menghadapi suatu masalah yang khusus. Selanjutnya kita andaikan ia mengambil keputusan “pembunuhan merupakan keburukan dan seharusnya tidak dikerjakan”. Kalimat ini terdiri dari dua buah pernyataan yaitu “pembunuhan merupakan keburukan” dan “pembunuhan seharusnya tidak dikerjakan”. Seorang positivis akan mengatakan meskipun kalimat pertama bersifat empiris, namun yang kedua tidak demikian halnya, karena kalimat tersebut sekedar mengulang apa yang sudah terkandung dalam kalimat yang pertama. Secara defenisi “kata keburukan” merupakan “sesuatu yang seharusnya tidak dikerjakan”. Karena itu pembunuhan tetap merupakan perbuatan yang tidak susila atau tidak bajik.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Depatemen P. dan K., 1996) etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiaban moral (akhlak).
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan/masyarakat.
Tujuan dari etika yang dapat disimpulkan berdasarkan defenisi di atas yaitu bahwa suatu perbuatan kesusilaan berusaha mencari dan menemukan kebahagiaan atau kenikmatan, Aristoteles mengatakan yang baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia (“berbuatlah susila agar dapat mewujudkan dirimu”).
Kebahagiaan yang dicari oleh manusia bukan kebahagiaan yang egoistis (hedonisme egoistis), tetapi kebahagiaan yang bersifat altruistis (hedonisme altruistis atau utilitarianisme) menjadi alasan etika harus diterapkan dalam dunia profesi hukum. Menurut Suhrawardi (1994:6) hubungan etika dan profesi hukum adalah:
“Etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan professional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagi pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, dan oleh karena itulah kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi”.
Dari apa yang diuraikan oleh Surawardi maka sebuah profesi dituntut tindakan yang bajik, yang mana dapat melaksanakan tugasnya secara professional dengan baik untuk menciptakan penghormatan terhadap martabat manusia yang pada akhirnya melahirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Hubungan etika dengan profesi hukum kemudian digunakan dalam pendefenisian tentang etika profesi hukum. Etika profesi hukum adalah dasar atau acuan yang dijadikan pedoman oleh para penegak hukum dalam menegakkan keadilan yang dituangkan dalam bentuk kode etik profesi hukum.
Dihubungkan dengan etika suatu profesi dapat dikatakan bahwa kode etik mencakup usaha untuk menegakkan dan menjamin etika, tetapi dimaksudkan pula untuk melampauinya, misalnya dengan adanya suatu standar professional. Kode etik menimba kekuatan dari etika, tetapi juga memperkuatnya. Kode etik yang tertulis dapat menyumbang bagi pertumbuhan etika dan keyakinan etis bersama. Kode etik menuntut usaha bersama untuk semakin mengerti dan semakin melindungi nilai-nilai manusiawi dan moral profesi (Liliana, 2003:76).
perilaku hakim
Menurut Benjamin Natan Cardozo sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali (2002: 5) bahwa putusan hakim itu bukan semata-mata lahir dari “ramuan hukum“ misalnya preseden atau Undang-undang tetapi kombinasi hukum dan ramuan nonhukum, jadi hukum adalah perilaku dan dalam hal ini perilaku hakim tertentu yang belum tentu persis sama dengan perilaku hukum hakim lain, meskipun menghadapi kasus yang sejenis dan menggunakan ketentuan hukum yang sama. Jadi hukum, bukan hanya seperangkat Undang-undang tetapi bagaimana masyarakat menilai kinerja hukum dari aparatur penegak hukum yang dalam hal ini menurut Achmad Ali dapat ditinjau melalui pendekatan empiris terhadap hukum yang mencakupi seluruh kajian tentang perilaku hukum.
a. Kajian sosiologi tentang hukum
b. Kajian psikologis tentang hukum.
c. Kajian politis tentang hukum.
d. Kajian ekonomi tentang hukum.
e. Kajian antropologis tentang hukum.
Sedangkan Lawrence M. Friedman (2002) mengemukakan bahwa:
“Tidak semua perilaku hukum dapat dijelaskan dalam kaitannya dengan ganjaran dan hukuman. Pada tingkat tertentu, kita sebenarnya makhluk yang tanggap terhadap janji dan ancaman, namun kita juga insan yang bermoral dan sosial. Kita bereaksi terhadap yang kita peroleh terhadap orang yang lain, terhadap apa yang dipikirkan dan dikatakan orang lain dan kita juga mendengarkan suara hati nurani, mendengarkan pesan yang ada didalam hati yang kecil”.
Kedua pendapat tersebut di atas menandakan bahwa hukum itu erat kaitanya dengan perilaku, bahwa mematuhi hukum atau tidak mematuhi hukum ada pengaruh yang tersembunyi dari orang-orang yang hidup bersama kita.
Dalam penelitian Musakkir (2005:161-188) menunjukkan betapa erat kaitannya hukum dengan perilaku hukum, berdasarkan hasil penelitian tersebut, yang mengungkapkan aspek-aspek psikologi mempengaruhi hakim dalam penjatuhan putusan, bahwa diantara 80 responden menilai kemampuan hakim yang terdiri dari keterampilan dan kecerdasan, responden cenderung menilai sedang, sedangkan integritas hakim yaitu kredibiltas hakim yang dapat dinilai dari kejujuran dan konsitensinya pada umumnya responden menilai kejujuran hakim rendah (68,7%) dan tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan (81,2%).
Dengan demikian untuk mengkaji perilaku hukum, maka amat diperlukan pendekatan psikologi hukum yang mampu menguraikan faktor-faktor nonhukum (ekstra-legal/nonlegal) yang mempengaruhi tidak tegaknya hukum, sebagaimana diungkapkan oleh Musakkir (2006: Vol 14) “bahwa perilaku hukum itu alamiah yang sama alamiahnya dengan terbangnya burung-burung atau berenangnya ikan-ikan”
BAB XI
HERMENEUTIKA HUKUM
Sebahagian kalangan akademisi hukum menganggap bahwa aliran realisme dalam ilmu hukum adalah puncak kemenangan ilmu hukum dalam mengembangkan dirinya secara empiris, tetapi dengan munculnya posmodernisme diparuh abad ke- 20 muncul juga aliran critical legal studies. Aliran critical legal studies pada prinsipnya mencoba untuk mengembangkan aspek radikal dari realisme hukum (Munir fuady: 2005 dalam postmodernisme, critical race theories dan critical Marxist) menerapkannya ke dalam kerangka berpikir dari Marxism, khususnya dalam hal kritikan kaum Marxism terhadap pemikiran kaum liberal. Pemikiran hukum liberal ini mengajarkan bahwa hukum dibuat oleh parlemen yang mewakili suara dari rakyat, sedangkan dalam memutus perkara, hakim paling jauh hanya menafsirkan hukum, bukan membuat hukum. Olehnya itu gerakan critical study menggunakan pisau analisis berupa hermeneutika.
Jacques Derrida (Munir Fuadi: 2005), filsuf postmodern yang terkenal dengan teorinya “dekonstruksi” menolak anggapan kaum realis yang menyatakan bahwa bahasa menunjukan realitas yang sebenarnya sehingga bahasa dapat menyingkap suatu kebenaran yang pasti. Jacques Derrida beranggapan bahwa bahasa tidak dapat mengungkapkan realita yang sesungguhnya, karena itu diperlukan penggunaan penafsiran terhadap teks tertulis yang disebut dengan hermeneutika.
Secara etimologi, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan. Maka kata benda heremenia secara harfia dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi. Istilah ini diambil dari mitologi Yunani pada tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, dan lebih banyak dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa latin. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahpahaman tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan yang dipergunakan oleh pendengarnya. Oleh karena itu hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ”proses mengubah sesuatu atau situasi ketidak tahuan menjadi mengerti” (Richard E. Palmer, 1969:3).
Demikian juga, Sayyed Hossein Nashr (1989:71) memakai kata ”hermes” untuk sebutan Nabi Idris yang bertugas menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa ”langit” dapat dipahami oleh manusia yang berbahasa ”bumi”. Menurut Fahruddin Faiz (2002: 21) dalam aktivitas penafsiran itu terdapat tiga unsur yaitu:
1. Tanda, pesan, atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Nabi Idris.
2. Perantara atau penafsir.
3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.
Hermeneutika merupakan metode atau fundamen dan dasar penalaran manusia untuk menambah kejelasan dari suatu bahasa, sehingga bahasa yang digunakan itu dapat dimengerti.
Pada abad akhir-akhir ini, Schleiermacher menghidupkan kembali topik tentang hermeneutik. Dan ini dikumandangkan lebih luas lagi oleh penulis biografinya, yaitu Wilhelm Dilthey. Pada zaman ini, hermeneutik telah diangkat oleh beberapa filsuf, diantaranya Hans Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida.
Untuk melihat metode dan cara filsuf tersebut menggunakan pendekatan hermeneutik, maka diuraikan secara singkat sebagai berikut (dalam Sumaryono:1999)
Menurut Schleiermacher (1768-1834), ada dua tugas hermeneutik yang pada hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpreasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seorang menangkap setitik ”cahaya” pribadi penulis. Oleh karenanya untuk memahami pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaik memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas suatu bahasa dan psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi. Schleiermacher mengemukakan ada beberapa tahap untuk melakukan interpretasi, tahap pertama ialah interpretasi dan pemahaman mekanis: pemahaman dan interpretasi dalam kehidupan kita sehari-hari, di jalan-jalan, bahkan di pasar, atau dimana saja orang berkumpul bersama untuk berbincang-bincang tentang topik umum. Taraf kedua ialah taraf ilmiah: dilakukan di universitas-universitas, dimana diharapkan adanya taraf pemahaman dan interpretasi yang lebih tinggi. Taraf kedua ini dasarnya adalah kekayaan pengalaman dan observasi. Taraf ketiga ialah taraf seni: dimana tidak ada aturan yang mengikat atau membatasi imajinasi.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengemukakan bahwa dalam hal kita ingin melakukan interpretasi, terlbih dahulu harus memisahkan antara ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften) dan ilmu pengetahuan batin manusia (geiswissenschaft). Semua ilmu pengetahuan alam fisik seperti biologi, kimia, fisika dan ilmu-ilmu lainnya ternasuk dalam naturrwissenschaft, sedangkan semua ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan batin manusia seperti sejarah, psikologi, filsafat, ilmu-ilmu sosial, seni, agama, kesusasteraan, dan ilmu-ilmu lain yang sejenis masuk dalam geiswissenshaften. Menurut Dilthey ”hidup” penuh dengan makna. Ia mengatakan bahwa bila kita mencoba menjelaskan tentang alam, saat itu pula kita memahami kehidupan batin (psychic life). Sesungguhnya kita tidak atau bahkan tidak dapat memahami alam sebab alam bukanlah buatan manusia. Kita dapat memahami hidup, sebab hal ini berhubungan erat dengan diri kita sendiri. Namun tidak berarti kita dapat memahami diri sendiri sepenuh-penuhnya, meskipun pengalaman-pengalaman kita cukup jelas kelihatan. Memahami diri sendiri sendiri tidak selalu merupakan fakta. Kita masih memerlukan petunjuk dari ”ungkapan hidup” untuk dapat memahami diri kita sendiri. Disinilah Dilthey memunculkan kata erfahrung yang diartikan sebagai pengalaman hidup (Richard Palmer, 1969:107).
Hans Gadamer berpendapat bahwa hermeneutik adalah metode yang dipergunakan oleh ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu tentang manusia. Gadamer membahas secara panjang lebar empat konsep tentang manusia yang memperkaya hermeneutik, empat konsep tersebut adalah:
1. Bildung, sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mengarah kepada batin, yaitu tingkah laku pikiran kita sendiri yang mengalir secara harmonis dari pengetahuan dan perasaan tentang seluruh usaha moral dan intelektual ke dalam sensibilitas (kemampuan merasakan) dan karakter.
2. Sensus cummunis, pandangan tentang kebaikan umum, cinta komunitas, masyarakat, kemanusiaan, dan kebijaksanaan dalam pergaulan sosial.
3. Pertimbangan, kemampuan untuk memahami hal-hal khusus sebagai contoh yang universal, dan kemampuan ini akan melibatkan perasaan, konsep, prinsip, dan hukum-hukum yang dapat diolah oleh manusia.
4. Taste atau selera, kemampuan intelektual untuk membuat diferensiasi atau pembedaan, tetapi kemampuan itu tidak dapat didemonstrasikan.
Menurut Jurgen Habermas pemahaman hermeneutik pada dasarnya membutuhkan dialog, sebab proses memahami adalah proses kerja sama dimana pesertanya saling menggabungkan diri satu dengan yang lainnya secara serentak dalam dunia kehidupan yang terdiri dari tiga aspek, yaitu dunia objektif, dunia sosial, dan dunia subjektif. Dunia objektif adalah totalitas semua entitas atau kebenaran yang memungkinkan terbentuknya pernyataan-pernyataan yang benar. Jadi realitas yang memungkinkan kita berpikir secara benar tentang semua hal, termasuk manusia dan binatang. Dunia sosial adalah totalitas semua hubungan interpersonal atau antarpribadi yang dianggap sah dan teratur. Dunia subjektif adalah totalitas pengalaman subjek pembicara atau sering juga disebut ”duniaku sendiri” atau ”pengalamanku sendiri”. Jika dihubungkan dengan empat konsep tentang tindakan, maka pemahaman menjadi sangat eksprensial, yaitu:
1. Dalam hubungannya dengan tindakan teologis, pemahaman menggambarkan tujuan, yaitu bahwa setiap tindakan manusia mempunyai tujuannya sendiri.
2. Dalam hubungannya dengan tindakan normatif, pemahaman menandai hal-hal yang bersifat normatif, seperti pengendara menghentikan kendaraannya pada saat traffic light menunjukan warna merah.
3. Dalam hubungannya dengan tindakan dramaturgik, pemahaman dapat ditunjukan dengan cara misalnya ”kita berpura-pura melakukan sesuatu tindakan yang lain pada saat kita secara tiba-tiba berpapasan dengan orang yang tidak kita sukai.
4. Dalam hubungannya dengan tindakan komunikatif, pemahaman merupakan suatu peristiwa perhubungan bahasa dalam kaitan ruang dan waktu. Pemahaman ini terjadi dalam lebenswelt atau sisi transedental dimana pembicara dan pendengarnya bertemu satu sama lain. Jadi lebenswelt merupakan dunia pemahaman atau dunia dimana akal dan kesadaran kita bertenu dengan akal dengan kesadaran orang lain secara timbal balik dalam konteks sosial.
Paul Riceoeur, hanya mengungkapkan bahwa setiap interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat makna-makna yang terkandung dalam kesusatraan. Penekanan hermeneutik oleh Riceoeur yaitu dalam melakukan pemahaman bukanlah memperoyeksikan diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya. Penafsir selalu dalam keadaan berada di tengah-tengah teks dan tidak hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks saja.
Pendapat mengenai interpretasi oleh Jean Jacques Derrida memusat dalam bukunya yang berjudul La Dessimination. Dalam buku tersebut disebutkan, sebuah teks tidak akan merupakan teks jika dalam pandangan sekilas tidak menyembunyikan hukum-hukum komposisinya dan aturan permainannya. Oleh karena itu memahami sebuah istilah pada dasarnya adalah lebih dari pada sekedar mengetahui makna atau tanda-tanda kata yang dipergunakan dalam ucapan. Idealnya, pendengar atau pembaca harus ambil bagian dalam kehidupan pengarang atau pembicara sehingga ia dapat memahaminya. Inilah yang dimaksud istilah ”kelayakan” atau ”kepatutan” (Derrida, 1972:70-71)
Hermeneutika, tidak hanya melakukan penafsiran terhadap teks, tetapi juga melakukan interpretasi terhadap perilaku manusia. Kemudian berkembang menjadi hermenutika hukum yaitu melakukan penafsiran terhadap kehidupan manusia dan produk-prodok kulturnya yakni teks-teks yuridikal.
