Masih segar semua di ingatan kita. Baru sekian pecan, terhitung hari, Nazriel Ilham alias Ariel Peterpan divonis dalam putusan yang telah melalui due process of law yang amat panjang. Publik terkesan arogan dengan vonis yang dibacakan di Pengadilan Negeri Bandung oleh Ketua Hakim Majelis Singgih Budi Prakoso. Hasil akhir dari amar putusan tersebut menggiring pada pro dan kontra perihal sanksi yang dilimpahkan kepada Ariel (lih; Pasal 10 KUHP). Vonis itu mengakhiri penantian panjang sang vokalis Ariel Peterpan sebagai terdakwa dalam menanti putusan bebas, lepas atau terpidana dari segala tuntutan hukum.
Nyatanya, sang hakim yang mengadili perkara pornografi berbicara lain. Nasriel Ilham justru dijatuhi pidana pemenjaraan 3 Tahun 6 Bulan dan denda Rp. 250 juta. Kurang dua tahun dari apa yang dicantumkan dalam tuntutan Sang Jaksa Penuntut Umum.
Masyarkat dalam arti sebagai publik yang melimpahkan kepercayaan (believe) pada hukum tidak boleh terseret pada komentar aktor-aktor penilai putusan hakim. Putusan hakim adalah kepercayaan yang harus kita junjung. Masyarakat dalam institusi negara tak semestinya mengembalikan (set back) diri pada hukum rimba. Hukum tak dipercaya. Hukum yang ada bagi hukum rimba, adalah yang kuat akan menjadi pihak pemenang (homo homuni lupus). Tak mungkin mindset kita di putar haluan pada keterbelakangan paradigma otoritarian. Apalagi hakim yang menjatuhkan putusan atas vonis Ariel diharapkan tidak cenderung otoritarian dan kebablasan.
Sekalipun hakim misalnya memberikan putusan bebas pada Ariel atau sebaliknya. Publik harus tetap menerima dengan legowo putusan tersebut. Komentar yang mengatakan “Putusan Ariel oleh hakim itu tidak adil bukanlah suatu pernyataan yang tepat”. Oleh karena cara pandang psikologi keadilan (Faturrohman: 2000 dan Constanzo: 2002) sebagai keadilan semula adalah ‘keadilan yang tidak sesuai dengan perasaan keadilan saya.” “Maka tak mungkin tepat statement putusan hakim atas kasus Ariel adalah mencederai rasa keadilan. Tepatnya ‘Mencederai rasa keadilan yang mengidolakan Ariel” seperti fans berat Ariel apalagi Luna Maya, sang kekasih Ariel maka wajar-wajar saja merasa ada ketidak adilan. Tapi sekali lagi itu adalah privasi rasa keadilan.
Tidak mungkin juga dapat dipandang dengan terbuktinya Ariel sebagai ikut serta (deelneming) dengan lalai menyimpan alat yang digunakan untuk menyimpan video syur dirinya. Hakim salah dalam menerapkan, menafsirkan, menemukan ataukah merekonstruksi hukum dalam dalil kumpulan pasal-pasal. Apalagi Komnas HAM dengan lantang mengatakan bahwa vonis Ariel tersebut melanggar HAM. Siapa yang sesungguhnya melanggar HAM ? apakah hakim yang mengadili perkara tersebut yang telah melanggar HAM.
Seorang hakim yang menjalankan kewenangannya. Sebagai institusi judicial tak dapat dikatakan sebagai pelanggar HAM. Putusan hakim adalah kewenagan penuh (full power) untuk menjatuhkan putusan sedemikan, yang diyakininya setelah memperhatikan dan menimbang alat bukti dan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
Komnas HAM, termasuk Aliansi Islam yang melakukan demonstrasi di ruang pengadilan benar-benar telah melecehkan peradilan (Contempt of court). Nampaknya komnas HAM telah melupakan pameo dalam Hukum Acara Pidana “under the law, it is better than ten guilty person escape, than that one innocent man suffer” (di dalam hukum adalah lebih baik membebaskan sepuluh orang yang bersalah, ketimbang menghukum satu orang yang bersalah).
Dari sini hakim jelasnya mengetahui pameo tersebut. Putusan yang ditimbang-timbang oleh hakim Budi Prakoso adalah putusan yang yang telah melalui pra ajudikasi, ajudikasi dan post ajudikasi. Oleh karena itu putusannya harus dianggap sebagai putusan yang adil dari ruang persidangan. Putusan yang dipertimbangkan berdasarkan beyond reasonable duobt. Artinya putusan itu bukan hanya terikat dengan alat bukti yang sah, melainkan juga harus ditambah dengan keyakinan hakim.
Merupakan suatu kekeliruan jika opini, kepentingan dan keinginan setiap orang dipaksakan agar dituangkan dalam putusan hakim, walaupun mengobrak-abrik prosedur hukum dan tatanan hukum yang harus dihormati di setiap negara hukum (recht staat).
