Psikologi sosial mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu:
- studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya: studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat).
- studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain.
- studi tentang interaksi kelompok, misalnya: kepemimpinan, komunikasi hubungan kekuasaan, kerjasama, persaingan, konflik.
- Bidang Hukum
Contoh aplikasi psikologi sosial di bawah ini terkait dengan hal psikologi forensik. Berikut adalah contoh dari aplikasi psikologi sosial dalam bidang hukum :
Psikologi Sosial Dalam Proses Investigasi Kasus Tindak Pidana
Menurut DR. Yusti Probowati (dari FPSI Univ.Surabaya, beliau adalah Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia – HIMPSI, Asosiasi ini baru dibentuk pada bulan Desember 2007 ), Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban, dan tersangka. Karena baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi, jaksa, dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan karena banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini dibutuhkan ketrampilan. Disinilah psikologi forensik diperlukan untuk memberikan pelatihan keterampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun dan menekan.
Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum, maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang: psychology in law, psychologi and law,psychology of law. Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidangpsycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. Pendapat DR. Yusti Probowati di atas merupakan salah satu kajian psikologi hukum pada bidang psychology and law, karena psikologi berusaha menjelaskan proses pencarian kebenaran dalam investigasi perkara pidana.
DR. Yusti Probowati, dalam pembahasan “Memahami Proses Kognitif Manusia”, mengemukakan salah satu hal yang menarik bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses retrieval adalah Stereotipe. Masalah stereotipe, diteliti oleh Probowati (2005) dan menemukan bahwa hakim Indonesia yang pribumi memiliki steretipe negatif terhadap terdakwa etnis Tionghoa. Zubaidah, Probowati, & Sutrisno (2007) menemukan hakim (baik laki-laki dan perempuan) memiliki stereotipe negatif terhadap terdakwa perempuan dengan memberikan hukuman yang lebih berat. Stereotipe juga terjadi pada saksi.
Menurut DR. Yusti Probowati (dari FPSI Univ.Surabaya, beliau adalah Ketua Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia – HIMPSI, Asosiasi ini baru dibentuk pada bulan Desember 2007 ), Proses peradilan pidana membutuhkan informasi dari saksi, korban, dan tersangka. Karena baik polisi, jaksa, maupun hakim tidak melihat sendiri kejadian perkara. Tetapi polisi, jaksa, dan hakim harus membuat keputusan berdasarkan informasi yang ada. Oleh karena itu peran saksi menjadi penting. Dalam konsep psikologi, memori saksi sangat rentan karena banyak faktor yang menyebabkan informasi menjadi kurang akurat. Dibutuhkan teknik psikologi untuk mengurangi bias informasi yang terjadi. Dua teknik yang biasa digunakan adalah hipnosis dan wawancara kognitif. Untuk dapat melakukan kedua teknik ini dibutuhkan ketrampilan. Disinilah psikologi forensik diperlukan untuk memberikan pelatihan keterampilan tersebut. Teknik ini terutama diperlukan saat penggalian kesaksian awal (di kepolisian), karena pada saat itulah Berita Acara Pemeriksaan disusun. Hal yang membuat sulit adalah polisi selama ini sudah terbiasa melakukan interogasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun dan menekan.
Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum, maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang: psychology in law, psychologi and law,psychology of law. Psychology in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and law, meliputi bidangpsycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak, hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. Pendapat DR. Yusti Probowati di atas merupakan salah satu kajian psikologi hukum pada bidang psychology and law, karena psikologi berusaha menjelaskan proses pencarian kebenaran dalam investigasi perkara pidana.
DR. Yusti Probowati, dalam pembahasan “Memahami Proses Kognitif Manusia”, mengemukakan salah satu hal yang menarik bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses retrieval adalah Stereotipe. Masalah stereotipe, diteliti oleh Probowati (2005) dan menemukan bahwa hakim Indonesia yang pribumi memiliki steretipe negatif terhadap terdakwa etnis Tionghoa. Zubaidah, Probowati, & Sutrisno (2007) menemukan hakim (baik laki-laki dan perempuan) memiliki stereotipe negatif terhadap terdakwa perempuan dengan memberikan hukuman yang lebih berat. Stereotipe juga terjadi pada saksi.
Psikologi Sosial Dalam Dunia Peradilan
Prof. Adrianus Meliala, Ph.D. (dari Departemen Kriminologi FISIP UI, beliau adalah Board Member Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia-HIMPSI) berpendapat bahwa Psikolog dapat amat membantu kepolisian dalam rangka membangun database terkait psychological profilling dari para calon tersangka atau menginterpretasikan sesuatu yang ditemukan di tempat kejadian perkara secara psikologis sehingga dapat menjadi barang bukti (psychological evidences).
Dalam rangka peran psikolog selaku hakim ad-hoc, terkait kasus-kasus dengan muatan psikologik yang berat, sudah sepantasnya psikolog tidak hanya hadir sebagai saksi ahli tetapi menjadi hakim itu sendiri.
Psikologi juga memiliki kemampuan untuk menjadikan hakim kembali humanis dan peka dengan permasalahan-permasalahan kepribadian dan kemanusiaan pada umumnya. Bisa dibayangkan, akan terdapat peningkatan kualitas persidangan apabila psikologi berkesempatan memfokuskan diri pada hakim mengingat pada diri hakim terdapat kewenangan besar untuk mengendalikan percakapan, menginterogasi sekaligus memutus perkara.
Responses
1 Respones to "social psychology and law"
thanks sangat membantu bgt
26 Januari 2022 pukul 20.04
Posting Komentar