1. Pengertian Hermeneutika Hukum
Pada awalnya hermeneutika hukum berkembang dibawah pengaruh inspirasi ilmu hukum, hal ini terlihat melalui kodifikasi corpus iuris civilis pada abad keenam. Pada abad ke-12, di Italia juga muncul kebutuhan pada suatu metode yang membuat teks yuridikal yang berlaku dari suatu periode historikal terdahulu lewat interpretasi dapat diterapkan untuk suatu tipe masyarakat yang sama sekali berbeda. Penerapan hukum terhadap masyarakat yang berbeda tersebut dikenal sebagai pertumbuhan prinsip territorial yaitu bagaimana kekuatan hukum menjalin kerjasama antara dua orang yang tinggal ditempat yang berbeda yang merupakan kajian hukum perdata internasional. Dalam pembentukan hukum tersebut diperlukan interpretasi hukum, misalnya lahirnya doktrin tentang penunjukan kembali (renvoi).
Hermeneutika hukum merupakan salah satu kegiatan interpretasi terhadap teks-teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen hukum, naskah-naskah hukum dan doktrin yang diungkapkan oleh para ahli. Selain interpretasi yang selalu digunakan dalam hukum pidana dan perdata seperti interpretasi gramatikal, interpretasi historis, interpretasi sisitematis, interpretasi teologis, interpretasi komparatif, interpretasi futuristis, interpretasi restriktif, dan interpretasi ekstensif, maka hermeneutika hukum juga dapat digunakan dalam penemuan hukum.
Menurut Arief Sidharta (1992:9) hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis adalah dua model penalaran yang terkait sangat erat. Konstruktivisme tidak mungkin ada tanpa bangunan hermeneutis di dalamnya. Oleh karena itu keduanya dibicarakan secara bersamaan sebagai satu kerangka berpikir ilmiah. Dibandingkan dengan model penalaran lain, Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis memiliki keistimewaan karena menjadi state of the art dalam teori-teori epistemologis era posmodern dan sejak awal sengaja didesain untuk lebih “akrab” dengan ilmu-ilmu yang berbasis sosial atau kemanusiaan (ilmu hukum diasumsikan termasuk dalam kelompok ini). Di sisi lain, Hermeneutika sendiri bukan model penalaran yang asing bagi disiplin hukum. Hans-Georg Gadamer (Sidharta: 1998) dalam Truth and Methods mengemukakan:
“Legal hermeneutiks is, then, in reality no special case but is, on the contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutikal problem and so to retrieve the former unity of hermeneutiks, in which jurist and theologian meet the student of the humanities”.
(hermeneutika dalam kenyataannya bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus/baru tetapi sebaliknya, ia hanya merekonstruksi kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian untuk membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora/ilmu kemanusiaan)
Hermeneutika hukum yang dikembangkan oleh Gadaner adalah bukan sebuah metodologi ilmu pengetahuan manusia, tetapi sebuah usaha untuk memahami apa sebenarnya ilmu pengetahuan manusia, melampaui kesadaran diri metodologis ilmu pengetahuan tersebut, dan apa yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan totalitas pengalaman kita dengan dunia (Gadaner, 2004:viii dan xii). Jadi hermeneutika hukum melakukan penafsiran secara holistik terhadap teks, konteks dan kontekstualisasi.
Dengan demikian studi pengkajian hermeneutika hukum tidak terletak pada kajian hukum yang empirik, doktrinal maupun praktik, melainkan ia berada dalam kajian pengembang hukum teoritis yang kemudian dapat diterapkan kajiannya dalam sistem hukum internal pegemban hukum praktis (lembaga judisial, bantuan hukum dan pembentuk hukum).
2. Hermeneutika Hukum dalam Praktik Peradilan
Kemandirian peradilan indonesia terletak pada proses persidangan yang terlaksana secara sistematis (gardian models) dan penerapam hukum secara deduktif. Hakim sebagai pengemban hukum praktis dalam melahirkan putusan, akan mendasarkan keputusannya pada keputusan yudisial, disertai dengan interpretasi dan konstruksi hukum. Metode interpretasi hukum dilakukan dalam hal peraturannya ada, tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwa konkret, dimana masih berpegang teguh pada bunyi teks itu. Sedangkan metode konstruksi hukum dilakukan dalam hal peraturannya tidak ada, dimana terdapat kekosongan hukum/Undang-undang.
Menurut Sumaryono (1999:36) hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubung-selubung yang menutupinya. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Bagi Ricoeur langkah pemahaman itu ada tiga yaitu: pertama, langkah pemahaman simbol atau pemahaman dari simbol kesimbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna. Ketiga, langka filsufis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya.
Penerapan hermeneutika terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat atau bunyi hukum dan semangat hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas inteligensi (ketepatan pemahaman), dan subtilitas Explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan untuk memahami naskah yang normatif (sumaryono, 1999:29).
Disamping itu hermeneutika hukum dapat digunakan untuk konstruksi hukum, dimana hermeneut berperan sebagai pengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta.
Dalam kegiatan penemuan hukum, dibedakan atas dua tahap yaitu tahap sebelum mengambil putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan keputusan (ex post). Tahap sebelum pengambilan keputusan disebut heuristika yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan keputusan hukum, pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat (Jazim Hamidi, 2005: 49)
Penemuan hukum yang terjadi sesudah keputusan disebut legitimasi dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari pembahasan di atas tampak bahwa hermeneutika hukum dapat melakukan interpretasi yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai satu kesatuan antara teks, konteks, dan kontekstualisasinya, yang tidak hanya melakukan tafsiran secara legalistik formal, tetapi juga melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi suatu sengketa itu muncul.
BAB X
METODE
PSYCHOLOGY IN LAW
dalam PUTUSAN HAK ASUH ANAK
A. Persepsi Publik terhadap Pengadilan Sebagai Institusi/Pabrik Perceraian
Di kalangan umum, sebagian pencari keadilan (masyarakat) memiliki persepsi bahwa Pengadilan Agama hanyalah merupakan tempat perceraian bagi mereka yang ingin mengajukan gugatan/permohonan perceraian terhadap perkawinan yang sah secara hukum. Padahal kompetensi peradilan agama selain perceraian juga mengadili perkara seperti pengesahan nikah, perwalian, warisan, hibah, wasiat, dan sengketa ekonomi syariah. Persepsi tersebut boleh jadi ada benarnya karena perkara di Pengadilan Agama didominasi oleh perkara perceraian sehingga persepsi pencari keadilan menganggap Pengadilan Agama sebagai pabrik perceraian.
Salah satu pandangan masyarakat yang melihat Pengadilan Agama sebagai tempat perceraian sebagai bias dan keawaman terhadap kompetensi peradilan agama. Seorang responden, pada waktu penulis mengadakan sosialisasi kompetensi peradilan agama (Juli 2008) menyatakan:
“Bahwa sepaham saya pengadilan agama adalah hanya tempat perceraian, karena dengan melalui putusan pengadilan tersebut ucapan talak/cerai baru sah setelah melalui keputusan hakim, dan bagi yang berkeinginan menikah walaupun sudah berpisah dengan isterinya baru dapat memperoleh pengesahan nikah dari pegawai pencatatan nikah/KUA setelah ada putusan perceraian dari Pengadilan Agama”
Pengetahuan hukum masyarakat dan pengetahuan hukum oleh orang-orang yang terlibat secara langsung dengan masalah hukum tentunya berbeda. Hal demikian harus ada keterlibatan dari instansi pengadilan untuk melakukan sosialisasi kompetensi peradilan agama, karena kesadaran orang untuk menggunakan hukum yaitu terletak pada faedah yang diperoleh dari perapan hukum tersebut.
Penggugat atau pemohon dalam perkara perceraian tidak menuntut, memaksa atau memerintahkan kepadanya untuk melakukan perceraian, namun Undang-undang menyediakan tata cara bagi yang ingin melakukan perceraian. Semua aktivitas seperti pergi ke pengadilan dan minta cerai, memang telah mengikuti prosedur formal dan aturan, tetapi tidak bisa dikatakan bahwa ia telah mematuhi hukum. Hukumnya hanya menjelaskan kepada anda bagaimana anda melakukan perceraian jika anda ingin. Dalam hal ini kata yang lebih tepat adalah mau menggunakan atau tidak menggunakan hukum perceraian.
Pada umumnya hukum perdata, perilaku hukum lebih soal menggunakan (use) atau tidak menggunakan (not use) dari pada soal mematuhi atau tidak mematuhi.
Selain perilaku hukum yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan perintah atau Undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwewenang, hukum juga mengatur konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari perilaku/tindakan yang dapat menyebabkan alasan perceraian.
Alasan perceraian adalah perilaku yang menjadi dasar formal untuk dikabulkan putusannya. Hal tersebut menurut hakim Pengadilan Agama Makassar, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) mengatakan “memang dalam menjatuhkan putusan kami sebagai hakim melakukan pembuktian baik melalui surat/akta nikah dan saksi-saksi tetapi gugatan perceraian harus memiliki alasan dan alasan itu tidak bisa karena kesepakatan untuk melakukan perceraian.”
Gugatan perceraian di Pengadilan Agama Makassar rata-rata didominasi oleh perkara gugatan cerai yang jatuh dengan putusan versteek. Menurut pengakuan beberapa responden yang mewakili sebagai pembicara mengemukakan “bahwa hal tersebut disebabkan oleh suami yang telah lama meninggalkan isteri dan sama sekali tidak memperoleh lagi nafkah.” Hakim juga sudah memerintahkan juru sita untuk melakukan panggilan sidang tetapi hal itu tidak diindahkan sehingga hakim menjatuhkan putusan secara verstek.
Sudut pandang ilmu hukum normatif tidak menempatkan tingginya angka perceraian sebagai masalah hukum. Sedangkan ilmu empirik yang berobjekkan hukum bahwa fakta yang diamati (observable), memandang tingginya angka perceraian adalah gejala atau penyakit sosial (patologi sosial), bahwa perceraian yang semakin meningkat dari tahun ketahun banyak disebabkan oleh faktor seperti keadaan ekonomi, kondisi psikis, sifat konsumerisme dan tuntutan yang berlebihan. Gejala sosial yang menyebabkan terjadi perceraian terhadap ilmu hukum harus menerapkan metode untuk menekan angka perceraian.
Perceraian yang merupakan masalah keperdataan, dapat diterapkan penyelesaian melalui perdamaian, dengan perdamaian memungkinkan terjadinya rujuk dan penggugat/tergugat mencabut gugatannya. Hal tersebut menyebabkan hakim setiap kali sidang baik dalam pengajuan gugatan, jawaban, replik, duplik, konklusi, pembuktian dan pembacaan putusan, hakim selalu menawarkan perdamaian.
Perdamaian yang diajukan oleh hakim dalam sidang ternyata tidak terlalu direspon oleh para pihak. Dengan demikan di pengadilan, maka dibentuk lembaga perdamaian berdasarkan Pasal 154 Rbg jo. Perma.I Nomor 1 Tahun 2008 atas perubahan Perma Nomor 2 Tahun 2003, untuk menjadikan bagian yang integral dalam keseluruhan proses penyelesaian perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan Agama.
Menurut hakim Pengadilan Agama Makassar, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) mengatakan “dengan adanya lembaga perdamaian kita dapat memfokuskan diri untuk perdamaian yang sepenuhnya bagi pihak yang ingin bercerai, tetapi tetap mengalami kesulitan jika salah satu pihak tidak berkenan hadir, karena perdamaian hanya dapat terlaksana dengan gampang jika kedua pihak hadir”
Di bawah ini daftar tingkat perceraian yang telah diputus dan inkra di Pengadilan Agama Kelas I A Makassar mulai dari tahun 2004 -2008:
Tabel1: Jumlah Perceraian Pada Pengadilan Agama Kelas I A Mks (2004-2008)
PERIODE |
JENIS PUTUSAN |
|
CERAI TALAK | CERAI GUGAT |
|
2004 | 220 | 392 |
|
|
2005 | 216 | 401 |
|
|
2006 | 228 | 441 |
|
|
2007 | 274 | 498 |
|
|
2008 | 323 | 665 |
|
|
Sumber: pengadilan agama kelas I A makassar
Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukan angka perceraian di Pengadilan Agama kelas I A Makassar mengalami peningkatan dari tahun ketahun hingga perkara cerai talak pada tahun 2008 sebanyak 323 yang diputus dan lebih memperihatinkan, angka perceraian cerai gugat yang lebih tinggi setiap tahunnya dibandingkan cerai talak.
Menurut pandangan responden dari kalangan penggugat menyatakan tentang penyebab tingginya angka perceraian cerai gugat beralasan:
“Bahwa angka perceraian yang diajukan oleh pihak isteri disebabkan kebanyakan laki-laki yang tidak bertanggung jawab setelah ia menikah bahkan ia tidak menafkahi anaknya dan selalu meninggalkan isteri pertamanya kemudian menikah dengan perempuan lain” (wawancara 13 April 2009)
Menurut pendapat pengacara
“Penyebab tingginya angka perceraian dalam hal ini cerai talak, adanya tindakan/sikap suami yang gampang menikah dengan perempuan lain tanpa adanya izin dari isteri jika ingin berpoligami, dan tidak keberatan jika perkawinannya dengan wanita lain dianggap tidak sah secara hukum” (wawancara 13 April 2009)
Menurut pengamatan hakim, Nadira basir (wawancara 23 April 2009) dari beberapa perkara menyatakan:
“Selain persoalan ekonomi, karena ada tuntutan dari pihak isteri yang berlebihan, juga disebabkan oleh ketidaksiapan dari pihak yang telah melangsungkan perkawinan. Apalagi ada sebagian yang mengajukan gugatan perceraian, ternyata dulu waktu menikah belum cukup umurnya (dewasa) dengan cara mengubah tanggal akta kelahiran” (wawancara 13 April 2009)
Angka perceraian yang semakin tinggi dari tahun ketahun, setidaknya dapat dikurangi dengan peran dari berbagai elemen seperti akademisi hukum, kalangan agamawan, kalangan praktisi dan psikolog yang dapat menjadi mediator sebelum perkara perceraian masuk di lembaga pengadilan. Dalam kaitan ini dengan menekan angka perceraian berarti juga mengurangi dampak negatif dari akibat perceraian terhadap masa depan dan perkembangan anak.
B. Aplikasi Psikologi Hukum terhadap Putusan Hak Asuh Anak
Prosedur yang tampak di dalam pengadilan menuntut hakim untuk mengikuti hukum acara yang berlaku dan peraturan perundangan yang berlaku, yang lebih menuntut lagi harus berpikir normatif. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak lagi menempatkan Undang-undang sebagai pedoman atau tafsir tunggal bagi hakim dalam memutus perkara. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1).
Hakim kelihatannya memutus perkara perceraian sesuai dengan prosedur hukum acara yang berlaku, namun dalam pembuatan putusan menuntut hakim untuk mempertimbangkan beberapa konsekuensi daripada putusannya.
Penetapan hak asuh anak dalam gugatan perceraian merupakan putusan yang dikeluarkan dari gabungan petitum dalam gugatan (kumulasi subjektif). Disamping hakim menjatuhkan perceraian (mengizinkan mengucapkan ikrar talak/menjatuhkan talak bain sugra), hakim juga menetapkan hak asuh terhadap hasil perkawinan dari penggugat/isteri dan tergugat/suami.
Dalam penetapan hak asuh, siapa yang berhak mengasuh anak? Apakah ayah atau ibu? Hakim akan melakukan pembuktian baik melaui saksi-saksi maupun keyakinan hakim.
Pembuktian tentang hak asuh jatuh pada pihak yang mana? hakim akan melakukan tugas melalui tiga tahap, sebagaimana dijelaskan oleh hakim Pengadilan Agama Makassar, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009)
”Sebelumnya kami sebagai hakim ketua terlebih dahulu mengkonstatir yaitu mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan oleh para pihak, dengan keberadaan saksi adalah untuk mengetahui benar tidaknya dari posita penggugat/tergugat. Yang kedua adalah mengkwalifisir yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi dalam hubungan hukum yang mana. Yang terakhir mengkonstituir yaitu menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada yang bersangkutan yang dapat dilihat pada diktum (amar putusan).”
Kegiatan hakim yang mengkwalifisir dilakukan melalui penetapan dasar hukum atau aturannya terletak dimana. Dalam kaitannya dengan penetapan hak asuh anak hakim akan berlandaskan pada Kompilasi Hukum Islam. Kompilasi Hukum Islam menetapkan anak yang belum dewasa, hak asuh pada ibunya (Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam).