Secara kasat mata kelompok penekan (pleasure group) mungkin dipandang telah puas dengan putusan hakim atas vonis Ariel dalam kasus pornografi (berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008). Tapi jangan salah, memang sudah cukup puas, tapi masih ada dari kelompok lain seperti Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat dan Wakil Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh di Jakarta menghimbau agar Jaksa Penuntut Umum dengan segera (dalam waktu 14 hari) agar mengajukan memori banding.
Dibalik Vonis Ariel tampak, bahwa tidak mesti yang nyata-nyatanya merasa dirugikan dengan putusan itu masih merasa tidak puas. Pihak yang proputusan bersalah (guilty) atas Ariel masih menunjukan tajinya untuk melihat Ariel mendapat hukuman setimpal. Namun di sisi lain O.C Kaligis belum mengajukan banding sebagai kuasa hukum Ariel.
Maka tak pelak, untuk memaksakan kepentingan publik, kepentingan mayoritas, kepentingan minoritas untuk menjadi milik keadilan pada kesakralan putusan yang dibacakan dalam ruang sidang pengadilan.
Masih ada ruang bagi Ariel atau kuasa hukumnya juga Jaksa Penuntut Umum jika merasa tidak puas dengan penerapan Pasal-pasal yang menjerat Ariel. Pengadilan yang diatasnya tersedia ruang untuk menilai benar salahnya penerapan hukumnya (judex juris). Artinya Komnas HAM yang menuduh Budi Prakoso melanggar HAM adalah cara berpikir yang 100 % salah total. Bahkan masih ada senjata terkhir untuk melakukan peninjauan kembali jika terbukti ada novum atas perkara tersebut.
Dibalik Vonis Singgih Budi Prakoso
Dibalik vonis sang Budi Prakoso setelah putusan itu dibacakan (ex post) dalam ruang sidang yang hikmat masih menyisakan pro dan konta, tangis air mata, duka lara, rasa ketidakadilan, disparitas, dan diskriminasi, terlebih Ariel adalah figer public yang dielu-elukan. Banyak yang menilai vonis itu seakan dipaksakan.
Vonis itu dicoba untuk dibanding-bandingkan dengan kasus gayus, dibandingkan dengan vonis penyebarnya, hanya dihukum 2 tahun. Memangnya penerpan pasal-pasal, unsur-unsur tindak pidana dan undang-undangnya kasus tersebut dapat diterapkan pada kasus yang berbeda !
Maka penting untuk diperhatikan bahwa sistem hukum kita bukan sistem common law (the binding force of precedent), civi law (eropa kontinental). Melainkan adalah sistem hukum campuran (mix). Di dalamnya ada metode civi law, metode common law, sistem hukum Islam, bahkan dengan legal costumer.
Tentunya, dengan cara yang demikian tidak mutlak untuk mengatakan putusan hakim itu tidak adil dan tidak fair (imparsial). Sang hakim akan mempertimbangkan banyak peraturan-peraturan (dasar yuridis), nilai yang ada di masyarakat (dasar sosiologis) dan nilai-nilai tertinggi pada keadilan (dasar filsufis).
Maka tepat apa yang dikumandangkan oleh Werner Menski (2002) “bahwa keseluruhan unsur yang berasal dari negara, atau berasal dari masyarakat dan moralitas, semuanya sangat plural. kapan dan di mana pun di dunia ini, tidak ada keragaman absolut hukum dan keadilan.”
Dalam hal ini hukum yang digunakn (use) oleh sang hakim adalah hukum negara yang telah menyesuaikan diri dengan hukum agama, hukum kebiasaan, ataukah hukum moral yang telah diakui oleh masyarakat. Namun harus diingat khusus untuk kasus Ariel masalah yang sedemikan ditafsir dalam keterpaksaan bahwa ia dihukum dengan kata-kata “apa boleh buat” (meminjam istilah O.C. Kaligis), membawa kita untuk berpikir ulang bahwa betapa beratnya hukum-hukum atau dalil-dali agama yang sifatnya teleologis untuk melebur dalam substansi sebagai salah satu elemen hukum yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk memutus salah atau tidaknya Ariel sebagai pelaku tindak pidana pornografi ataukah sebagai pelaku delik kesusilaan.
Penting, bagi publik untuk tidak gampang melihat benar salah seorang dengan cara pencitraan media. Media tidak mungkin menjadi sarana kendali atas hukum yang demikian beribu-ribu, bahkan berjuta-juta masalah yang diakomodasi dalam satu nama yaitu hukum (lex). Maka jalan terbaik adalah menghidupkan keadilan (justice) dengan memberikan kepercayaan pada semua institusi hukum (struktur), menciptakan check and balance antara berbagai institusi. Tidak mencekoki partisipan hukum dengan saling mengkriminalkan institusi. Institusi hukum di negara ini sudah sedemikan rapi. Tinggal kita menjalankan kewenangan itu secara tepat dan arif. Sekiranya. Wallahu Wa’lam Bissowab.
*Penulis adalah Peneliti Psyco-Legal (Fakultas Hukum Unhas)
No hp: 082188142188
Responses
0 Respones to "DIBALIK VONIS NAZRIEL ILHAM (Damang averous al-khawarizmi)*"
Posting Komentar