Dalam kondisi tertentu hakim dapat menetapkan hak asuh bukan pada ibu, tetapi pada ayah, jika diperkuat alasan yang dapat menyebabkan hakim menyimpangi dalil yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam. Sehingga dalam penetapan hak asuh bisa dibebankan kepada ibu (hak asuh ibu) dan hak asuh yang dibebankan kepada ayah (hak asuh ayah)
a) Hak Asuh Ibu
Doktrin aliran psikologi psikoanalisis Sigmund Freud yang menempatkan ibu sebagai peran tunggal dengan oedipus complex adalah salah satu bukti kedekatan anak dengan ibunya.
Freud berpendapat bahwa hubungan sang anak dengan ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi dan sikap-sikap sosial sianak dikemudian hari. Dalam soal ini seorang ibu memang mudah dilihat berperan penting bagi seorang anak yang dapat memperoleh kepuasan apabila dorongan rasa lapar dan haus itu diatasi dan ibulah yang punya andil yang besar dalam kondisi denikian.
Menurut Bowlby dalam The Nature Of Childs Tie To His Mother (Save M. Dagun 1990), sikap ketergantungan anak anak pada ibu terbentuk karena ibu peka menanggapi setiap aktivitas bayi seperti menangis, senyum, menyusu dan manja. Ibu adalah orang yang pertama dan utama yang menjalin ikatan batin dan emosional dengan anak. Hanya ibulah yang bisa dengan cepat mengerti dan mampu menanggapi setiap gerak-gerik bayi. Ibu segera tahu kalau anaknya hendak menangis, senyum atau lapar.
Doktrin dalam aliran psikoanalisis mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan tindakannya sebagai solusi untuk memenuhi kepentingan, mencegah terjadinya tumpang tindih kepentingan. Pengaruh hasil penelitian psikologi menjadi acuan bagi lembaga yang ingin meyelesaikan sengketa hak asuh dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada pihak ibu.
Pada umumya hakim di Pengadilan Agama Makassar menetapkan hak asuh di bawah asuhan ibu. Hal ini dipertegas oleh hakim Pengadilan Agama Makassar, Nadira basir (wawancara 23 April 2009) “jika tidak ada alasan lain yang menghendaki untuk diasuh oleh ayah, maka kami akan menetapkan hak asuh pada ibu, kecuali ibunya murtad, pemboros, berperangai buruk, atau tidak pernah memperhatikan kondisi anaknya maka yang berhak mengasuh adalah ayahnya.”
Kompilasi Hukum Islam yang di dalamnya termuat beberapa dalil-dalil, yaitu tercipta melalui hasil penemuan hukum, diperoleh melalui penelusuran dari beberapa sumber hukum seperti al-quran, hadits, ijtihad dan sumber hukum lainnya (KUH Perdata). Dengan demikan Pasal yang termuat dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil penafsiran dan penemuan hukum yang menetapkan kewenangan ibu untuk mengasuh anaknya yang belum dewasa.
Argumentasi yang memperkuat kewenangan ibu untuk mengasuh anak yang masih di bawah umur menurut pandangan psikologi bahwa anak yang masih di bawah umur berada dalam tahun yang rentan/tahun yang membutuhkan kelembutan (tender years). Menurut Jean Piaget, anak yang belum dewasa perlu waktu yang lama untuk melakukan penyesuain agar bisa mandiri, harus melaui empat tahap stadium terhadap perkembangan kognitifnya.
Menurut hakim Pengadilan Agama Makassar, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) alasan mengapa ibu yang lebih berwenang mengasuh anak yang belum dewasa?:
“Bahwa rata-rata yang mengajukan gugatan perceraian anak sudah lama bersama dengan ibunya, disamping itu ibulah yang mengerti kebutuhan anak bagi yang belum dewasa. Merekalah yang lebih berperan dalam hal menggantikan pakaiannya, dan jauh lebih mengerti kondisi dan perasaaan jiwa anak, tetapi kami tidak pernah memutus ikatan ayah dengan anaknya. Selalu kami menganjurkan untuk tetap memperhatikan anaknya jika putusan dibacakan. Apalagi di dalam putusan juga ditetapkan nafkah ayah terhadap anak.
Kepribadian perempuan yang menurut psikologi selalu bertindak dengan perasaan jika dibandingkan laki-laki yang bertindak berdasarkan logika (berpikir terlebih dahulu) adalah ciri khas kelembutan perempuan yang dapat dinilai sebagai nilai plus untuk mendidik anak.
Doktrin kelembutan yang dimilikinya dapat menjamin perkembangan anak. Menurut Einhorn (dalam Constanzo: 2004) bahwa bayi yang berada dalam tahun-tahun yang membutuhkan kelembutan secara umum akan tinggal dengan ibunya, selama tidak ada keberatan terhadap ibu, bahkan meskipun si ayah tidak bersalah, karena ketidakmampuan untuk memberikan kelembutan secara alamiah dibutuhkan bayi, yang hanya dapat diberikan oleh ibunya , dan aturan ini akan berlaku lebih keras di dalam kasus anak perempuan dengan umur yang lebih lanjut.
Doktrin ini lazim dikenal sebagai
tender years doctrine (tahun rentan), berkembang sejak abad ke 19
berasumsi bahwa selama tahun-tahun rentan anak ( kira usia di bawah 13 tahun), hak asuh dari anak tersebut seharusnya milik ibu. Tetapi doktrin ini telah mendapat kritik di AS,dari kelompok pejuang yang mengatasnamakan pemenuhan hak yang sama untuk seorang ayah, melanggar amandemen ke-14 konstitusii AS dalam Equal Protection Clause. Doktrin yang terbaik adalah didasarkan pada kepentingan terbaik anak (the best interest of the children).Demikan pun hakim Pengadilan Agama Makassar, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) mengatakan “Bahwa naluri keibuan yang penyayang, tanpa mengabaikan bahwa ayah juga memiliki kasih sayang, tetapi dalam dirinya dituntut waktu untuk lebih banyak bekerja, maka ibu yang pantas memelihara jika anak belum dewasa”
Namun demikian, terdapat persepsi yang berbeda dikalangan penggugat (pihak ibu) dan tergugat (pihak ayah) tentang siapa yang lebih berwenang mengasuh anak yang di bawah umur.
1. Pihak ibu mengatakan, memang yang lebih kompeten untuk mengasuh anak yang di bawah umur adalah ibu, karena dia yang mengandungnya, melahirkan, menyusui, bahkan mengantikan pakaiannya sedangkan pihak ayah tidak pernah memperhatikan keadaan yang demikian.
2. Pihak ayah mengatakan, betul anda (ibu) yang lebih punya waktu untuk merawat, tetapi siapakah dan dari mana anda dapat nafkah untuk masa depan anak yang belum dewasa, bukankah adalah juga beban kami jika pengadilan membebankan kepada ayah nafkah anak jika jatuh putusan.
(wawancara 13 April 2009)
Keterangan responden tentang kompetensi ibu/ayah untuk mengasuh anak jika terjadi perceraian dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2: Kompetensi hak asuh anak terhadap ibu/ayah (n :30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
IBU | 25 | 83 |
AYAH | 4 | 13 |
KERABAT IBU/AYAH | 1 | 4 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel di atas responden yang memilih hak asuh ibu terdapat 25 orang (83%) yang berpendapat bahwa anak yang masih di bawah umur sebaiknya diasuh oleh ibu, hanya 4 orang (13 %) yang memilih hak asuh ayah, sementara terdapat 1 orang (4%) yang memilih kerabat ayah/ibu. Hal ini berarti pada umumnya responden menilai bahwa pihak ibu yang lebih berkompeten. Hal ini sesuai dengan pandangan dari masing-masing kelompok responden sebagai pembicara. Alasan responden memilih hak asuh ibu, karena anak yang selama ini mereka pelihara lebih banyak diperhatikan oleh ibunya, sedangkan pihak ayah tidak pernah lagi memberikan nafkah untuk anaknya. Responden yang memilih hak asuh ayah mengungkapkan, bahwa ayah yang lebih kompeten, karena mereka punya pekerjaan untuk menjamin kehidupan dan masa depan sang anak. Sedangkan responden yang memilih kerabat ayah/ibu mengungkapkan, bahwa seorang anak perlu dihindarkan dari konflik orang tua, karena mereka akan kena guncangan psikis yang dapat mengganggu pendidikan dan pergaulannya di lingkungan keluarga/sekolah.
Dalam praktiknya hingga kini, secara umum terdapat penekanan bahwa isteri (ibu) memiliki hak lebih besar akan pengasuhan anaknya. Para hakim kasus perceraian di Indonesia masih ragu-ragu untuk menghasilkan putusan yang tidak biasa. Alasannya, tidak hanya karena “masalah hak pengasuhan anak telah diatur hitam di atas putih”, tetapi juga dilandasi pada sejumlah tafsiran atas sejumlah hadits bahwa kodrat ibu sebagai manusia yang mengandung dan melahirkan menjadikannya sebagai manusia yang serta-merta dilengkapi dengan jiwa asih. Hanya kondisi ekstrim yang tampaknya dapat memberanikan hakim untuk memutuskan bahwa hak pengasuhan diberikan kepada bapak. Misalnya, jika ibu tergolong pemabuk, pelacur, penjudi, dan sejenisnya. Sedangkan kondisi-kondisi psikologis beresiko (risk behaviors) yang sudah tampak pada ibu tetap dinilai masih belum cukup kuat untuk menjadi dasar dihasilkannya putusan berani.
Konservatisme para hakim laksana memosisikan anak pada situasi eksperimental yang penuh dengan resiko. Di sinilah dibutuhkan adanya penajaman pengetahuan ilmiah para hakim, sehingga putusan yang dihasilkan kelak lebih dilandaskan pada scientific knowldge ketimbang logika awam
Terlepas dari pilihan itu rata-rata responden yang memilih ibu sebagai pengasuh adalah dituntut peran hakim untuk memperhatikan kepentingan terbaik anak (the best interest of the children) jika hakim ingin menetapkan hak asuh.
Secara spesifik, memertimbangkan kepentingan terbaik anak, American Psychological Association sejak 1994 (Reza Indragiri Amriel: 2008) telah menyusun Guidelines for Child Custody Evaluations in Divorce Proceedings. Semua inisiatif tersebut dilakukan dalam rangka memastikan terejawantahkannya prinsip kepentingan terbaik anak dengan cermatan pengetahuan ilmiah yang terukur. The Michigan Child Custody Act tahun 1970 ( dalam Didi Tarsidi: 2005) menetapkan faktor-faktor berikut yang sering digunakan sebagai pedoman oleh pengadilan dalam membuat keputusan tentang hak asuh atas anak:
1. Cinta, kasih sayang, dan hubungan emosional lainnya yang ada antara pihak-pihak yang bertikai dan anak.
2. Kapasitas dan disposisi pihak-pihak yang bertikai untuk memberi anak rasa cinta, kasih sayang, dan bimbingan, kelanjutan mendidik dan membesarkan anak dalam agama atau kepercayaan yang dianutnya, kalau ada.
3. Kapasitas dan disposisi pihak-pihak yang bertikai untuk memberi anak makanan, pakaian, perawatan medis, atau bentuk-bentuk remedial lain yang diakui dan diizinkan oleh Undang-undang sebagai pengganti perawatan medis atau kebutuhan materi lainnya.
4. Lamanya anak telah tinggal dalam lingkungan yang stabil dan memuaskan, dan keinginan untuk mempertahankan keberlanjutannya.
5. Kepermanenan rumah asuh yang ada atau yang diusulkan sebagai satu unit keluarga.
6. Kesehatan moral pihak-pihak yang bertikai.
7. Catatan tentang rumah, sekolah dan komunitas anak.
8. Kesehatan mental dan fisik pihak-pihak yang bertikai.
9. Pilihan yang lebih disukai anak, jika pengadilan memandang bahwa anak sudah cukup matang untuk menyatakan kesukaannya.
10. Faktor-faktor lain yang dipandang relevan oleh pengadilan.
Dalam putusan Nomor 222/Pdt. G/ 2008/PA Mks (lihat pada lampiran salinan putusan) hakim menetapkan hak asuh pada ibu
Menurut hakim Pengadilan Agama, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) sebagai ketua hakim mengemukakan alasan penetapan hak asuh pada pihak ibu yaitu:
“Bahwa dalam putusan itu pihak tergugat tidak mempersoalkan hak asuh ibu, asalkan pihak ayah diberikan kesempatan untuk tetap bertemu dengan ayahnya, dan juga tidak ada alasan yang menghalangi pihak tergugat/pihak ibu untuk menjadi pemegang hak asuh dan berdasarkan kesaksian saksi di pengadilan pihak ibu tidak pernah menunjukan peringai yang buruk yang dapat mengancam kondisi jiwa dan psikis anak.”
Mengenai nafkah anak yang dicabut oleh pihak penggugat tanpa keberatan tergugat, Nadira Basir menanggapi
“Bahwa kami terbatasi dengan sifat dari pada hukum perdata yang mencari hanya pada kebenaran formil beda halnya dengan pidana yang juga mencari kebenaran materil, kami tidak dapat memutuskan jika hal itu tidak diminta oleh pihak, dengan demikian kondisi tersebut kami berpendapat bahwa si ibu tetap mampu menjamin masa depan anak.” (wawancara 23 April 2009)
Menanggapi putusan Pengadilan Tinggi Agama (Putusan Nomor 41/Pdt.G/2008/PT.A Mks) yang dulunya di pengadilan tingkat pertama menetapkan hak asuh pada pihak ayah kemudian di tingkat banding hak asuh beralih kepihak ibu. Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) menanggapi:
“Bahwa jika kita mengutamakan kepentingan terbaik anak, maka putusan pengadilan tinggi itu adalah putusan yang janggal, kebutuhan anak bukan hanya pada kebutuhan sandang, pangan, papan, tetapi juga kebutuhan rohani. Alasan hakim PT memindahkan hak asuh kepada pihak ibu, karena sang ayah tidak pernah menanamkan nilai-nilai agama secara kaffah, hal itu tidak dapat dibuktikan oleh hakim, karena aspek agama/keyakinan seseorang adalah menyangkut privasi seseorang. Siapa yang bisa mengetahui bahwa orang tersebut beriman/tidak?” (wawancara 23 April 2009)
Pertimbangan hakim yang memprioritaskan kepentingan terbaik anak (the best interest of child) sebagai dasar putusan merupakan aplikasi psikologi hukum yang menuntut hakim untuk menggali hukum yang hidup dengan cara menggunakan pendekatan empirik. Salah satu pendekatan empirik yang pernah digunakan oleh hakim dibuktikan dengan putusan hakim Erni Zurnilah sebagai hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat (454/pdt. G 2007/PA. JP) dengan mengutip pendapat Abu Ahmadi dalam psikologi sosial sebagai dasar pendapat hukum majelis hakim Bahwa tiap-tiap sikap mempunyai 3 aspek yaitu ;
1. Aspek Kognitif yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran, ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan serta harapan-harapan individu tentang obyek atau kelompok obyek tertentu
2. Aspek Afektif ; berwujud proses yang menyangkut perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati dan sebagainya yang ditujukan kepada obyek-obyek tertentu.
3. Aspek Konatif; berwujud proses tendensi/kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.
Bahwa sikap itu itu dapat di ubah atau dibentuk apabila
1. Terdapat hubungan timbal balik yang langsung antara manusia ;
2. Adanya komunikasi ( yaitu hubungan langsung )
Menurut Erni Zurnilah melalui pendapat Abu Ahmadi memberikan penafsiran tentang alasan/dasar hukum yang memperkuat hak asuh pada pihak ibu:
“Bahwa sikap timbul karena ada stimulus, dan pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Terbentuknya suatu sikap itu banyak dipengaruhi perangsang dari lingkungan sosial dan kebudayaan misalnya keluarga, norma, golongan agama dan adat istiadat. Dalam hal ini keluarga mempunyai peranan yang besar dalam membentuk sikap putra putrinya, sebab keluargalah sebagai kelompok primer bagi anak merupakan pengaruh yang paling dominan. Sikap seseorang tidak selamanya tetap, ia dapat berkembang manakala mendapat pengaruh baik dari dalam maupun dari luar yang bersifat positif, pihak ibu disini mampu menjalankan peran demikian.”
Dengan demikian putusan hakim tidak hanya melulu semata-mata pada pertimbangan yuridis, tetapi hakim dalam melakukan penggalian hukum dan penafsiran hukum juga akan melakukan pertimbangan psikologis, dalam penentuan hak asuh anak. Hakim harus ditunjang oleh ilmu pengetahuan yang luas, tidak boleh positivis-dogmatis dalam menyelesaikan perkara di pengadilan.
b) Hak Asuh Ayah
Watson Robert dan Henry Clay Lindgren dalam psychology of the child (1974: 138) menguraikan bahwa ilmu psikologi dalam sejarahnya hampir tidak pernah mengulas secara khusus masalah keayahan (fatherhood). Malah cenderung mengabaikannya. Posisi ayah akhirnya menjadi tidak begitu menarik dan penting dalam setiap uraian ilmu psikologi. Secara terbatas sekali, ilmu psikologi menyebut peran ayah dalam fungsinya sebagai orang tua, tetapi sebaliknya sangat menekankan pentingnya tokoh ibu dalam perkembangan anak.
Teori tentang keayahan baru muncul dan berkembang pada tahun 1970-an dan hasil penelitian banyak mengubah secara drastis konsep dan anggapan tentang keayahan.
Analisis dan anggapan bahwa faktor biologis yang membedakan peran ayah dengan ibu, kini tidak dianggap serius lagi dan hanya sebagai mitos saja. Rosss De Parke (1981: 15) bahkan menegaskan
“Faktor biologis itu tidak dapat lagi digunakan sebagai argumentasi untuk menjelaskan perbedaan ayah dan ibu dalam kehidupan keluarga. Pandangan lama tentang ayah dan perannya hanyalah suatu penyimpangan pikiran zaman. Sudah muncul revolusi pemikiran yang menempatkan tokoh ayah penting dalam proses dan pengasuhan dan perkembangan anak. Tidak ada alasan yang kuat pula untuk menempatkan terlalu tinggi posisi ibu dalam perkembangan anak. Kini sudah sangat diragukan kesahihan pandangan yang membeda-bedakan posisi ayah dan ibu terhadap anak.”
Tidak diragukan lagi bahwa ayah itu berperan penting dalam perkembangan anaknya secara langsung. Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa, berbicara, atau bercanda dengan anaknya. Semua itu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak. Misalnya menyadarkan anak bagaimana menghadapi lingkungan dan situasi di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, mengajar mereka membaca, mengajak anak untuk memperhatikan kejadian dan hal-hal yang menarik di luar rumah, serta mengajak anak berdiskusi.
Hasil penelitian Frank Pedersen Dkk (Save M. Dagun: 1990), belakangan ini telah memberikan pikiran baru bahwa peran ayah sangat penting. Tidak hanya melalui pengaruh yang bersifat langsung tetapi juga tidak langsung. Ia mengamati ibu yang sedang menyuap bayinya yang berusia 4 tahun, tinggi rendahnya ketabahan ibu dalam memberikan makanan dan besar kecilnya kepekaan ibu terhadap anaknya tergantung pada kadar dan hubungan suami isteri.
Dalam peristiwa perceraian kadang-kadang sang ayah mengambil alih tanggung jawab mengasuh anak. Pilihan ini dianggap suatu kekecualian dari kebiasaan. Meski ada kecenderungan umum bahwa kaum ibulah yang sewajarnya mengambil alih mengasuh anak, namun pandangan ini sudah dianggap klasik. Sebagaimana pernyataan seorang pengacara berikut yang pernah menangani kasus penetapan hak asuh anak mengambil kesimpulan:
“Bahwa sekarang ini sudah tidak tepat lagi, menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar hukum tunggal. Seorang ibu, seperti kasus yang pernah saya tangani yang memiliki jadwal kerja padat tidak memiliki waktu yang banyak untuk anaknya, sedangkan ayahnya selalu menyempatkan bermalam di rumah setiap malam dan sering sekali mempertanyakan kondisi pendidikan anaknya. Sementara sang ibu hanya muncul satu sampai dua kali dalam sebulan. Apakah demikian cocok untuk diasuh oleh ibunya, kalau ia tidak pernah meluangkan waktu untuk mempertanyakan masalah anaknya? Kondisi yang demikian akan berdampak terhadap sikap, pergaulan, perkembangan dan pendidikan anak”. (wawancara 13 April 2009)
Sementara dari kalangan responden yang mengajukan permohonan perceraian dan meminta penetapan hak asuh untuk pihak ayah, saat peneliti melakukan wawancara tentang pendapat responden dengan adanya penetapan Islam bahwa pihak ibu yang lebih kompeten mengasuh ibu sebagaimana Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetek sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Menurut keterangan responden dari hasil wawancara, mengungkapkan bahwa di zaman rasulullah dengan kondisi sekarang agak berbeda pada masa itu, hak pengasuhan otomatis (by default) diperuntukkan kepada ibu kiranya sangat relevan dengan keadaan masa silam, termasuk zaman turunnya Islam, dimana para suami menghabiskan banyak waktu mereka untuk mencari nafkah dan berdakwah dalam jangka waktu lama di luar rumah, sementara isteri berperan domestik.
Pembagian peran ayah sebagai pemegang hak asuh anak pada dasarnya selaras dengan riset Burns, Mitchell, dan Obradovich (1989) (dalam Save M. Dagun: 1990). Berdasarkan studi lapangan dan laboratorium, ketiga ilmuwan tersebut menyimpulkan ayah sebagai agen utama dalam sex typing, sementara ibu adalah figur yang paling bertanggung jawab dalam aspek manajerial pengasuhan (penentuan jenis makanan, kesehatan, kegiatan harian, pendidikan, dan sebagainya). Tetapi, tatkala peran gender pada masa kini sudah berubah sedemikian rupa (misal: bapak dan ibu sama-sama bekerja, namun sistem kerja ibu mengharuskannya untuk sangat sering menginap di luar kota, sedangkan bapak memiliki lebih banyak waktu untuk bertatap muka dengan anaknya), maka ketepatan dan relevansi tafsiran tentang hak pengasuhan dipertanyakan kembali. Jika realita ini tidak diindahkan, dikhawatirkan interpretasi tekstual atas hukum Islam hanya akan mengesankan Islam sebagai agama yang bias gender.
Ada suatu hal yang menarik bahwa seorang ayah yang mengambil alih mengasuh anak dalam kasus perceraian yaitu dilatarbelakangi oleh beda kepercayaan antara pihak suami dan isteri, ayah yang masih memiliki ibu, ekonomi berkecukupan dan lebih mengenal aturan hukum.
Sebagaimana pengakuan dari seorang ayah yang mengajukan permohonan di Pengadilan Agama Makassar menyatakan “adalah kewajiban saya mendidik anak saya untuk menghindarkan pengaruh keyakinannya dari pihak ibu, apalagi neneknya bersedia mengasuhnya dan saya dapat menghidupi anak saya sampai ia dewasa.” Sedangkan Hakim Pengadilan Agama, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) berpendapat “bahwa Hak asuh baru jatuh pada ayah jika memang sang ibu benar-benar tidak kompeten (pemakai obat-obat terlarang, tidak bertanggung jawab, tidak bermoral), demikian juga jika sang ibu murtad, karena hal ini akan menyebabkan aqidah sang anak yang tidak jelas.”
Terjadinya perubahan pola pandangan dalam mengasuh anak berdasarkan persepsi dari kalangan pengacara, penggugat/pemohon tidak terlepas dari perubahan pola pandangan dalam mengasuh anak, yaitu lebih menekankan kualitas pertemuan dengan anak seperti menciptakan kehangatan, keintiman, memberi dorongan sosial, menanamkan norma susila. Semua ini merupakan pengalaman berharga bagi anak, selain itu ayah,ibu, dan anak-anak lebih memahami banyak hal, jika mereka terbuka kepada banyak orang.
Seorang responden yang bernama Umi, umur 18 tahun (wawancara 15 April 2009) dalam wawancara menyebutkan alasan memilih ikut ibu “bagi saya sangat sulit memaafkan ayahku, menyakiti hati ibu dengan menikahi perempuan lain sama halnya dengan menyakiti kami sekeluarga.” Responden lain yang bernama Risna umur 20 tahun (wawancara 24 April 2009) menyebutkan alasan memilih ayah “apa salahnya saya lebih baik ikut ke ayah, kalau pulang kerja, kan saya yang akan mengurusi kebutuhannya. Tetapi saya juga tetap meluangkan waktu untuk ibu.”
Ketidakharmonisan hubungan antara anak dengan kedua pihak orang tua yaitu dipengaruhi oleh sikap ayah sebelumnya dalam berumah tangga, namun tidak menutup juga kemungkinan sikap sang ibu, jika ibu melakukan cuci otak agar anak bersikap negatif terhadap ayahnya. Sikap ini oleh Richard Gardner (1985) disebut sebagai PAS (parent alienation syndrome), sindrom terasing dari orang tua yang lain (dalam Reza Indragiri Amriel: 2007).
Salah satu putusan Pengadilan Agama Makassar yang menetapkan hak asuh pada pihak ayah yaitu putusan 864/Pdt. G/2007/PA Mks (salinan putusan: lihat pada lampiran)
Dalam dictum/amar putusan tersebut hakim meyatakan bahwa hak asuh terhadap kedua anak yang bernama Arief dan Ariyani adalah hak pemohon.
Menurut ketua majelis Khadijah Rasyid, hakim pengadilan agama makassar (wawancara 27 April 2009) yang memutus perkara tersebut mengemukakan bahwa alasan menetapkan hak asuh pada pihak ayah/pemohon:
1. Bahwa kedua pihak (suami/isteri) menikah dan tunduk di bawah hukum Islam, dengan demikian penetapan hak asuh juga berdasarkan hukum Islam
2. Hukum Islam mengatur penetapan hak asuh dengan beberapa syarat yaitu pihak yang mengasuh berakal/baligh, agama yang mengasuh haruslah sama dengan agama anak yang diasuh, sehingga orang kafir tidak berhak mengasuh anak Muslim. Hal ini didasarkan pada dua hal:
a. Orang yang mengasuh pasti sangat ingin anak yang diasuhnya sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Dan ini adalah bahaya terbesar yang dialami sianak. Dan telah dijelaskan dalam sabda rasulullah “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim) Hadits ini menunjukkan bahwa agama anak tidak aman jika diasuh oleh orang kafir.
b. Hak asuh anak itu sama dengan perwalian. Allah berfirman :
“dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS Ani-Nisaa’:141)
Lebih jauh ketua majelis Khadijah Rasyid menguraikan alasan penetapan hak asuh pada pihak ayah:
“berdasarkan dasar hukum dalam al-Qur’an dan hadit’s, setelah kami melakukan musyawarah majelis, Kompilasi Hukum Islam yang menetapkan hak asuh atas ibu jika anak belum mumayis, maka kami berpendapat lain dengan pertimbangan demi keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hak asuh telah dicukupi, maka atas permintaan pemohon, maka dapat dipindahkan hak hak asuh kepada pihak ayah.” (wawancara 27 April 2009)
Sedangkan putusan pengadilan tinggi yang membatalkan putusan pengadilan agama terhadap perkara tersebut. Khadijah rasyid memberi alasan:
“Hakim boleh saja berbeda dalam persoalan penafsiran, tetapi bagi kami hak asasi yang dikemukakan oleh hakim pegadilan tinggi, bahwa agama adalah bukan jaminan mutlak dalam menentukan hak asuh, saya berpendapat agama merupakan dalil yang tetap perlu diperhatikan, karena anak akan sulit menentukan keyakinannya, apalagi perceraian bukan memutus hubungan anak dengan orang tuanya, sampai dewasapun ia akan selalu berhubungan dengan ayah dan ibunya. Sehingga jika diasuh oleh ayah ia akan beragama sebagaimana agama yang dianut oleh ayahnya (Islam), dan kedua pihak (suami/isteri) melangsungkan perkawinan tunduk pada hukum Islam. Selain itu putusan kami, juga harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang maha kuasa, bukankah dalam kepala putusan tercatat “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”, berarti kami sebagai hakim tidak bisa dibatasi untuk berijtihad.” (wawancara 27 April 2009)
Berdasarkan pernyataan dari hakim di atas sejalan dengan pendapat Cardozo (Achmad Ali: 2004) mengemukakan bahwa “hukum buatan hakim alias putusan hakim, sebagai salah satu dari realitas kehidupan yang ada. Jadi hukum adalah perilaku, dan dalam hal ini adalah perilaku hakim tertentu yang belum tentu persis sama dengan perilaku hukum hakim lain, meskipun menghadapi kasus yang sejenis dan menggunakan ketentuan hukum yang sama.
BAB XI
PSYCHOLOGY AND LAW
SEBAGAI RISET PSIKOLOGI
ATAS HAKIM DALAM PENGADILAN
Kalangan hukum (ilmuwan/praktisi hukum) banyak yang tidak menyadari bahwa perilaku dan tindakan mereka memiliki nuansa psikologis. kemiripan objek antara ilmu hukum dan psikologi, baik hukum maupun psikologi, keduanya menaruh minat terhadap perilaku manusia, menganalisis perilaku itu, memprediksinya, memahaminya dan, kadang-kadang mengendalikan perilaku tersebut.
Aturan dan ketentuan yang melarang anak menjadi saksi dalam perceraian karena akan mempengaruhi kondisi psikis anak, larangan hakim untuk mengadili perkara jika hakim memilki hubungan darah/dekat dengan penggugat/tergugat karena ditakutkan akan melahirkan putusan yang memihak. Semua ketentuan tersebut menggunakan teori-teori psikologi
Bahkan gaya khas berbicara seorang mahasiswa yang bijak dan terampil memecahkan masalah di masa kuliah (Bartol: 1984), merupakan hasil pembentukan psikologis sejak mereka menempuh kuliah di fakultas hukum. Siapakah tokoh panutan di masa mahasiswa, siapa dosen yang dianggap cerdas akan ditiru baik melalui poses identifikasi maupun imitasi yang akan menjadi style dirinya ketika melakukan komonikasi hukum dan melahirkan putusan di pengadilan.
Hasil penelitian seperti Altmeyer (1996), Koneoni, Ebbesen (1982), Rahayu (2004), Musakkir (2004) mengungkapkan, hakim dalam melahirkan putusan dipengaruhi oleh beberapa faktor psikologis. Hal ini sesuai dengan pandangan dari eksponen realisme idiosincracy wing (Jerome Frank, dan Joseph Hutcheson) yang melihat bahwa “apa yang menentukan respon para hakim terhadap kasus yang diadili mereka adalah melalui idiosincracy fact (fakta-fakta yang bersifat istimewa) tentang psikologi dan kepribadian individual” (Achmad Ali: 2009 dalam Mazhab Psikologi Hukum)
Demikian juga, kajian kaum realis seperti Oliver Wendel Holmes “the life of the law has not been logic: it has been experience (The Common Law: 1981) yang melakukan prediksi terhadap apa yang akan diputus oleh pengadilan, “bahwa sebagian hakim ada yang telah membuat putusan terlebih dahulu sebelum proses persidangan pengadilan dimulai” memberikan makna bahwa kajian kaum realis memiliki nuansa psikologis.
Di dalam penentuan hak asuh anak, hakim tidak hanya akan terlibat dengan pengidentifikasian Undang-undang terhadap perkara hak asuh, tetapi seorang hakim akan mengalami peristiwa kejiwaan dalam bentuk tangggapan, fantasi, ingatan, motif, perasaan empati, emosi dan intelegensi (Atkinzon,1998; Alex Sobur, 2003; Azwar, 1988; Eddy Yusuf, 2000) ketika orang tua dari kalangan anak-anak yang masih di bawah umur (12 tahun) harus diputus dari kebersamaan (together) orang tuanya. Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, Anwar (wawancara 20 April 2009) bahkan mengatakan saat wawancara:
“Tidak kita sadari bahwa putusan perceraian yang diakhiri dengan ketokan palu akan menghancurkan sebuah negara kecil, mereka anak-anak yang menjadi peminta-minta, anak jalanan adalah boleh jadi karena tindakan kami yang telah mengetok palu dan mereka harus berjuang keras untuk menghidupi dirinya. Semua itu, bagaimana kami bisa pertanggungjawabkan kepada Allah SWT.”
Hakim terkadang juga di ruang persidangan sulit menghilangkan kondisi kemarahannya ketika memutus perceraian, berdasarkan pengakuan hakim Pengadilan Agama Makassar Nadira Basir (wawancara 23 April 2009), ketika selesai membacakan putusan “bahwa kami pernah ditanya oleh seorang pemohon perceraian, bu hakim kenapa tinggi sekali jumlah nafkah mut’anya, padahal yang ingin saya makanpun tidak cukup?, sang hakim menjawab: bukankah anda sanggup menikah berapa kali, lalu kenapa tidak mampu memberikan nafkah untuk mantan isteri anda?”
Namun dalam persidangan menurut pengakuan Nadira Basir (hakim Pengadilan Agama Makassar (wawancara 23 April 2009), “kami tidak boleh terpengaruh oleh kondisi emosional, harus mengendalikan diri, tidak boleh latah, cemas, harus mengendalikan diri, makanya hakim dalam menjatuhkan putusan harus adil, bermanfaat, dan dapat dieksekusi.”
Di bawah ini diuraikan faktor psikologi yang mempengaruhi hakim dalam penentuan hak asuh anak yang dianalisis secara deskriptif melalui tabel frekuensi berdasarkan hasil penelitian dari Pengadilan Agama Kelas I A Makassar
a) Kecerdasan Hakim
Istilah kecerdasan padanan katanya yaitu “intelegensi”. Intelegensi berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain (to organize , to relate, to bind together). Apabila kita telusuri asal-usulnya kata intelegensi erat sekali hubungan dengan kata intelek. Intelektus atau intelek adalah bentuk participium perpectum (pasif) dari intellegere, sedangkan intelegensi participium praesens (aktif) dari kata yang sama. Bentuk-bentuk kata itu memberikan indikasi bahwa intelek lebih bersifat pasif sedangkan intelegensi lebih bersifat aktif. Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa intelek adalah daya atau potensi untuk memahami, sedangkan intelegensi adalah aktivitas atau perilaku yang merupakan perwujudan dari daya atau potensi tersebut.
Sehubungan dengan pengertian itu, Alex Sobur (2003) mendefenisikan intelegensi sebagai: “kemampuan untuk berpikir secara abstrak” (Terman); “kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya” (Colvin); “tekhnik untuk memperoleh informasi yang disediakan oleh indera” (Hunt).
Menurut hasil riset dan temuan psikologi, kini ditemukan tiga macam kecerdasan: rasional, emosional, dan spiritual.
Pada awal abad kedua puluh, kecerdasan rasional (IQ: intelegence Quotient) menjadi isu besar. Kecerdasan intelektual yaitu kecerdasan yang digunakan untuk memecahkan masalah logika maupun strategis, sehingga muncul pengukuran oleh kalangan psikolog tes IQ.
Pada pertengahan 1990, Daniel Goleman (1996) mempopulerkan penelitian dari banyak neurolog dan psikolog yang menunjukan bahwa kecerdasan intelektual sama pentingnya dengan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional (EQ: emotional Quetient) yaitu kecerdasan yang memberikan kesadaran mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain, rasa empati , cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi kesedihan atau kegembiraan secara tepat.
Akhir abad kedua puluh, Dana Zohar dan Ian marshal (2000), menemukan model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, antara lain kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, dan menilai bahwa tindakan/jalan hidup seseorang lebih bermakna dengan yang lain.
Kecerdasan di atas amat menarik untuk dikaitkan dengan cara berpikir dalam hukum, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tindakan hakim dalam menjalankan hukum.
Kecerdasan rasional yaitu menuntut hakim dalam menjalankan hukum untuk menerapkan kemampuan penalaran logis (deduktif/induktif), dimana menuntut hakim untuk mengkaidahi peristiwa hukum yang terjadi dengan mendasarkan pada peraturan formal. Kecerdasan rasional dalam ilmu hukum disebut “mahkotanya hakim” untuk menggunakan cara berpikir positvistis-dogmatis.
Kecerdasan emosional, kecerdasan yang dapat digunakan oleh hakim dalam menjalankan hukum untuk mempertimbangkan lingkungan, habitat dengan mempertimbangkan faktor konteks yang dibarengi dengan rasa empati, komitmen dan dedikasi. Kecerdasan ini menuntut hakim untuk melakukan “perang dibalik toganya”.
Sedangkan kecerdasan spiritual, kecerdasan dimana hakim dalam menjalankan hukum tidak dengan menerapkan huruf-huruf peraturan begitu saja, tetapi menemukan makna dan nilai yang terkandung dalam peraturan. Hukum bukan buku telepon yang hanya memuat daftar peraturan dan Pasal, tetapi suatu yang sarat makna dan nilai. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan hakim dalam menjalankan hukum sebagai kecerdasan “representasi ketuhanan”.
Dalam kaitannya dengan tugas hakim untuk memberi putusan, dalam hal ini putusan hak asuh anak. Jika menggunakan kecerdasan rasional maka akan melihat pada peraturan perundang-undangan seperti KHI, kecerdasan emosional dapat melihat dari kepentingan para pihak (interest of the parties: their mother or father) dan kepentingan anak (interest of the children), sedangkan kecerdasan spiritual menuntut hakim untuk memberi pertimbangan masa depan anak baik dari segi jasmani dan rohani seperti pekerjaan hakim untuk menafsirkan kembali (reinterpretation) batas anak dewasa dengan melihat pada tafsiran yang sesuai dengan kondisi anak yang akan dipelihara oleh salah satu pihak (to be a fit or an unfit parents).
Keterangan responden tentang kecerdasan hakim dapat dilihat pada tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3: pengaruh kecerdasan hakim PA Mks dalam penetapan hak asuh ibu/ayah (n=30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
BERPENGARUH | 22 | 73 |
TIDAK BERPENGARUH | 8 | 27 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa diantara 30 responden terdapat 22 orang (73%) responden yang menilai bahwa kecerdasan hakim berpengaruh dalam penetapan hak asuh anak, sementara terdapat 8 orang (27%) menilai bahwa kecerdasan hakim tidak berpengaruh dalam penetapan hak asuh anak. Hal ini sesuai dengan pandangan dari masing-masing kelompok responden yang mewakili sebagai pembicara.
Kalangan penggugat/tergugat menilai bahwa kecerdasan mempengaruhi hakim dalam penetapan hak asuh anak karena menuntut hakim untuk melakukan pembuktian dari berbagai pihak, yang tentunya kecerdasan itu amat perlu untuk melakukan penggalian peristiwa hukum dari para pihak beserta saksi-saksi. Hal tersebut juga dibenarkan oleh kalangan pengacara bahwa hakim tidak hanya mencari peraturan tentang kaidah yang mengatur penetapan hak asuh, tetapi kecerdasan itu menuntut untuk mencari pihak yang mana kompeten untuk mengasuh anak, dengan demikan bukan hanya Undang-undang yang perlu dipelajari oleh hakim. Sedangkan hakim Pengadilan Agama, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) juga mengakui bahwa kecerdasan hakim amat penting, mengingat putusan akan berpengaruh terhadap dedikasi hakim jika putusan yang dijatuhkan di tingkat pertama jika dibanding, maka hakim di tingkat banding dan kasasi akan menilai tingkat kemampuan hakim dalam melakukan penalaran hukum.
Responden yang menilai bahwa kecerdasan hakim tidak berpengaruh dalam penetapan hak asuh berpendapat bahwa penetapan hakim pada dasarnya sudah dapat diketahui oleh para pihak pada saat diajukan gugatan di pengadilan, karena peraturan sudah mengatur sedemikan rupa tentang apa yang akan diputuskan oleh hakim.
Dalam kaitannya pengaruh kecerdasan hakim dengan penetapan hak asuh anak dapat dilihat pada indikator kecerdasan hakim tinggi, sedang, atau rendah.
Keterangan responden tentang tingkat kecerdasan hakim pada Pengadilan Agama dapat dilihat pada tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4: tingkat kecerdasan hakim dalam penetapan hak asuh ibu/ayah(n=30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
TINGGI | 5 | 17 |
SEDANG | 19 | 63 |
RENDAH | 6 | 20 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel 4 di atas menunjukan bahwa diantara 30 responden terdapat 19 orang (63%) responden yang menilai bahwa tingkat kecerdasan hakim sedang dalam penetapan hak asuh anak., Hanya, terdapat 5 orang (17%) menilai bahwa tingkat kecerdasan hakim tinggi dalam penetapan hak asuh anak, selebihnya terdapat 6 orang (20%) menilai bahwa tingkat kecerdasan hakim rendah. Kalangan responden yang menilai kecerdasan hakim sedang dari golongan pengacara menilai bahwa hakim terlalu sakral menilai Undang-undang, sehingga pada saat diajukan gugatan hakim terkadang menolak tuntutan (petitum) permintaan hak asuh dari kalangan ayah dengan alasan pihak ibu sudah punya otoritas untuk mengasuh sebagaimana diatur dalam KHI. Hakim di Pengadilan Agama menanggapi keluhan dari pengacara beralasan bahwa hakim juga tidak bisa dituntut tidak lebih dari apa yang mengaturnya, karena menjalankan hukum berarti juga terikat kewenangannya.
Berdasarkan keterangan di atas, penggugat/tergugat, pengacara sebagai responden yang sangat mengharapkan kecerdasan hakim masih jauh dari harapan pencari keadilan. Hakim masih sangat terikat dengan paradigma yang positivistik-dogmatis, mereka belum berani melakukan penafsiran demi tuntutan nilai-nilai keadilan yang diinginkan. Hakim belum sepenuhnya berani untuk menggunakan kecerdasan spiritualnya untuk mencari makna yang lebih dari apa yang diatur dalam Undang-undang. Padahal menurut Musakkir (2005:162) mengemukakan bahwa “hakim sebagai penegak hukum melalui peradilan dituntut perannya sebagai penafsir yang baik terhadap perundang-undangan yang merupakan huruf mati, dengan memberi isi dan jiwa sesuai dengan rasa keadilan warga masyarakat.”
b) kepribadian Hakim
Kata kepribadian berasal dari bahasa latin persona yang berarti gambaran sosial tertentu yang diterima oleh individu dari kelompok atau masyarakat, kemudian individu tersebut diharapkan bertingkah laku berdasarkan atau sesuai gambaran sosial yang diterimanya (Koswara: 1991: 10)
Awal munculnya, pertama kali istilah kepribadian yaitu sebagaimana didefenisikan oleh Alport (1971) “personality is the dynamic organization within the individual of those psychophysical sistem that determine his unique adjustment to this environment.”
Dengan demikian berdasarkan defenisi di atas, kepribadian memiliki beberapa unsur sebagai berikut:
1. Kepribadian itu merupakan organisasi yang dinamis. Ia tidak statis, tetapi senantiasa tidak berubah setiap saat.
2. Organisasi tersebut terdapat dalam diri individu. Jadi, tidak meliputi hal-hal yang berada di luar individu.
3. Organisasi itu terdiri atas sistem psikis, menurut Allport meliputi sifat dan bakat, serat sistem fisik (anggota dan organ tubuh yang saling terkait)
4. Organisasi itu menentukan corak penyesuain diri yang unik dari tiap individu terhadap lingkungannya.
Teori kepribadian dapat dianalisis melalui perkembangan aliran psikologi. Menurut Schults (1981) mengemukakan teori kepribadian yakni psikoanalisis, neopsikoanalisis, interpersonal, sifat, perkembangan, humanistik, kognitif, dan behavorisme. Setiap aliran tersebut menunjukan adanya kekuatan penting yang aktif dalam seluruh bidang kepribadian.
Tipe kepribadian yang dapat diterapkan terhadap profesi hakim sebagai person dalam bidang hukum yaitu tipe kepribadian sebagaimana yang dikemukakan oleh Jung (Purwanto: 1998), yaitu
1. Tipe extrovert, hakim mengeluarkan/melahirkan putusan lebih diarahkan kepada luar dirinya, kepada orang lain dan kepada masyarakat.
2. Tipe introvert, putusan yang dilahirkan oleh hakim adalah menyangkut pada kepentingan dirinya.
Menurut Crow and Crow (dalam Sobur: 2003) menguraikan bahwa orang yang memiliki tipe extrovert mempunyai sifat berhati-hati, terbuka, lancar dalam pergaulan, ramah, penggembira, kontak dengan lingkungan besar sekali. Sedangkan tipe kepribadian introvert memilki sifat sering diliputi rasa kekhawatiran, bersifat radikal, bersikap subjektif dan berhati-hati terhadap penderitaan terhadap tindakan yang dikeluarkan.
Tipe kepribadian extrovert dan introvert membawa pada kepribadian hakim yang otoriter dan demokratis yang berpengaruh terhadap penetapan hak asuh anak di pengadilan.
Kepribadian yang otoriter dipengaruhi pada kepatuhan otoritas, paradigma konvensional yang sangat menghormati norma yang hidup dan agresi otoritarian. Sedangkan hakim dapat berkepribadian demokratis jika terilhami oleh nilai religius intrinsik (menghormati kemanusiaan melebihi kebutuhan dirinya), dan selalu melakukan pengkajian terhadap nilai religiusitas yang dianut.
Keterangan responden tentang kepribadian hakim pada Pengadilan Agama Makassar dapat dilihat pada tabel 5 sebagai berikut:
Tabel 5; kepribadian hakim PA Mks dalam penetapan hak asuh anak(n=30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
OTORITER | 19 | 63 |
DEMOKRATIS | 11 | 37 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel 5 di atas terdapat 19 orang responden (63%) menilai bahwa hakim cenderung otoriter dalam meyelesaikan sengketa hak asuh anak. Responden yang menilai kepribadian hakim yang otoriter terwakili dari kalangan penggugat dan pengacara. Menurut penilaian penggugat, bahwa hakim terlalu menuntut penggugat untuk mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh pengadilan, jika diindahkan maka perkara bisa saja dinyatakan gugur. Sementara dari kalangan pengacara menilai bahwa hakim dalam menetapkan hak asuh otoriter, karena terikat kuat dengan agama yang dianut sekaligus sebagai dasar hukum dalam penetapan hak asuh anak. Dengan demikian jika yang mengajukan permohonan penetapan hak asuh anak beragama di luar agama Islam maka akan diberikan kepada salah satu pihak yang beragama Islam, padahal kepentingan yang diutamakan adalah kepentingan anak.
Disamping itu responden yang menilai demokratis sebanyak 11 orang (37%) dari kalangan penggugat beralasan bahwa penggugat yang membawa perkaranya kepengadilan berarti harus siap-siap untuk menerima apa yang akan diputus oleh pengadilan, baik itu hak asuh akan jatuh kepada ayah atau ibu, karena demikianlah fungsi pengadilan.
Hakim yang sangat memegang teguh keyakinannya untuk menetapkan hak asuh pada salah satu pihak yang beragama Islam berpendapat bahwa aturan dalam pengadilan memang menghendaki demikian, dan merupakan tanggung jawab hakim jika anak itu berada dalam pemeliharaan yang beragama di luar agama Islam untuk memindahkan pada pihak yang beragama Islam.
Berdasarkan keterangan dari berbagai responden di atas menunjukan bahwa hakim masih berkepribadian otoritarian dengan mengutamakan ajaran-ajaran agama yang tidak boleh mengalami perubahan sedikitpun, yang disebut oleh oleh Altemeyer (Rahayu: 2000) sebagai religius intrinsik dan fundamentalis. Tipe religius tersebut menurut Altemeyer mempelajari ajaran agama secara kaku dan hanya melihat apa yang tersurat dalam ajaran-ajaran agama mereka. Dalam hal ini kurang memperdulikan kepentingan si anak sehingga mementingkan diri dan kelompoknya yang menjadikan hakim otoritarian.
Hakim yang cenderung menjatuhkan hak asuh terhadap ibu, tanpa pertimbangan yang lebih dalam, tentang keterlibatan dan seberapa besar peran ayah, dengan hanya berdasar pada perundang-undangan juga menempatkan hakim otoritarian. Hakim terlalu terikat pada kepatuhan otoritas, Undang-undang dan stereotip yang melekat dalam masyarakat tentang peran ibu yang selalu dianggap dominan.
c. Jenis kelamin
Dalam pandangan psikologi, kajian tentang perbedaan jenis kelamin yaitu mencolok pada kajian aliran psikoanalisis yang menempatkan peran ibu sebagai tokoh panutan dari anaknya. Status yang melekatkan pada perempuan, cenderung perasa, lembut, sensitif dan pasif terhadap tindakan yang akan diambil. Jika dibandingkan dengan laki-laki yang cenderung keras, dan lebih aktif terhadap tindakan yang akan diambil dengan mengedepankan logika/akal pikiran.
Kemampuan natural seksual perempuan yang menempatkan harus pasif dapat menjadikan lebih solid terhadap sesamanya jika dibandingkan dengan peran laki-laki.
Profesi hakim sebagai pelaksana dalam putusan pengadilan, tidak terlepas ciri yang melekat dalam dirinya sebagai hakim laki-laki/perempuan. Dalam kasus perceraian mungkin yang lebih paham adalah hakim perempuan karena didasarkan pada indera perasa perempuan yang menonjol. Sehingga perceraian merupakan peristiwa hukum yang rumit bagi hakim perempuan. Terlebih lagi ikatan batin yang kuat antara ibu dan anak jika harus dipisahkan dari ibunya, tentunya antara hakim laki-laki dan perempuan berbeda dalam melakukan komonikasi hukum dengan para pihak.
Berikut ini, keterangan persepsi responden tentang pengaruh jenis kelamin terhadap penetapan hak asuh anak:
Tabel 6: pengaruh jenis kelamin hakim PA Mks dalam penetapan hak asuh ibu/ayah (n=30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
SAMA | 24 | 80 |
BERBEDA | 6 | 20 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel 6 di atas menunjukan, terdapat 24 orang (80%) responden menilai antara hakim laki-laki dan perempuan dalam menetapkan hak asuh anak sama, sementara hanya terdapat 6 orang (20%) responden menilai berbeda putusan hakim laki-laki dan perempuan.
Responden yang berpendapat sama yang mewakili responden sebagai pembicara mengemukakan, antara hakim laki-laki dan perempuan dalam menjatuhkan putusan sama saja, jikalau anaknya masih di bawah umur maka hak asuh akan jatuh pada ibu dan jika ibunya beragama di luar agama Islam maka akan diasuh oleh ayah. Sedangkan responden yang menilai berbeda mengungkapkan “bukan pada putusannya berbeda, tetapi ketika hakim mengadili, penggugat melihat dan memahami bahwa hakim perempuan lebih gampang diajak berkomonikasi. Bahkan lebih dari itu seorang penggugat dalam wawancara “mengaku sangat bahagia dengan dimasukkannya/ditambahkannya petitum oleh hakim ketika tergugat dimasa pengajuan duplik mengambil hadiah perkawinan isterinya, di mana hakim pada waktu itu memerintahkan kepada panitera untuk menambah tuntutan pihak penggugat untuk mengembalikan harta isterinya.” (wawancara 16 April 2009)
Di dalam persidangan hakim perempuan, juga sulit terlepas dari sikap empati kepada para pihak jika terjadi perceraian dan harus memisahkan kedua anak mereka, sebagaimana dikemukakan oleh Nadira Basir sebagai hakim ketua ( wawancara 23 April 2009) “hakim juga manusia biasa, sehingga kami terkadang sulit mengendalikan emosi jika dalam pembuktiannya terdapat sikap kekerasan oleh pihak laki-laki, yang lebih membuat kami emosi adalah jika kami menangani perceraian kemudian pemohon/suami adalah dari kalangan uztadz yang tentunya tahu konsekuensi dari pada perceraian untuk anak-anaknya.”
Berdasarkan data dan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa antara hakim laki-laki dan perempuan memang dalam penetapan hak asuh sama-sama menggunakan dasar hukum yang sama, tetapi yang membedakan keduanya adalah sikap dalam persidangan, yang menempatkan hakim perempuan sangat menghormati (regard) kaumnya. Dengan demikian putusan hakim perempuan berkorelasi positif dengan the woman solidarity.
d. Usia
Usia erat kaitannya dengan fase pertumbuhan/perkembangan yang diuraikan melalui psikologi perkembangan. Psikologi perkembangan melakukan pengkajian dan penelitian terhadap usia dengan tingkatan usia kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia lanjut.
Perkembangan usia yang dianggap sebagai masa puncak dalam psikologi yaitu ketika usia dewasa dan penurunannya yaitu pada usia tua. Victor Hugo (dalam Brice Pit: 1986) mengamati bahwa usia 40 tahun merupakan usia tua dari masa muda dan usia lima puluhan merupakan masa muda dari usia tua.
Dalam usia pertengahan, bukan hanya menjadi tua dibandingkan dengan sebelumnya melainkan seorang akan menjadi bijaksana. Dapat mengetahui seluk-beluk sesuatu, dapat menemukan jalan, dapat mengenal diri sendiri, dan bertanggung jawab.
Kepuasan yang lebih yaitu dapat mengetahui apa yang sedang/dapat dilakukan dan berguna pada usia puncak. Penggunaan bakat alamiah yang dibentuk oleh latihan dan diproses oleh pengalaman memberikan kepuasan dan baik untuk menunjang pekerjaan.
Lapangan psikologi yang paling banyak disoroti dalam masa perkembangan usia yaitu intelegensi. Dengan intelegensi sebagaimana dikemukakan oleh wecshler (dalam F.J Monk: 1984) intelegensi adalah kecakapan individu yang global dan tersusun untuk dapat bertindak terarah, berpikir yang bermakna dan bergaul dengan lingkungannya secara efesien.
Menurut Weschler maka puncak prestasi intelegensi ada di sekitar umur 20 tahun dan sesudahnya akan ada penurunan. Kemudian Weschler merevisi pendapatnya dan menganggap puncaknya pada usia 25 tahun. Juga penurunannya agak kurang dramatis daripada konsepnya yang semula. Schae menetapkan puncaknya pada usia 30 tahun, sedangkan Blash dan Zubek (1960) dapat menunjukan bahwa pada sementara orang puncaknya dicapai pada usia 20 tahun. Juga penelitian di belanda yang dilakukan oleh Verharge (1964) mencoba untuk menunjukan bahwa mulai 20 tahun ada garis penurunan mengenai prestasi intelegensi. (F.J Monk, Dkk: 1984, 275)
Schale (1970) menyelidiki apa hal itu betul dan bagaimana begitu, berlaku, bagi lapangan yang mana. Ia membedakan antara intelegensi yang mengalir (fluid intelegence) dan intelegensi yang dikristalkan (cristalized intelegence). Dengan intelegensi yang mengalir dimaksudkan kecakapan untuk dapat berubah dengan luwes, lincah, mudah mengkombinasi dan mudah dapat mengadakan orientasi dalam situasi baru. Intelegensi yang dikristalkan adalah intelegensi yang berhubungan dengan pengetahuan umum, dengan kekayaan bahasa dan pengertian bahasa. Intelegensi yang mengalir akan menunjukan penurunan sesudah mencapai puncak kedewasaan muda yaitu sekitar umur 30 tahun, tetapi intelegensi yang dikristalkan akan relatif stabil. (Ibid: 276)
Bila dimensi perkembangan usia tersebut diterapkan dalam profesi hakim maka akan terlihat kemampuan hakim melakukan penalaran,, pembuktian, dan pembuatan putusan pengadilan. Usia hakim yang lebih tua dapat menjadikan sebagai senioritas yang dihormati oleh hakim-hakim lainnya. Sehingga putusan akan menjadi patokan bagi hakim anggota, jika suatu saat akan menjadi hakim ketua.
Kematangan usia berpengaruh terhadap perbedaan penalaran hakim. Dalam kasus pidana, Hood (Kapardis: 1997) hakim tua memberikan pemidanaan lebih berat dan cenderung diskriminatif terhadap ras hitam. Berbeda halnya dengan perkara perdata seperti penetapan hak asuh anak oleh hakim yang tidak dipengaruhi oleh hasil peyidikan dan penuntutan jaksa, melainkan pembuktian didominasi oleh hakim untuk di jadikan dasar/alasan hukum untuk menetapkan putusan. Kecerdasan dan pengalaman hakim yang berbeda dengan alat ukur usianya akan berbeda dalam melakukan pembuktian perkara.
Keterangan responden tentang pengaruh usia terhadap penetapan hak asuh anak pada pengadilan agama makassar dapat dilihat pada tabel 7 sebagai berikut:
Tabel 7: pengaruh usia hakim PA Mks dalam penetapan hak asuh ibu/ayah (n=30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
BERPENGARUH | 16 | 53 |
TIDAK BERPENGARUH | 14 | 47 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel 7 di atas menunjukan, antara responden yang memilih bahwa usia hakim berpengaruh dan tidak berpengaruh dalam menetapkan hak asuh anak hanya selisi 2 orang (6 %). Hal ini sesuai dengan pandangan dari masing-masing kelompok responden sebagai pembicara.
Responden yang berpendapat bahwa usia hakim berpengaruh dari kalangan penggugat melihat bahwa hakim yang masih muda dan biasanya menjabat sebagai hakim anggota di dalam pembuktian lebih banyak mengambil waktu untuk bertanya dengan saksi-saksi, dibandingkan dengan hakim ketua yang usianya lebih tua hanya menanyakan peristiwa-peristiwa pokoknya saja. Sementara dari kalangan pengacara menilai usia hakim berpengaruh dengan alasan, walaupun tidak nampak di dalam persidangan tetapi pada umumnya hakim yang berusia tua tidak ingin berpikir panjang, mereka sudah tahu bahwa jika terjadi perceraian disertai penetapan hak asuh, putusannya sudah pasti “menjatuhkan talak bain sugra dan menetapkan hak asuh kepada penggugat/ pihak ibu”, dibandingkan hakim yang berusia muda masih ingin belajar dari berbagai macam bentuk perkara, dan tidak menutup kemungkinan pembuktian hakim yang berusia muda lebih lues, dan putusannya akan terasa adil bagi para pihak.
Sementara dari kalangan hakim, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) berdasarkan hasil wawancara, mengungkapkan bahwa usia berkaitan dengan penetapan hak asuh anak oleh hakim pengadilan. Senioritas hakim menjadikan ia lebih cerdas, lebih banyak tahu (banyak makan garam). Usia hakim tidak mempengaruhi terhadap kinerjanya, jika dibandingkan dengan profesi lainnya seperti tentara, karena dengan senioritasnya sudah banyak menyelesaikan perkara yang rumit, dapat belajar dari setiap perkara-perkara yang pernah dihadapi.
Berdasarkan keterangan di atas mengindikasikan bahwa antara hakim yang berusia muda dan berusia tua memiliki pengaruh dalam persidangan. Hakim yang berusia muda melakukan pembuktian secara lues, terbuka, dan ingin mengetahui posita/peristiwa perkara secara jelas. Sedangkan hakim yang berusia tua lebih memilih untuk melihat pokok-pokok perkaranya saja, hakim berusia tua berpikir otomatis karena melihat perkara pada akhirnya akan sama putusan dengan perkara yang sudah pernah diputus. Ternyata usia yang sebaiknya ia menjadikan berpengalaman tidak memilki pengaruh yang besar, untuk memberikan pembuktian yang bijak dan dapat diteladani oleh hakim yang masih muda.
Dengan demikian hakim yang berusia tua, senioritasnya menunjukan sebagai mesin Undang-undang. Satjipto Rahardjo (2006) memandang keadaan demikian hakim terjebak pada hukum modern yang dirancang secara formal-rasional, makna Undang-undang tidak perlu dicari lebih jauh. Ibaratnya cukup pencet tombol, putusan sudah dibuat dengan benar, hakim tidak perlu pusing berusaha menemukan makna, nilai dan moral dibelakang perkara yang akan diputus.
e. Pengalaman
Pengalaman kerja adalah masa kerja hakim dalam menjalankan tugas peradilan. Pengalaman kerja menjadi penting karena dengan melalui pengalaman dapat diperoleh berbagai pengetahuan dan wawasan. Pengalaman kerja juga menjadikan hakim lebih lues dan merasa gampang/terbiasa dengan jenis perkara yang akan dihadapi. Dengan pengalaman tersebut hakim dapat menjatuhkan putusan hak asuh anak yang adil bagi para pihak (ibu, ayah dan anak).
Keterangan responden tentang pengaruh pengalaman hakim terhadap penetapan hak asuh anak pada pengadilan agama makassar dapat dilihat pada tabel 8 sebagai berikut:
Tabel 8: pengaruh pengalaman hakim PA Mks dalam penetapan hak asuh ibu/ayah (n=30)
INDIKATOR |
RESPONDEN |
FREKUENSI | PERSENTASE |
BERPENGARUH | 3 | 10 |
TIDAK BERPENGARUH | 27 | 90 |
TOTAL | 30 | 100 |
Data diolah: tahun 2009
Berdasarkan tabel 8 di atas, menunujukkan perbedaan yang amat jauh antara responden yang berpendapat bahwa pengalaman hakim berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap penetapan hak asuh anak. Hal ini berarti pada umumnya menilai bahwa pengalaman kerja hakim tidak berpengaruh terhadap penetapan hak asuh anak, Yaitu terdapat 27 orang (90%) responden menilai bahwa pengalaman hakim tidak menunjukan pengaruh terhadap penetapan yang akan dipilih oleh hakim yaitu hak asuh ibu atau hak asuh ayah.
Baik pandangan penggugat/tergugat maupun pengacara bahwa pengalaman kerja tidak menjamin hakim untuk menetapkan hak asuh ibu atau hak asuh ayah. Hal ini sesuai dengan pandangan dari masing-masing responden yang mewakili kelompok responden sebagai pembicara.
Kalangan penggugat menilai bahwa putusan hakim tidak disandarkan pada pengalaman, melainkan pada Undang-undang, yakni dengan menetapkan hak asuh bagi anak yang di bawah umur dibawah pengasuhan ibu sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 105 KHI.
Disamping itu, kalangan pengacara menilai bahwa penyebab pengalaman hakim tidak berpengaruh terhadap penetapan hak asuh ibu/hak asuh ayah, disebabkan hakim didominasi oleh perkara yang hanya pada akhirnya akan melahirkan penetapan hak asuh ibu, hakim di sini tidak dituntut pengalamannya.
Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa hakim tidak menggunakan penggalian/penemuan hukum, jika hakim hanya akan menjatuhkan penetapan hak asuh ibu, padahal dituntut peran seorang hakim untuk melakukan pembuktian untuk melahirkan pertimbangan yang bernuansa psikologis terhadap kepentingan anak.
Hakim hanya akan dipengaruhi oleh pengalamannya, jika perkara itu putusannya untuk hak asuh ayah. Hal ini disebabkan hakim akan mengenyampingkan Undang-undang, dan mengemukakan pertimbangan yang menjadi dasar hukum. Menurut hakim pengadilan agama Makassar, Nadira Basir (wawancara 23 April 2009) “sangat besar manfaat dari pengalaman hakim dan pengetahuan keagamaannya jika akan menjatuhkan putusan hak asuh ayah, karena dasar hukum yang tidak kuat putusan akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi.”
Di dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, ditegaskan Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian dilapangan hakim pada kenyataannya masih menjadikan Undang-undang sebagai sumber hukum tunggal, karena curiga dan takut jika putusannya dibatalkan, akan merusak kinerja dan dedikasinya.
Pengalaman hakim yang berkorelasi negatif (tidak berpengaruh) dengan penetapan hak asuh ibu dan berkorelasi positif (berpengaruh) dengan penetapan hak asuh ayah, tampaknya menjadikan hakim sulit untuk menggali ilmu hukum dari pengalaman empiris dan menjadi model yang dapat dicontoh masyarakat. Padahal pekerjaan hakim di lingkungan pengadilan agama tidak hanya melakukan pekerjaan rutin memutus perkara tetapi juga senantiasa melakukan refleksi teoritis dan abstraksi empiris secara terus menerus sehinggga dapat melahirkan ijtihad yang inovatif dalam pembangunan hukum nasional.
f. Frekuensi Perkara
Selain faktor psikologis di atas, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Pengadilan Agama Makassar. Ada faktor eksternal yang berpengaruh terhadap aspek psikologis hakim, yang dapat menyebabkan sehingga hakim tidak serius dan consent menangani perkara. Perkara yang terlalu banyak (frekuensi perkara) akan menjadikan hakim sebagai mesin undang-undang, tanpa memberikan ruang gerak untuk berkreasi, mengekspresikan metode penemuan hukum melalui penalaran logika deduktif maupun induktif.
Hakim akan ngotot dan terburu-buru menyelesaikan perkara, apalagi dengan adanya tuntutan dari atasannya untuk mempercepat selesai berkas perkaranya. Kondisi demikian membawa hakim dalam pusaran lebih mengedepankan selesainya perkara dari pada menghindari kesalahan penalaran, pertimbangan dan penemuan hukum.
Di Pengadilan Agama Makassar, sidang rata-rata dimulai oleh hakim, jam 09.00 pagi dan berakhir jam 03.00 sore. Waktu tersebut dipergunakan oleh hakim untuk mengadili perkara terdiri atas 10 sampai dengan 25 perkara. Dalam persidangan tersebut hakim tidak hanya akan berhadapan dengan masalah perceraian, tetapi juga akan berhadapan dengan perkara lainnya seperti warisan yang menuntut hakim bekerja keras untuk melakukan komonikasi hukum dengan para pihak.
Keluhan dari hakim pengadilan (Nadira Basir dan hakim lainnya) memiliki pendapat yang sama “bahwa perkara yang kami harus adili dalam tiap hari yang sangat banyak rasanya membuat kami kelelahan dan harus kerja keras tiap masa dan waktu sidang, belum lagi perilaku para pihak yang sangat beragam dalam persidangan, membuat kami sulit mengontrol emosi.”
Frekuensi perkara yang terlalu banyak harus diadili oleh hakim akan mempengaruhi aspek kognitif dan emosi hakim. Hakim akan menjadi lupa bahwa putusannya sudah jauh dari harapan keadilan, karena cenderung perkara akan diusahakan tidak jauh berbeda dengan putusan yang sebelumnya, tanpa sadar bahwa telah dipengaruhi oleh kondisi internalnya seperti kepribadian yang otoriter untuk melahirkan putusan.
BAB XI
FILSAFAT HUKUM
DAN STUDI HERMENEUTIK
DALAM PUTUSAN HAK ASUH ANAK
Sejak awal abad ke enam sebelum Masehi, ilmu pengetahuan belum melahirkan spesialisasi dalam keilmuan. Socrates dan Plato cenderung pada penggunaan akal budi dengan menempatkan jiwa terpisah dari raga, yaitu jiwa sudah ada terlebih dahulu sebelum raga tercipta. Aristoteles yang agak berbeda dengan gurunya, berdasarkan penggunaan rasional berpikir (metaphysics) antara jiwa dan raga dalam satu kesatuan.
Abad pertengahan tidak menjadikan ajaran Aristoteles berperan besar. Munculnya tokoh dari kalangan agamawan adalah kreasi lebih lanjut dari zaman Plato, seperti Agustinus, Thomas Aquinas, dan Spinoza. Ajarannya nampak di kalangan pemerintahan. Abad pertengahan yang dikenal dengan abad kegelapan, pada akhirnya mengalami reneisans.
Pada era reneisans baru mucul cara berpikir ala Aristoteles yaitu yang mengandalkan rasional yang ditandai dengan era modern. Perbedaan di zaman Yunani kuno dengan zaman moderen yaitu terjadi sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme tokohnya seperti Descartes, Leibniz dan Blaise Pascal. Empirisme tokohnya seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.
Ilmu hukum tidak terlepas dari aliran-aliran dalam filsafat. Aliran hukum alam yang dipegaruhi oleh Aristoteles. Aliran hukum positif yang dipengaruhi oleh filsuf modern positivisme Aguste Comte. Aliran utilitarianisme dipengaruhi oleh filsuf empirisme David Hume. Mazhab sejarah yang dipengaruhi oleh filsuf era modern reneisans Montesquieu. Sociological jurisprudent merupakan sintesa antara rasionalisme dan empirisme oleh Jean Jacques Derrida.
Ilmu hukum, walaupun posisinya secara historis tergolong sebagai ilmu tua (bersama dengan ilmu kedokteran) tidak muncul secara langsung penerapan hukum dalam praktik. Menurut Meuwissen (Sidharta: 2007) pembagian ilmu hukum dengan kerangka dasar filsafat (penalaran hukum) sebagai ilmu terdiri antara hukum dogmatik (recht dogmatic) yang berada pada tingkatan terendah, kemudian dikuti dengan teori hukum, dan tingkatan paling tinggi yaitu dikaji oleh filsafat hukum.
Tempat kalangan praktisi hukum yaitu terletak sebagai pengembang hukum praktis. Kalangan pengkaji hukum yaitu sebagai pengemban hukum teoritis seperti peran yang dimainkan oleh ilmuwan, teoritisi dan filsafat hukum. Sementara terdapat juga kalangan yang melakukan pengamatan terhadap ilmu hukum, dengan menggunakan ilmu-ilmu empirik (sosiologi, antropologi, psikologi, dan politik).
Abad kedua puluh ditandai dengan era postmodern, mempengaruhi aliran dalam ilmu hukum seperti munculnya ajaran realisme, gerakan studi hukum kritis. Ilmu Hukum tidak boleh menjadi pasif (diam) tertinggal dibelakang kenyataan (het recht hintk antcher). Ilmu hukum dalam pengembanannya akan terus menuai kritik terutama dari kalangan studi hukum kritis (critic legal movement) terhadap tujuan hukum, jika tidak berani melakukan pengkajian terhadap ilmu hukum baik yang normatif maupun teoritis.
Hermeneutika dan hakim
Fungsionaris hukum dalam lingkungan peradilan tidak dapat lagi memisahkan apalagi memandang tidak diperlukan hukum dogmatik atau teori hukum. Perkara yang diadili dalam persidangan bukan hanya menuntut hakim untuk mengkaidahinya. Hakim dituntut untuk melakukan interpretasi, konstruksi, bahkan melakukan penemuan hukum. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Tindakan hakim yang melakukan interpretasi terhadap Undang-undang, tidak hanya dapat dilihat secara gramatikal. Seorang hakim harus memilki kemampuan untuk mengahadirkan jiwa dari teks Undang-undang. Interpretasi ini disebut penemuan hukum secara hermeneutika.
Penemuan hukum (rechtsfinding) secara hermeneutik akan dipengaruhi oleh pengetahuan hakim (kerangka pemahaman/verstehen) dan prapemahaman/prasangka (vorverstandnis) mereka terhadap perkara yang akan diputus. Untuk menghindari putusan yang bias dan jauh dari nilai keadilan, pengetahuan hakim harus luas.
Seorang hakim harus mengetahui hukum normatif, sejarah hukum, ilmu empirik, teori hukum dan hukum kebiasaan. Dalam hal ini untuk menghindari putusan yang bias, hakim pengadilan harus berparadigma plural. Sebagaimana dikemukakan oleh Werner Menski (2007) hukum harus plural “Triangular Concept of Legal Pluralis”; “dalam era globalisasi hendaknya para penegak hukum/hakim berani untuk menggabungkan aspek normatif dari Positivisme, aspek nilai moral dari hukum alam dan aspek empiris dari Sosiologi Hukum, bahkan juga harus berani menggunakan hukum yang bersumber dari agama.”
Dengan demikian penemuan hukum secara hermeneutik mulai dari tahap ex ante sampai tahap ex post, paradigma hakim ditentukan oleh kemampuan melakukan unifikasi hukum dari berbagai aspek hukum.
Hermeneutika dalam putusan hak asuh anak
Metode hermeneuitika hukum sangat berguna ketika hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinil dari teks hukum. Bahkan menurut Gregory Leyh (1992), Pengalaman hakim pada saat menemukan hukum dalam praktik di pengadilan memberi dukungan bagi konsepsi pragmatis dan teoritisnya.
Berikut ini penulis ilustrasikan putusan Pengadilan Agama Makassar, dapat diterapkan metode hermeneutika hukum atas putusan hak asuh anak, dimana putusannya berbeda antara putusan Pengadilan Agama Makassar dengan Pengadilan Tinggi Makassar.
Putusan Pengadilan Kasus Nurchalis Sumargono Versus Engel Berta Andit (2008)
Dalam posita perkara antara Nurchalis dan Engel, kedua pihak menikah berdasarkan hukum Islam, tetapi engel menikah dengan pemohon/Nurcholis yaitu karena Engel telah berbadan dua, dan tidak membuat agama Engel yang dianutnya pada saat itu akan pindah. Setelah dua tahun membina rumah tangga kedua pihak dikarunia dua orang anak.
Atas alasan beda keyakinan, Nurcholis/pemohon mengajukan permohonan perceraian dan menuntut untuk ditetapkan hak asuh anak untuk dirinya. Pengadilan Agama Makassar mengabulkan tuntutan pemohon/Nurchalis hak asuh anak dengan pertimbangan termohon/Engel bukan beragama Islam. Akan tetapi dalam tingkat banding pengadilan tinggi membatalkan putusan PA Makassar dan menetapkan hak asuh untuk ibu, dengan pertimbangan kondisi anak yang masih di bawah umur yaitu masih memerlukan pengasuhan dari ibunya/Angel.
Berdasarkan perkara di atas dapat digunakan metode hermeneutika hukum seperti berikut ini
a. Masa lalu: Angel menikah dengan Nurchalis, karena telah berbadan dua namun tidak pindah keyakinan.
b. masa kini: Terjadi perceraian antara Angel dan Nurchalis dan setiap pihak menginginkan hak asuh anak untuk kedua anaknya.
c. Masa depan: Jika diasuh oleh ibunya maka kedua anak tersebut akan beragama bukan agama Islam.
Dengan dalih tersebut di atas, disamping hakim dapat menggunakan pertimbangan/dasar hukum faktor psikologis anak/kepentingan terbaik anak dalam menetapkan hak asuh, menggunakan Undang-undang (KUH perdata, Undang-undang perkawinan, KHI, dan hukum agama Islam/ijtihad). Hakim harus melihat aspek nonhukum dari pertimbanngan dan aspek hukumnya sebagai satu kesatuan.
Dalam kasus seperti di atas Mahkamah Agung telah mengambil sikap (melalui putusan dan berbagai pelatihan) bahwa keimanan seorang ibu menjadi tolok ukur untuk menentukan haknya dalam mengasuh anak (bukan didasarkan pada pertimbangan umur sesuai Pasal 105 KHI). Penulis memberikan alternatif dalam penyelesaian sengketa seperti ini dengan tetap memberikan hak pengasuhan kepada ibunya (yang sudah murtad) dalam kurun waktu tertentu hingga anak tersebut mampu berinteraksi atau mengenal ajaran agama, setelah selesai jangka waktunya maka pengasuhan anak tersebut diserahkan kepada ayahnya. Alternatif ini lebih familiar, disamping tidak menyalahi hak asasi dari si ibu, juga demi kepentingan sianak, manakala anak tersebut benar-benar masih memerlukan kasih sayang ibunya.
PENUTUP:
A. Kesimpulan :
1. Kontribusi psikologi hukum/psychology in law (specific within the law/practical applying of psychology in law) terhadap penentuan hak asuh anak yaitu dengan mengutamakan kepentingan terbaik pada si anak (the Best Interests of the Children doctrine). Hak asuh jatuh pada si ibu, karena seorang ibu yang dipandang lebih besar perannya (role) dalam mendidik, mengasuh dan melimpahkan kasih sayang serta sifat kelembutan yang dimiliki sang ibu (tender years doctrine). Sedangkan hak asuh jatuh pada pihak ayah, dengan melihat kedekatan sang ayah yang lebih besar terhadap anak dan ketidakmampuan ibu (the mother to be an unfit parent) untuk memberikan pengasuhan karena hal subjektif yang ada pada diri ibu.
2. Dalam penentuan hak asuh anak (to dispute of the child custody) oleh hakim/psychology and law (research into the psyco-legal to judge decision), faktor psikologis/internal (aspek kognitif dan emosi) memainkan peran yang penting terhadap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Faktor psikologis itu terdiri atas: kecerdasan, kepribadian, jenis kelamin, usia dan pengalaman.
B. Saran
1. Untuk mengatasi dampak lebih lanjut perceraian (affect of divorce) terhadap perkembangan dan masa depan si anak (baca: generasi muda), pemerintah seyogyanya mengefektifkan badan-badan yang berfungsi memberikan nasehat seperti badan penasehat perkawinan dan perceraian bukan hanya terbatas karena permintaan saja tetapi juga turut terjun dengan memberikan pengarahan misalnya ceramah-ceramah tentang dampak perceraian agar muda dijangkau oleh masyarakat luas.
2. Di negara Indonesia, mestinya sudah memiliki mediasi perceraian dan mediasi hak asuh anak sebagai alternatif nonlitigasi
3.. Sudah selayaknya sekarang lembaga peradilan kita menganut hak asuh bersama (join custody) dalam penetapan hak asuh anak (child custody), yang dapat menjamin kebutuhan jasmani dan rohani si anak.
4. Hakim di dalam peradilan agama, jika tidak mampu melakukan analisis psikologis tentang kepentingan terbaik anak (the best interest of the children). selayaknya sudah berani menggunakan keterangan kesaksian ahli dari kalangan psikolog, agar kesaksian saksi ahli dapat dijadikan pertimbangan yang kuat untuk menentukan pihak yang kompeten dalam pengasuhan anak.
5. Hakim pada Pengadilan Agama Makassar, berdasarkan hasil observasi menunjukan bahwa rata-rata hakim dalam bersidang, mengadili perkara 10-25 perkara/hari. Hal ini akan menambah beban psikologis bagi hakim, mereka tidak diberikan ruang gerak untuk berkreasi dan melakukan penalaran hukum. Oleh karena itu perlu ada perekrutan hakim, agar ke depannya hakim minimal dapat mengadili perkara 5 - 7 perkara saja dalam sehari.
6. Perlu digalakkan pelatihan dan pembinaan hakim untuk mengetahui ilmu-ilmu lain (ilmu empirik) selain ilmu hukum. Seperti pelatihan pembuktian kompetensi hak asuh (verification about competence of custody) dengan melibatkan psikolog anak. Disamping itu perlu juga dilakukan penguatan hakim, dengan memberikan penyadaran kepada hakim bahwa adakalanya kondisinya tidak benar (baca: bias) yang dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku:
Abdul Djamali. 1984. Psikologi dalam Hukum. Bandung: Armico.
Abdul Kadir Muhammad. 2000. Hukum Acara Perdata Di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Abdul Manan. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata Di lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: kencana.
Achmad Ali. 1990. Mengembara Di Belantara Hukum. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.
. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Jakarta:Yarsif watampone. . 2002a. Menguak Tabir Hukum. Jakarta: PT Toko Gunung Agung. . 2002b. Keterpurukan Hukum Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia . 2004a. Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta: Badan Penerbit STIH ”IBLAM”. . 2004b. Meluruskan Jalan Reformasi Hukum. Jakarta: Agatama press. Agoes Dariyo.2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Alex Sobur. 2003. psikologi umum. Bandung: Pustaka Setia.
Amiruddin dan Zainal Azikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
Andreas Kapardis.1999. Psikologi dan Hukum (Psychology And Law). Diterjemahkan oleh Achmad Ali. Makassar: FH Unhas.
Anom Surya Putra. 2003. Teori Hukum Kritis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Anthon Freddy Susanto. 2005. Semiotika Hukum. Bandung: Refika Aditama
Antonio Cessie. 2005. Hak Asasi Manusia Di Dunia yang Berubah (Human Rights In A Changing Word). Diterjemahkan oleh Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Aristoteles. 2007. Politik (La Politica). Diterjemahkan oleh Syamsur Irawan. Bandung: Visi Media.
Atkinson, Rita L., et.al. 1983. pengantar psikologi. terj. Nurdjannah Taufiq. Jakarta: Erlangga.
Bambang Mulyono. 1984. Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan Penaggulangannya. Yogyakarta: kanisius.
Bambang Sunggono. 2006. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
Barbara Krahe. 2001. Perilaku Agresif (The Social Psychology Of Agresion). Diterjemahkan oleh Helly Prajitno Soetjipto. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Bartol, Curt R. 1983. Psychology In American Law. California: A Division Of Wadsworth.
Berry, John W, et al. 1999. Psikology Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Penerjemah Edi Suhardono. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Bernard Arief Sidharta. 1998. “Krakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Indonesia”. Disertasi. Bandung: Unpar.
. 2000.
Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: CV Mandar Maju.
. 2007.
Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Bertrand Russel. 2001. Sejarah Filsafat Barat (History Of Western Philoshophy). Diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brice pit. 1986, Krisis Manusia Dewasa dan Setengah Baya (making the most of middle age). Diterjemahkan oleh Bosco Carvallo. Jakarta: Arcan.
Budi Susilo. 2007. Prosedur Gugatan Cerai. Jakarta: Pustaka Yustisia.
Budiman, Leila C. 1985. Mengenal Dunia Kanak-Kanak. Jakarta: Rajawali Press.
Dagun, Save M. 1990. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Dana Zohar dan Ian Marshall. 2001. Spiritual Intelligence (Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik Dan Holistik Untuk Memaknai Kehidupan). Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Daniel Goleman. 1996. Emotional Intelligence. New york: Bantam.
Darwan Prinst. 2003. Hukum Anak Di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Departemen pendidikan dan kebudayaan. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djamaludin Ancok. 1996. Nuansa Psikologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Eddy Yusuf. 1993. Psikologi Sosial. Makassar: Unhas.
Erich Fromm. 2000. Akar Kekerasan (The Anatomy Of Human Destructiveness). Diterjemahkan oleh Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Erna karim. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Faturochman. 2002. Keadilan Perspektif Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedman, W. 1990. Teori dan Filsafat Hukum (legal theory). Jilid I, Jilid II dan Jilid III. Diterjemahkan oleh Muhammad Arifin. Jakarta: Rajawali Press.
Friedman, Lawrence M. 2001. Hukum Amerika Sebuah Pengantar (American Law An Introduction). Diterjemahkan oleh Wisnu Basuki. Jakarta: PT Tatanusa.
Gerungan. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Gregory leyh. 1992. Legal Hermeneutics (History, Theory, and Practice). Berkley Los Angeles Oxford: university of California press.
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia.
. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: kanisius. Hans Kelsen. 2006. Hukum dan Logika (Essay In Legal and Moral Philosophy). Diterjemahkan oleh Arief Sidharta. Bandung: PT Alumni.
Happy Marpaung. 1983. Masalah Perceraian. Bandung: Tonis.
Helen Grahan. 2005. Psikologi Humanistic (The Human Face Of Psychologhy:Humanistic Psychology In Its Historical, Social, And Cultural Content. Diterjemahkan oleh Achmad Chusairi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hurlock, Elisabeth B. 1988. Perkembangan Anak (jilid 1 Child Development). Diterjemahkan oleh Mertasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga.
Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Jan Hendrik Kapar. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kansius.
Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum. Jakarta: UII press.
John Gillisen dan Frits Gorle. 2005. Sejarah Hukum Suatu Pengantar (Historische Inleiding Tot Het Recht). Diterjemahkan oleh Fredy Tengker. Bandung: Refika Aditama.
Kansil. 2006. Pokok-Pokok Etika profesi hukum. Jakarta: Pradya Paramita.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat (Element Of Phylosophy). Diterjemahkan oleh Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Koeswara. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Komariah. 2001. Hukum Perdata. Malang: Universitas Muhammadiyah.
Lili Rasdjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2003. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Liliana Tedjosaputro. 2003. Etika Profesi dan Profesi Hukum. Semarang: Aneka Ilmu.
Lubis, Suhrawardi K. 1993. Etika Profesi Hukum. Jakarta: sinar Grafika.
Mark Constanzo. 2006. Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum (Psychology Aplied To Law). Diterjemahkan oleh Helly Prajitno soetjipto. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Monks, F.J. 1984. Psikologi Perkembangan, Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Diterjemahkan oleh Nijmegan. Yogyakarta: Gaja Mada university Press.
Muhamad Aris Rahman. “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Gugatan Cerai Oleh Isteri (Studi Banding Putusan Pengadilan Agama Dan Pengadilan Negeri Demak)”, Skripsi, Universitas Islam Sultan Agung. 2008. psikologi.com.
Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia. Bandung: Refika Aditama.
Munir Fuadi. 2005. Filsafat dan Teori Hukum Posmodern. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
. 2007 a. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. . 2007 b.
Sosiologi Hukum Kontemporer. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Musakkir. ”Putusan Hakim Yang Diskriminatif dalam Perkara Pidana Di Sulawesi Selatan (Suatu Analisis Hukum Empiris)”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2005.
Paul Henry Mussen. et.al. 1989. Psikologi Kepribadian Anak. Diterjemahkan oleh Budiyanto. Edisi keenam. Jakarta: Arcan.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena pohan. 1995. Hukum Orang dan Keluarga. Surabaya: Airlangga University Press.
Purwanto, M. Ngalin. 1998. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Reni Akbar dan Hawadi.2001. Psikologi perkembangan anak. Jakarta: PT Grasindo.
Rose De Parke. 1981. Fathering. London: Fontana paperback.
Saifuddin Azwar. 1988. Sikap Manusia. Yogyakarta: liberty.
Said, M. Nur.1996. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Saks, Michael J. dan Reid Hastie.1978. Pengadilan Sebagai Suatu Sistem Sosial dan Sebagai Bagian Dari Suatu Sistem Sosial (Social Psychology In Court). Diterjemahkan oleh Achmad Ali. Makassar: FH Unhas.
Sarlito Wirawan Sarwono. 2001. Psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Satjipto Rahardjo.1986. ilmu hukum. Bandung: kotak pos 272.
. 2004. Ilmu Hukum Pencarian Pembebasan dan Pencerahan. Surakarta: Universitas Muhammadiyah. . 2006. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas Scott Davidson.1994. Hak Asasi Manusia (Human Right). Diterjemahkan oleh Hadyana pudjaatmaka. Jakarta: Grafiti.
Schults, D. 1981. Theories Of Personality. California: Wadsworth.
Sigmund Freud. 2007. Peradaban dan Kekecewaan Manusia (Civilization and Its Discontent). Diterjemahkan oleh Sudarmaji. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soedjono Dirdjosisworo.2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
Soerjono Soekanto. 1989. Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Subekti. 1977. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.
. 2003. Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermassa. Sudikno Mertokusumo.1992. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.
. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Sumaryono. 1999. Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat . Yogyakarta: kanisius.
Syahran, M. Ridwan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Trull, Timothy J. (2005). Clinical Psychology (Seventh Edition). Dirangkum oleh Didi Tarsidi dari Belmont, California: Thomson Wadsworth.
Van Apeldoorn, L.J. 1985. Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan Oetarid Sadino. Cet. 22. Jakarta: Pradnya Paramita.
Watson Robert, dan Hendry Clay lindgren. 1974. Psychology Of The Child. New York: Jon Wiley and Sons.
Wawan Tanggul Alam. 2004. Etika Profesi Hukum. Jakarta: Milenia Populer.
Weithorn, Lois A. 1987. Psychology and Child Custody Determinations: Knowledge, Roles, and Expertise. University of Nebraska Press.
Werner Mensky. 2007. Comparative Law In A Global Context: The Legal Systems Of Asia And Africa (2 ed). Cambridge: University Press.
Wilbur Bradbury. 1987. Perilaku Manusia Masa Dewasa. Diterjemahkan oleh Roekmini Makmur. Tira Pustaka.
Yahya Harahap. 2005. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Yasraf Amir Piliang. 2004. Dunia yang Berlari Mencari Tuhan-Tuhan Digital. Jakarta: Grasindo.
Yusti Probowati Rahayu. 2000. Dibalik Putusan Hakim. Sidoarjo: Citra Media.
2. Undang-Undang, Peraturan dan Putusan Pengadilan
Anonim. 2004. Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Yustisia
Kaelan. 2002. Kajian Tentang Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Hasil Amandemen Disahkan 10 Agustus 2002. Yogyakarta: Paradigma
Subekti dan Tjitrosudibio.2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak.
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
Perma RI. Nomor 1 Tahun 2008 tanggal 31 juli 2008 menggantikan Perma Nomor 2 tahun 2003 tentang proses mediasi.
konvensi tentang Hak-Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989.
Putusan pengadilan tinggi agama surabaya Nomor: 85/Pdt.G/ 2008/PTA.Sby.
Putusan mahkamah syariah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor: 20/Pdt.G/2008/Msy-Prov.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama yogyakarta Nomor: 18/Pdt.G/2008/PTA Yk
Putusan Pengadilan Agama Jepara Nomor: 454/Pdt.G/2007/PA.JP
Putusan Pengadilan Agama Palembang Nomor: 0480/Pdt. G/2008/PA.Plg
Putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor: 222/ Pdt. G/2008/PA Mks.
Putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor: 864/ Pdt. G/2007/PA Mks.
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 41/Pdt. G/2008/PTA Mks.
3. Surat kabar:
Achmad Ali. 2008. ”Pendekatan Hermeneutikal dalam Penemuan Hukum”, Harian Fajar, 29 Oktober 2008.
. 2008. ”Penelitian Ilmiah Hukum Adalah Empiris”,
Harian Fajar, 23 Desember 2008.
. 2008. “Triangular Concept Of Legal Pluralism, Teori Hukum Termutakhir”.
Harian Fajar. 31 Desember 2008.
. 2009. “Hukum Jepang dan Psikologi Hukum”
Harian Fajar. 20 April 2009.
. 2009. “Perilaku Hukum dan Psikologi Hukum”.
Harian Fajar 22 april 2009.
Faturochman. 1989. ”Sumbangan Psikologi pada Hukum”, Harian Suara merdeka, 1 Desember 1989.
Nilam Widyarini. 2005. “Derita Anak Korban Perceraian”. Harian Kompas. 18 Maret 2005,
Satjipto Rahardjo. 2002. ”Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan Spiritual”. Harian kompas. 30 Desember 2002.
Sulistyowati Irianto. 2005. “Hukum Berkeadilan Jender” Harian Kompas. 17September 2005.
Wiwie Heryani. 2008, ”Dissenting Opinion, Wujud Kemandirian Hakim”, Harian Fajar. 20 Agustus 2008.
4. Internet:
. 2008. “Child Custody Secret”
(online). http/child custody guide. Com/uncategorized/child-custody- secrets . 2009. “Child custody and family”.
(online) http/child custodyguide.
Adrianus Meliala. 2008 ”Kontribusi Psikologi dalam Dunia Peradilan: Dimana dan Mau Kemana”. (online). (Adrianus @ ui.edu)
Asyamedia. 2008. “Orang Tua Cerai, Hak Asuh Jatuh Kepada Kakek dan Nenek” (online). www.serpongkita.com
Britannica Concise Encyclopedia. 2006. “Forensic psychologhy”. (online). http/www. Answer. Com © 2006
Cherry Riadi Lukman. 2006. “Hak Asuh Anak Siapa Punya” (online). http:// www ayah bunda- online.com/info- detail. Asp/id= fatherhood&i
Esdras Idialfero Ginting. 2008. “Perceraian akibatkan trauma psikologis.” (online). © 2008 WawasanDigital
Forum fakultas Psikologi UGM. 2009. “Peran Psikologi Forensik dalam Proses Hukum Indonesia”. (online). Http/www. Forum psikologi UGM. ac. id.
Irsyadi Ramadhany. 2008. “Aktualisasi Nilai-Nilai Aliran Hukum Kritis (Critical Legal Study) Dalam Penyelesaian Kasus Pilkada Sul-Sel”. (online). Http/Rana Pattae. Blogs spot. Com.
Juneman. 2008. “Psikologi Forensik Di Indonesia”. (online). [indoklasik] Forensik Psikologi di Indonesia.
Mahrus siyam. 2007. “Gerakan Studi Hukum Kritis”. (online),. Http/shiyam. Wordpress. Com.
Mia Endriza. 2007. “Hak Asuh Anak Pasca Perceraian.” (online). (www.keluarga-samara.com).
Muchamad Ali Safa’at. 2007. “Gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Stuffy Movement)”. (online). http/lingkar studi politik hukum. Blogspot. Com.
Reza Indragiri Amriel. 2007. “Pengembangan Integritas Profesi Hakim”. (online). Web development by jogjashop. Com
. 2007. “Hak Asuh dan Jurigenic Effect”.
(online). Web development by jogjashop. Com . 2008. ”Membahas Kembali Ihwal Hak Pengasuhan Anak”. (online). © 2008. Pengadilan Agama Paniai – Papua Sulaiman Tripa. 2007. “Antara Hukum vs Masyarakat Moderen”. (online). (if!supportFootnotes)
Veggy. 2007. “Fenemonologi, Hermenutika, dan Positivisme”. (online). http/veggy. Wetpaint. Com.
Satjipto Rahardjo. 2002. “Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri” . (online). if!support Empty Paras] [endif].
Sholeh hadi. 2009. “Ayat-Ayat tentang Hadanah”. (online). http/ sholeh hadi blogspot. Com
Syafiqe. 2009. “Aplikasi Konsep Masalah dalam Penentuan Hadanah.” (online). Htttp/syafiqe. Com.
Syarifah tifanih. 2006. “Pengasuhan Anak Setelah Terjadi Perceraian” (online). usu repository @ 2007.
Wangmuba. 2009. “Filsafat Ilmu dalam Psikologi Fenomenologi”. (online). http/wangmuba. Com.
Yefrizawati. 2005. “Ilmu Hukum Suatu Kajian Ontologis” (online). (e-usu Repository: Universitas Sumatera Utara)
Yusti Probowati Rahayu. 2008. “Kalau Sedang Tidak Mood, Hakim Jangan Ambil Putusan”. (online). http/ www hukum online. Com.
5. Jurnal, artikel, buletin dan makalah
Ahmad Bahiej. Refleksi dan Relevansi Pemikiran Madzhab-Madzhab Hukum Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Jurnal Sosio-Religia, vol. 1, No.September 2002.
Bambang Santoso. Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman Tentang ‘The Law of Non Transferability Of The Law’ Dengan Upaya Pembangunan Hukum Nasional Indonesia. Jurnal Yustisia Edisi Nomor 70 Januari - April 2007.
Faturochman. Keadilan Sosial: Suatu Tinjauan Psikologi. Buletin Psikologi, Tahun VII, No.1, Juni 1999, 13-27.
Musakkir. Analisis Pengaruh Aspek Psikologis Terhadap Lahirnya Putusan yang Diskriminatif. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa. Vol 13, Nomor 1 Maret 2005.
Ricardo Simarmata. Sosio-legal study dan gerakan hukum pembaharuan. Digest Law, Society & Development, Volume I Desember 2006 - Maret 2007.
Saprudin. 2008. “Hadanah dan Problematika Penyelesaiannya.” Makalah dalam diskusi ikahi cab. Tigaraksa pada bulan April 2009.
Sugiri Permana. 2007. “Paradigma Baru Dalam Penyelesaian Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama”, makalah hakim Pengadilan Mempawa. Kalbar.
Thahir Hasan. 2009. “Petunjuk praktis mediasi”. Surat dari Pengadilan Tinggi Agama Makassar untuk Pengadilan Agama Kelas I A Makassar.
Yusti Probowati Rahayu. “Peran psikologi dalam Investigasi Kasus Tindak Pidana”. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences 2008; 1(1):26-31 Diterbitkan di Jakarta.
Saleh Lapadi. “Hermeneutika punya banyak kamar”.
“Selamatkan anak anda dari korban perceraian”. Harian Global. 25 November 2007.
Zubaidah, J., Probowati, Y., Sutrisno. 2007. “Effect of Sex Defendant on Judge Decision Making”. Presented on Psychology and Law Conference, Adelaide, Australia.
6. Situs-Situs
Copyright © 2004, ICT UGM. “Pemeliharaan dan Perwalian Anak.”
http/abiyazid word press com/2006. (online). “Syarat Mendapatkan Hak Asuh (Hadanah).”
http/www. Surabaya net. “Perceraian Di Indonesia Tiap Tahun 200 Ribu Pasangan”
http/ www hukum online. ”Wna Rebutan Hak Asuh Anak Di Pengadilan Indonesia”. 22 Januari 2008.
http/ my. Opera. Com. “Gerakan Hukum Kritis dan Komisi Yudisial. 21 April 2009.
http/www. Berpolitik com. “Periode Pemikiran Filsafat Modern”. 19 Juli 2008.
http/www hukum online. “Hak Asuh Anak Harus Menjamin Kepentingan Terbaik Anak”. 17 april 2009.
http://www.jstor.org/stable/4141721